Vietnam Sebuah Episode

Edisi: 04/14 / Tanggal : 1984-03-24 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :


DI Saint Francis Xavier, gereja misi Prancis yang terletak di Cholon - kampung Cina-nya Saigon - misa pada subuh itu baru saja merayakan Hari Para Arwah. Beberapa menit kemudian, setelah para jemaah bubar, dua laki-laki berjas abu-abu gelap tampak bergegas di bawah bayang-bayang pohon di halaman dan masuk ke gereja. Mereka adalah presiden Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem dan saudaranya, Ngo Dinh Nhu. Kedua orang itu tampak kurus, dan mata mereka cekung karena kurang tidur. Demikian wartawan kawakan Stanley Karnow dalam majalah Esquire, Oktober 1983.

Beberapa jam sebelumnya, tentara yang memberontak sudah menggempur sisa-sisa pengawal Nhu yang setia. Gereja yang terpencil itu merupakan tempat berlindung mereka yang terakhir. Mereka bersembahyang dan ikut dalam komuni yang merupakan sakramen mereka yang terakhir. Sebab, tak lama kemudian, mayat mereka yang kumuh sudah digeletakkan orang di dek mobil lapis baja yang meluncur di jalan-jalan raya Saigon, ketika rakyat merayakan kejatuhan mereka.

Diem, meski seorang presiden yang penuh dedikasi, mendapat ganjaran karena sikap tinggi-hatinya yang kaku dan ambisi keluarganya yang tak terkendali. Tapi keambrukannya itu mungkin tak terjadi andai Amerika tak terlibat.

Sejak 1955, ketika ia menjadi presiden, Amerika Serikat memberikan dukungan kepadanya. Tetapi Presiden Kennedy, yang kecewa dengan ketidakmampuan Diem untuk rujuk dengan kelompok-kelompok pembangkang - sementara tantangan kaum komunis makin besar - menyadari bahwa tokoh itu tidak akan bisa memenangkan perang Vietnam. Kennedy lalu menyerahkan kebijaksanaan menghadapi Diem kepada Henry Cabot Lodge, duta besar AS di Saigon. Dan pejabat inilah yang mengipasi para perwira senior Presiden Diem untuk melancarkan kudeta. Sayang, rencana itu berjalan di luar kontrol. Kennedy sendiri terkejut atas terbunuhnya presiden itu - tiga minggu sebelum presiden AS itu sendiri terbunuh.

Rasa tanggung jawab Amerika atas kematian Diem kemudian sangat menghantui para pemimpin AS. Dan itu memaksa mereka memikul beban lebih berat di Vietnam. Sialnya, bila Diem seorang penguasa yang tak becus, para penggantinya lebih parah. Mereka lebih banyak cekcok, dan kekacauan kronis di Saigon akhirnya meremukkan harapan Amerika untuk mencapai kemajuan di medan pertempuran ketika kaum komunis meningkatkan ofensif mereka. Kematian Diem memang menandai tahap baru dalam konflik Vietnam.

* * *

Akhir rezim Diem dimulai dengan sengketa keagamaan yang mula-mula tampak sepele. Diem, seorang Katolik, mengandalkan dukungan dari ribuan umat yang seagama dengan dia, yang merupakan kaum pelarian ke selatan setelah konperensi internasional di Jenewa menyerahkan Vietnam Utara ke tangan kaum komunis, 1954. Diem memanjakan mereka dengan jabatan-jabatan kunci di bidang militer dan sipil serta berbagai proyek bisnis dan hak-hak istimewa pemilikan tanah, sering dengan merugikan ekonomi umat Budhis yang merupakan mayoritas penduduk. Ini mengingatkan pada kasus Filipina Selatan, wilayah Muslim yang juga menerima bondongan imigran Katolik dari Utara. Di Vietnam sendiri kaum Katolik berjumlah - menurut klaim mereka - sekitar 1.560.000 alias kurang lebih 8,5% penduduk, dan konon hampir 1.000.000 merupakan kaum imigran tadi.

Toh, rasa tak senang umat Budhis mungkin akan tetap mereka telan saja seandainya pemerintah tak membuat kesalahan besar yang tampaknya sulit dihindarkan Diem, mengingat sifatnya yang keras kepala. Pada 8 Mei 1963, ketika para umat pribumi itu berkumpul di Hue untuk merayakan hari lahir Budha ke 2.527, wakil kepala daerah itu - juga seorang Katolik - memberlakukan sebuah peraturan lama yang provokatif ini: melarang jemaah besar itu mengibarkan bendera mereka yang terdiri dari berbagai warna.

Beberapa ribu umat Budha melancarkan protes. Jawaban pemerintah adalah pengerahan pasukan tentara. Dan mereka itu melepaskan tembakan bukan hanya ke atas, tapi juga ke arah massa. Seorang wanita dan delapan anak tewas, baik tertembak maupun terhimpit massa. Minggu-minggu berikutnya, protes umat Budha makin meningkat, dan pasukan pemerintah malah memperburuk keadaan dengan menumpas mereka tanpa ampun, kadang-kadang dengan sangat keji.

