Marinir, Apa Kerjamu Di Sini
Edisi: 14/14 / Tanggal : 1984-06-02 / Halaman : 37 / Rubrik : SEL / Penulis :
MEREKA mengirim kami ke Beirut. Menjadi umpan peluru, dan tidak boleh Membalas tembakan. Kawan-kawan bermatian Dalam usia terlalu muda. Adakah alasan Bagi pengorbanan yang sia-sia?
BARIS-baris di atas, sebuah sajak, tercoret pada pintu papan di sebuah tempat perlindungan bawah tanah Kompi Echo. Mungkin kerjaan iseng seorang marinir yang kesepian, dalam tugas jaga larut malam mengawasi bandar udara Beirut.
Duduk di geladak bawah USS Guam, segera setelah penarikan mundur marinir AS dari ibu kota Libanon, Thomas L. Friedman - yang menulis "Kegagalan Amerika di Libanon" dalam The New York Times Magazine April silam, dan pemenang Hadiah Pulitzer 1983 - menanyai sekelompok prajurit Kompi Echo. "Apa yang tak terlupakan, dari pengalaman kalian selama di Beirut?" tanyanya. Terdengar siul berbarengan, lalu seorang di antara mereka berkata, "Ceritakan kepadanya tentang sajak itu."
Baris-baris di atas itu lekat pada ingatan mereka rupanya. Jika seseorang salah membacakannya, yang lain akan segera membetulkan. Sajak itu lagu kebangsaan mereka, tulis Friedman, yang juga kepala biro majalah TNYT di Beirut.
Selama marinir AS berada di ibu kota yang runyam itu - seluruhnya 533 hari - 240 orang dari mereka tewas dan sekitar 130 terluka, dan praktis semuanya tak sempat berbuat apa-apa.
"Ada seorang kawan kami yang bernama Sersan Cox. Istrinya melahirkan bayi perempuan bulan Desember lalu," tutur Sersan Satu John McGrey di geladak Guam itu. "Sebenarnya ia boleh puiang, tapi ia toh tinggal. Dan pada hari kelahiran anaknya itu, Cox terbunuh. Aku tertanya-tanya . . . apa jawab istrinya, jika anak perempuan itu kelak bertanya, untuk apa sang ayah mati."
Memang ada yang getir pada para marinir itu. Mereka telah melaksanakan tugas pengamanan garis lingkar bandar udara internasional itu dengan rasa mulia, dengan profesionalisme yang sudah menyatu dengan citra Korps Marinir AS yang legendaris. Tapi ketika meninggalkan Beirut - pada pagi cerah 26 Februari 1984 - mereka pergi dengan rasa kosong dan malu. Mereka merasa meninggalkan rekan yang tewas dengan sia-sia. Bagi para prajurit, tak ada yang lebih menyakitkan daripada mati untuk sesuatu yang konyol begitu.
"Ketika kami berada di Grenada, saya merasa benar-benar asyik," kata Sersan Satu Gordon Brock. "Kami datang dengan bedil di tangan, menembak, menangkap, melakukan apa saja seperti layaknya seorang marinir. Aku merasa seperti Vic Morrow dalam salah satu filmnya. Tapi di Beirut kami diam terpaku. Dan jika aku pulang, aku tak ingin orang bertanya-tanya tentang itu. Aku hanya ingin mengendarai mobil dan ngebut, lalu melupakan segalanya. "
Biasanya, dalam sebagian besar operasi militer, sukses dan kegagalan marinir tergantung sepenuhnya pada diri mereka. Tetapi di Beirut operasi dan nasib mereka terombang-ambing dari tangan ke tangan para pemimpin Libanon dan para pembuat keputusan di Washington yang bolak-balik berdiplomasi. Dan di tengah kekisruhan itu pasukan marinirlah yang mendapat beban menciptakan perdamaian. "Akhirnya, kegagalan pembuat kebijaksanaan menjadi kegagalan marinir," tulis Friedman.
Di mana salahnya? Mengapa pada akhirnya tugas marinir di Beirut menjadi serba salah, hingga para prajuritnya tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang mereka kerjakan?
Pertanyaan itu mendorong timbulnya diskusi luas. Baik di kalangan marinir, para pejabat, pengamat Libanon, maupun para diplomat Barat di Beirut.
Hasilnya sampai pada kesimpulan, marinir terperosok ke tengah serangkaian salah perhitungan Amerika dan Libanon - yang berakhir pada kegagalan besar kebijaksanaan politik. Rezim Presiden Amin Gemayel, yang didukung Amerika, dipaksa bertekuk lutut pada tekanan Syria. Tentara Libanon, yang dilatih Amerika, porak-poranda, dan persetujuan penarikan mundur Israel dari Libanon 17 Mei 1983, yang dicukongi Amerika, ambyar.
Gagal atau tidak, "politik tinggi" AS di Libanon telah memangsa prajurit AS sendiri. "Apa misi kami?" tanya Sersan Satu Nick Mottola. "Akan kukatakan apa misi kami di Beirut. Sejumlah orang mati sia-sia, dan setelah itu kami pun meninggalkan medan . "
Pengiriman misi marinir AS ke Beirut konon merupakan salah satu ironi besar. Ini karena usul pengiriman pasukan AS ke Libanon datang tak lain dari ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat. Dalam rangkaian perundingan musim panas 1982, untuk mengungsikan pasukan PLO yang terkepung dari Beirut, Arafat - menurut para pejabat Amerika - berkeras agar pasukan AS dilibatkan dalam pengawasan keberangkatan pasukan gerilya. Itu dianggapnya jaminan agar Israel tidak mengganggu evakuasi PLO itu.
