Gandhi Di Tokyo Gandhi Di Jakarta

Edisi: 06/14 / Tanggal : 1984-04-07 / Halaman : 52 / Rubrik : KL / Penulis : KAYAM, UMAR


SAYA menonton Gandhi di sebuah gedung bioskop mewah di kawasan Shibuya, Tokyo, sesudah makan siang dengan baby steak, french fries dan milk shake.

Seperti pada pertunjukan matinee di mana-mana, juga siang itu gedung itu dipadati oleh muda-mudi. Hal yang mencolok pada penampilan muda-mudi Jepang masa kini adalah kesan mewah dan chic pakaian mereka. Hampir-hampir tidak ada yang tampak kumal, kedodoran dan seenaknya berpakaian - suatu pemandangan yang biasa kita lihat pada muda-mudi di kota-kota metropolis Amerika Serikat atau Eropa Barat.

Melihat Gandhi dalam suasana dan latar begitu jadinya terasa aneh betul. Dicekam oleh keberanian, kegigihan, dan kekepalabatuan Gandhi menghayati dan menjalani kesederhanaan dan keprihatinan selama hidupnya, sepanjang film yang indah itu saya bertanya dalam hati akan relevansi film semacam ini buat penonton film di dalam gedung di Shibuya. Penonton yang hidup di tengah kelimpahruahan kemewahan, dan kenyamanan ada dalam jangkauan tangan serta dompet!

Richard Attenborough, sutradara film itu, menggambarkan Gandhi sebagai seorang yang penuh kepercayaan, bahkan nyaris fanatik, akan harga diri manusia sebagai pilihan yang paling utama dan mendasar dalam hdup.

Kegusaran Gandhi terhadap diskriminasi ras di Afrika Selatan penjajahan Inggris di India, bahkan purbasangka kasta serta sentimen agama dalam masyarakat yang dicintainya, digambarkan dengan jelas dalam Gandhi sebagai benang merah.

Tapi kegusaran itu bukanlah kegusaran seorang panglima perang yang mengayun-ayunkan pedangnya siap membabat musuh-musuhnya. Ia gusar dan muak melihat berbagai distorsi wajah kemanusiaan yang diciptakan oleh manusia sendiri, tapi ia sekaligus percaya bahwa distorsi itu hanya bisa dihilangkan lewat perjuangan tanpa kekerasan, perlawanan damai dari satyagraha, yang secara harfiah berarti kekuatan kesetiaan atau kekuatan cinta.

Kekerdilan manusia untuk mampu dan tega membuat distorsi yang demikian mengerikan dilawannya dengan mengajak bangsanya untuk mau menggali dalam-dalam esensi yang paling dasar dari budaya dan budi daya manusia lewat berbagai metafora. Menenun baju sendiri, menambang garam sendiri, berpuasa, naik kereta api di gerbong kelas III, berjalan kaki, sayang dan akrab dengan pemeluk agama lain, hidup dengan kenyamanan yang paling minim.

Maka, alangkah tampak asing metafora pilihan Gandhi itu muncul dalam gedung bioskop Shibuya indikator dari masyarakat industri maju yang sukses yang disebut Jepang itu.

Bagaimana tidak. Di deretan kursi penonton itu anak-anak muda, yang dengan bangga pada memakai baju newah dan chic, dengan merk-merk impor dari Italia dan Prancis - tidak lagi berkimono. Mereka dihadapkan pada dhoti dari khadi, baju tenunan sendiri dari lawon putih. Di depan itu anak-anak muda Tokyo yang baru mulai suka bertualang dengan makanan asing (lebih dari orangtua mereka yang hanya suka ikan) seperti…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

O
OPEC, Produksi dan Harga Minyak
1994-05-14

Pertemuan anggota opec telah berakhir. keputusannya: memberlakukan kembali kuota produksi sebesar 24,53 juta barel per…

K
Kekerasan Polisi
1994-05-14

Beberapa tindak kekerasan yang dilakukan anggota polisi perlu dicermati. terutama mengenai pembinaan sumber daya manusia…

B
Bicaralah tentang Kebenaran
1994-04-16

Kasus restitusi pajak di surabaya bermula dari rasa curiga jaksa tentang suap menyuap antara hakim…