Frederick Nolting, duta besar AS sebelum Lodge, sudah mendesak Diem supaya mengambil sikap rukun dengan umat Budha. Tapi Diem mengalihkan kesalahan pada kaum komunis atas terjadinya insiden tadi. AS malah terang-terangan memperingatkan sang kepala negara bahwa rezimnya bisa kehilangan dukungan Amerika jika penindasan umat Budha terus berlangsung. Diem kemudian membentuk sebuah komisi untuk "mempelajari masalah yang dikeluhkan" umat Budha.

Di pihak lain, sikap keras Amerika itu sebenarnya mencerminkan pergeseran di Departemen Luar Negeri di Washington. Diplomat kawakan Averell Harriman baru saja menduduki jabatan menteri muda luar negeri, sedangkan Roger Hilsman menjadi kepala biro Timur Jauh. Kedua orang ini memang lebih suka bersikap keras terhadap Ngo Dinh Diem.

Di pihak Vietnam, karena Diem menunda-nunda penyelesaian, umat Budha meledakkan "bom" mereka. Pada 11 Juni pagi, iring-iringan mobil meluncurdi sebuah persimpangan jalan Saigon yang ramai. Dan seorang rahib Budha berusia lanjut keluar dari salah satu kendaraan itu. Ia duduk bersila di jalan aspal, sementara rahib dan biarawati lain mengelilinginya. Salah seorang dari mereka menyirami tubuhnya dengan bensin, yang lain menyalakan korek api.

Ketika ambulans datang, bapak rahib sudah dalam posisi tergeletak, sementara api membakar seluruh dagingnya. Kaum Budhis militan memberitahu Malcolm Browne, koresponden kantor berita Associated Press, yang tiba di situ membawa kamera. Dan keesokan harinya foto yang mengerikan itu terpasang di halaman depan surat-surat kabar dunia.

Kenyataannya, desakan Amerika yang berulang kali tak berhasil menggoyahkan sikap Diem, sekalipun sudah jatuh korban jiwa. Komisi penyelidik setempat malah mempertegas anggapan sang kepala negara bahwa kaum komunis-lah yang menjadi penyebab insiden Hue - dan kemudian makin banyak rahib Budha yang membakar diri. Sialnya keadaan kacau ini diperburuk oleh ipar perempuan Diem, istri Nhu, seorang wanita cantik dan galak. Ia mempertontonkan sikap intolerannya yang suka jengkel melihat tradisi kaum lain yang dianggapnya lebih rendah: ia menyebut pendeta yang membakar diri itu. sebagai "sate". Kepada seorang wartawan ia sesumbar, "Biarkan mereka membakar diri. Kami akan bertepuk tangan." Orang-orang pemerintah memang menempatkan diri dalam posisi musuh mayoritas. Mereka merasa kuat.

* * *

Pada usia 62 tahun, dengan banyak pengalaman di bidang pemerintahan, Henry Cabot Lodge sedang baik kesehatannya, penuh semangat, lagi pula menganggur. Ia mengesankan Menteri Luar Negeri Dean Rusk sebagai calon pengganti yang ideal bagi Duta Besar Nolting di Saigon. Gagasan penggantian ini membuat Presiden Kennedy tergoda. Dengan mengangkat Lodge, ia akan bisa menun jukkan sikap murah hati kepada musuh lama yang dikalahkannya dalam pemilihan senator di Massachussetts - dan sekali lagi dalam pemilihan presiden, sebagai pasangan Richard Nixon. Di samping itu hadirnya tokoh Partai Republik, saingan partai Kennedy, di Saigon, bisa merupakan kambing hitam yang baik seandainya nanti kebijaksanaannya di Vietnam gagal.

Maka pada 27 Juni 1963 Kennedy mengangkat Lodge sebagai duta besarnya, direncanakan mulai September. Seminggu kemudian, sang presiden memanggil beberapa pembantunya ke Gedung Putih untuk membicarakan Vietnam. Di situ mereka sepakat mengenai satu hal: biang keladi kekacauan di Vietnam adalah Nhu, yang merupakan penasihat tunggal Diem. Tapi mereka pun berpendapat, Diem tak akan mungkin melepaskan saudaranya begitu saja. Dan, untuk pertama kalinya dalam rapat pemerintahan Kennedy, mereka kemudian berspekulasi tentang kemungkinan adanya kudeta terhadap Diem.

Pada malam yang sama di Saigon, masalah yang sama dibicarakan pula oleh Jenderal Tran Van Don, komandan - tapi sesungguhnya hanya boneka tentara Vietnam Selatan, dan Letnan Kolonel Lucien Conein, agen kawakan CIA. Don dan Conein mengunjungi sebuah klub malam yang bising setelah menghadiri upacara perayaan Empat Juli (Hari Kemerdekaan AS) di kedutaan. Musik yang hingar diharapkan menyembunyikan pembicaraan mereka.

