Papua Nugini Takut Indonesia
Edisi: 15/14 / Tanggal : 1984-06-09 / Halaman : 12 / Rubrik : NAS / Penulis :
DI tengah belasan orang yang duduk-duduk di beranda Hotel Narimo, di Vanimo, Papua Nugini, sambil minum bir mengobrol, ataupun bermain bilvar. Paulias Matane, 52, mengungkapkan kejengkelannya "Saya sangat kecewa. Saya datang ke sini, dan ternyata gubernur Irian Jaya Issac Hindom tidak datang. Kalau begitu, bagaimana kami bisa percaya bahwa semua bisa beres?" ujarnya dua pekan lalu.
Nada suara Matane, sekretaris Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Papua Nugini (PNG), terdengar getir. "Mungkin rakyat Indonesia tidak merasakan persoalan ini karena masalahnya tidak terjadi di sana Tapi buat kami di PNG ini masalah besar dan berat," tambahnya.
Masalah besar yang dipersoalkan Matane adalah penyeberang perbatasan yang mengalir dari wilayah Indonesia, dan mulai memasuki wilayah PNG akhir Februari lalu. Pengungsian itu terjadi setelah kegagalan gerombolan Organisasi Papua Merdeka (OPM) melancarkan gerakan mereka pada 13 Februari lalu.
Sampai pekan lalu jumlah pelarian itu sekitar 6.800 orang, walau ada laporan bahwa sekitar 600 orang diduga pekan ini segera memasuki daerah Wasengla, selatan Vanimo. Sebagian besar penyeberang perbatasan ini wanita dan anak-anak. Mereka ditampung pemerintah PNG dan ditempatkan di barak-barak. Jumlah terbesar terdapat di Komopkin (2.277). Lainnya di Kungim (929), Kemberatoro (685), dan Vanimo (605). Kelompok yang menetap di Air Hitam, Vanimo, dianggap istimewa. Selain merupakan kelompok yang pertama datang, mereka dinilai punya kesadaran politik yang tinggi.
Sikap pemerintah PNG di bawah Perdana Menteri Michael Somare jelas. "Kami tidak ingin mereka menetap di PNG. Mereka bukan warga PNG. Mereka orang Indonesia, dan karena itu mereka harus kembali," kata Matane.
Pertengahan April lalu, tatkala Menlu Rabbie Namaliu mengunjungi Jakarta, tercapai kesepakatan: pemerintah Indonesia menjamin keselamatan mereka yang kembali. Menlu Mochtar Kusumaatmadja, waktu itu, menjelaskan pada pers, "Tentu saja mereka yang terbukti terlibat dalam tindakan kriminal setelah kembali harus mempertanggungjawabkan tindakannya."
Yang kini menjadi persoalan: pelaksanaan rencana pemulangan kembali (repatriasi) itu. Dua pekan lalu, menurut rencana, akan diselenggarakan suatu pertemuan yang dihadiri Paulias Matane dari pihak PNG dan Issac Hindom dari Rl. Keduanya akan menjelaskan pada para pejabat perbatasan PNG apa yang menjadi kebijaksanaan kedua pemerintah. Selain itu, mereka juga akan mengadakan pertemuan dengan para pimpinan kelompok penyeberang, dan meyakinkan mereka bahwa pemerintah Indonesia menjamin keselamatan mereka, sehingga mereka tidak usah khawatir untuk kembali.
Urungnya kedatangan Hindom itulah yang menjengkelkan Matane. Tapi Rapilus Ishak, kepala Bidang Politik kedutaan besar Rl di Port Moresby, yang bulan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?