Pasukan marinir mendarat pertama kali di ibu kota Libanon pada 25 Agustus 1982. Mereka ditempatkan sepenuhnya di pelabuhan Beirut untuk melindungi keberangkatan 13.000 pejuang itu. Sejumlah 800 marinir direncanakan tinggal di Beirut selama 30 hari, tetapi rencana itu ditarik pada 10 September, ketika hampir seluruh gerilyawan PLO bisa diberangkatkan. Itu karena utusan istimewa AS saat itu, Philip C. Habib, tidak ingin marinirnya terjerumus ke dalam misi tak kunjung berakhir di ibu kota yang koyak-moyak itu.
Pertengahan September, setelah keberangkatan marinir bersama rekan-rekannya di pasukan multinasional, yakni dari Prancis dan Italia, terjadi peristiwa yang menggemparkan. Yakni: Presiden Bashir Gemayel terbunuh. Dan pasukan Israel menyerbu Beirut Barat - bertentangan dengan janji lisan yang mereka berikan kepada AS bahwa mereka tidak akan memasuki bagian ibu kota yang berpenduduk Islam itu. Kemudian terjadilah ini: pasukan milisia Kristen Falangis menjarah kamp pengungsian Sabra dan Shatila dan membantai beratus-ratus penduduk sipil Palestina.
Sekarang, apa yang membuat pasukan pemelihara perdamaian datang untuk kedua kalinya ke Beirut? "Bukan rencana matang untuk mengembalikan kedaulatan orang Libanon atau membangun kembali tentara Libanon," tulis Friedman. "Tapi rasa bersalah."
Ketiga negara anggota pasukan multinasional, yang kemudian ditambah dengan Inggris, memang merasa sangat bersalah. Pembantaian terhadap orang Palestina itu terjadi karena mereka hengkang sebelum mandat 30 hari yang sebenarnya berakhir.
Apalagi mereka sudah memberikan jaminan kepada Arafat, tadinya, bahwa kamp pengungsian itu akan selamat-selamat saja. Karena itu mereka lalu buru-buru mengirimkan kembali pasukannya ke sana. Hanya, kali ini, tanpa batas waktu.
"Para marinir dikirim kembali ke Beirut karena kami merasa bersalah terhadap yang terjadi di kamp-kamp pengungsi," kata sumber pejabat AS yang dekat dengan proses pengambilan keputusan saat itu. Ia hanya mau bicara jika identitasnya disamarkan. "Itu tentu tak boleh dikemukakan," katanya. Sebab, alasan rasional yang diumumkan pemerintah Washington ialah "membantu menegakkan pemerintah Libanon di atas kakinya sendiri." Tetapi, kata sumber itu, "secara terpisah mungkin bisa dipahami mengapa kita harus melindungi rakyat Islam Libanon dan pengungsi Palestina di Beirut dari gangguan pihak Israel dan Kristen Falangis."
Faktor rasa bersalah itu cukup bernilai kritis. Itu menjelaskan bagaimana upaya baru diplomatik dan militer - yang melibatkan negeri yang sebenarnya tidak punya keterikatan sejarah dan kepentingan vital strategis dengan AS itu - diformulasikan dalam waktu begitu singkat. Keputusan mengirim kembali pasukan marinir ke Beirut diambil hanya antara saat-saat akhir pembantaian pada Sabtu 18 September dan Senin 20 September.
Saat mengumumkan keputusannya, Presiden Reagan berkata bahwa pasukan marinir dikirimkan "untuk memungkinkan pemerintah Libanon memulihkan kedaulatannya yang penuh atas Ibu Kota, sebagai prasyarat pokok untuk memperluas kontrolnya ke seluruh negeri." Ia menambahkan bahwa mereka akan tinggal di sana, "untuk sementara waktu."
Yang kini banyak diperbantahkan ialah ini: seluruh misi pasukan multinasional itu telah gagal sejak awal. Dan itu didasarkan kepada keyakinan tentang apa sesungguhnya yang disebut "Libanon".
"Yang tidak kita sadari pada September 1982," kata seorang duta besar Eropa yang negerinya turut menjadi anggota pasukan multinasional, "adalah bahwa Libanon sebenarnya bersifat dongengan negeri toleransi, makmur, demokratis, berdaulat atas 10.452 km persegi tanah airnya, tempat golongan Islam dan Kristen hidup harmonis .... Keadaan itu memang bertahan beberapa tahun yang singkat, tapi setelah itu hanya dalam kondisi: golongan Kristen memerintah, golongan Islam mengangguk. Dan hari-hari itu pun berakhir dengan pecahnya perang saudara pada 1975.
"Ketika tentara menengahi, dan seluruh pemerintahan nyaris berantakan pada 6 Februari,' kata sang dubes pada tahun awal 1984, "tidak seorang pun di antara kita memiliki keberanian untuk memperingatkan Presiden Gemayel - bahwa ia sebenarnya sedang memburu impian kosong."
***
Mengapa sisi lebih gelap Libanon tidak bisa dikenali ketika keputusan mengirim kembali pasukan marinir ke Beirut diambil? Jawabnya bisa dicari pada suasana dan keadaan aneh yang mencekam Beirut setelah invasi Israel pada musim panas…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…