Don, ketika itu menjelang 50-an, adalah seorang pria yang halus dan ganteng, tapi lebih merasa dirinya Prancis daripada Vietnam. Ia memang diahirkan di Bordeaux, tempat ayahnya - putra tuan tanah kaya di Delta Mekong - belajar ilmu kedokteran. Kembali ke Prancis sebagai mahasiswa, Don menjadi perwira tentara negeri Eropa itu ketika pecah Perang Dunia II. Kemudian pulang ke Vietnam, dan cepat naik pangkat dalam tentara negeri sendiri yang ditunjang Prancis. Kedudukannya makin meningkat di bawah pemerintahan Diem.

Hanya, sedikit demi sedikit, timbul rasa tak senangnya setelah mengetahui kekurangan rezim itu. Ia pun mulai mendekati para perwira senior, bertukar pikiran dengan mereka. Tahap lebih lanjut, mereka membina seorang rekan yang juga kurang puas: Jenderal Duong Van Minh, orang Selatan bertubuh kekar. Jenderal Minh mula-mula membantu Diem mengkonsolidasikan kekuasaannya. Malah kemudian terlalu populer di kalangan pasukan Diem, yang beberapa tahun sebelumnya mengangkatnya sebagai "penasihat khusus", satu jabatan tanpa kekuasaan.

Conein sendiri seorang agen rahasia profesional AS yang eksentrik. Kalau bicara suka riuh dan tak terkendali, tapi sangat peka. Ia menumbuhkan rasa aman di kalangan rekan-rekan Vietnamnya - yang berdasarkan kebiasaan Asia lebih menaruh kepercayaan pada hubungan pribadi daripada yang resmi. Conein dan Don tak hanya bertempur bersama, tapi juga suka minum dan main perempuan bersama. Antara mereka pun ada ikatan kultural yang ganjil. Kalau Don seorang Vietnam yang keprancisprancisan, Conein seorang Prancis yang keamerika-amerikaan.

Dilahirkan di Paris, Lucien Conein disuruh pergi sendirian oleh ibunya yang janda untuk tinggal di Kansas City bersama kakaknya, istri seorang anggota pasukan infanteri Perang Dunia I. Ia besar di sana, berbicara dengan logat Missouri, tapi tetap mempertahankan kewarganegaraan Prancis-nya. Malah, seperti juga Don, ia masuk tentara Prancis pada Perang Dunia. II, dan berhasil melarikan diri ketika Prancis menyerah pada tahun 1940 - ke Amerika Serikat. Di sini, Dinas Kegiatan Strategis - badan rahasia AS sebelum CIA - merekrutnya untuk diterjunkan kembali di Prancis, kali ini dengan tugas berhubungan dengan gerakan perlawanan negeri itu.

Ketika perang berakhir di Eropa, Conein dipindahkan ke Asia untuk bergabung dengan sebuah kompi pasukan komando Prancis dan Vietnam. Tujuannya mengganggu pos-pos militer Jepang di utara negeri Indocina itu. Ia masuk ke Hanoi setelah Jepang kalah dan kembali ke sana sembilan tahun kemudian dengan tugas rahasia menyabot sistem angkutan kaum komunis. Selama masa awalnya di Vietnam Conein banyak bersahabat dengan para perwira dan politisi muda negeri itu. Mereka itulah yang kemudian jadi informannya.

Didinaskan kembali di Vietnam pada awal 1962, Conein menyamar sebagai penasihat kementerian dalam negeri Saigon - jabatan yang memungkinkannya menjelajah seluruh kawasan dan mengumpulkan keterangan inteligen terhadap persekongkolan melawan pemerintah. Tugas itu sangat sulit. Ia harus berhati-hati, agar laporannya mengenai kawankawan dekatnya sendiri, seperti Don, tidak dibocorkan kepada Diem dan Nhu oleh orang-orang Amerika yang bersimpati kepada rezim itu. Puluhan kelompok mulai muncul ketika itu, dan baru pada akhir 1963 mereka berhimpun menjadi satu.

Karena seluruh situasinya belum jelas betul bagi Don, tak banyak yang bisa disampaikannya kepada Conein ketika mereka mengobrol di klub malam berisik itu. Ia hanya bisa mengisyaratkan kepada Conein bahwa suatu kudeta sedang direncanakan. Dan ia mempunyai satu pertanyaan penting: "Apa reaksi Amerika, jika kami jalan terus dengan rencana kudeta?"

Pertanyaan ini mengungkapkan kesungguhan para pelaku rencana kudeta yang semakin meningkat. Tak berpengalaman di bidang politik, para pelaku itu adalah tokoh-tokoh muda yang mula-mula dibimbing orang-orang Prancis dan kemudian mengandalkan diri pada Diem. Mereka sangat mengharapkan diterima baik…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…