Charles De Gaulle ; Sebuah Sosok Kekuasaan Charles...
Edisi: 18/14 / Tanggal : 1984-06-30 / Halaman : 41 / Rubrik : SEL / Penulis :
HANYA ada satu tema dalam hidup Charles de Gaulle. Yaitu kekuasaan. Demikian Penulis Don Cook dalam buku biografi tokoh besar Prancis itu, yang berjudul Charles de Gaulle. Kesetiaannya yang amat mendalam kepada Prancis, dan hasratnya akan kebesaran, mungkin tak akan lebih dari sekadar patriotisme menyala-nyala seandainya ia tak mampu mewujudkannya dalam menjalankan kekuasaan.
Sejak zaman sekolahnya dan di angkatan darat Prancis, ia dengan sadar dan naluriah mengabdikan dirinya pada bayangan sejarah yang begitu gandrung dibacanya. Ia mengkaji kekuasaan, memeriksa akar-akarnya dan menimbang-nimbang tekniknya, mempersiapkan diri untuk kekuasaan, dan menunjukkan kemampuannya menjalankan kekuasaan itu pada segala tingkatan.
Tentu, kehidupannya mengalami pasang surut. Tapi tak pernah lepas dari ikatannya yang tulus dengan kekuasaan - tanpa embel-embel keinginan tahu intelektual, tanpa perubahan arah, tanpa kehidupan sosial yang gemerlapan, tanpa hobi atau kegandrungan pada olah raga. Dan tentu saja bersih dari skandal atau nafsu mengejar kesenangan. Kehidupan de Gaulle memang hambar; baginya usaha meraih kekuasaan terlalu serius untuk dibumbui gelak tawa atau kesenangan.
Ketika Prancis menghentikan peperangan dan minta gencatan senjata dari Jerman, 1940, kekuasaan berada di telapak kaki de Gaulle, dan ia siap untuk itu. Tak sedikit pun ia bimbang atau kaget: dialah orang yang sudah ditakdirkan. Meski belum punya perlengkapan cukup, ia bertekad mengemban kekuasaan itu dengan kekuatan pribadi dan kemampuannya yang luar biasa, dengan sikap percaya diri yang melebihi sekadar egoisme, dan yang lebih penting: dengan kesediaan, atas nama Prancis, menunjukkan dan menemukan kekuasaan ketika kekuasaan itu lenyap.
Dalam sejarahnya, Prancis timbul tenggelam dalam tragedi nasional: memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian, mengubah undangundang dasar, mengubah politik luar negeri, dan menggeser-geser kesetiaan ke bawah kepemimpinan satu orang yang berbeda-beda - yang sering muncul entah dari mana. Prancis adalah bangsa yang secara periodik mengalami perubahan mendadak, dan sering dalam skala-besar, agar bisa tetap tegak dan maju.
Dan bagi Jenderal de Gaulle pada tahun 1940, menanggung nasib Prancis sama wajarnya dengan mengenakan jubah kebesaran militernya. Seperti di masa lalu, sejarah Prancis lagi-lagi memerlukan kehadiran seorang pemimpin untuk menyelamatkannya, membuatnya bangkit kembali, memulihkan kehormatannya, dan mendapatkan lagi tempatnya di antara negara-negara besar Eropa yang menang perang.
Asal usul de Gaulle sama gelapnya dengan asalusul Napoleon; demikian pula kecerdikan dan kemampuan keduanya untuk merebut dan menjalankan kekuasaan tanpa kenal ampun. Pada masa silam, I'etat c'est moi (negara adalah saya) merupakan semboyan raja-raja Prancis. Betapa pun tamak kedengarannya bagi dunia, bagi Charles de Gaulle semata-mata merupakan keharusan sejarah untuk menjadikan dirinya negara.
Pengalaman Prancis ini berlawanan sekali dengan sejarah demokrasi Anglo-Saxon, yang kestabilan nasionalnya paling mantap dan perubahan terjadi melalui kesinambungan dan evolusi. Fenomen de Gaulle, bagi orang Anglo-Saxon, paling sulit diterima dan dipahami. Winston Churchill, tokoh romantis abad ke-19 yang mencintai Prancis, bisa memahami hal itu - dan sejak semula merangkul de Gaulle. Tapi tidak demikian dengan Franklin D. Roosevelt. Jenderal de Gaulle menyalahi zaman, tak punya tempat dalam Abad Amerika, dan sedikit absurd, katanya. De Gaulle brigadir jenderal dengan segelintir pasukan, ego sangat besar yang tak suka bekerja sama. Prancis tak berdaya, demikianlah keadaannya.
Roosevelt mencibir de Gaulle dengan berulang kali menyatakan, "Kadang-kadang ia menganggap dirinya Jean of Arc dan kadang-kadang merasa dirinya Clemenceau." Tak dapat dipahaminya bahwa jenderal yang bertabiat keras ini, yang sebelumnya hanya dikenal segelintir orang (di Prancis sekalipun), dapat menyusun kekuasaan bagi dirinya tanpa apa-apa kecuali kelurusan sikapnya, inteligensinya, kepribadiannya, dan kesadarannya akan takdir.
Dalam seluruh kehidupan politiknya, Roosevelt tak pernah berhadapan dengan pendirian yang keras seperti itu. Ia, yang amat mendalami politik, barangkali dalang politik terbesar dalam sejarah Amerika. Tapi Jenderal de Gaulle menolak dijadikan wayang. Tidak bisa dimengerti (dan memang sama sekali tak masuk akal) bahwa seorang jenderal Prancis di tengah kancah peperangan bisa begitu tegar hati dengan sekutu-sekutunya, bisa begitu picik dan sombong, begitu sengaja memusuhi, menyusahkan dan tak mau bekerja sama.
Churchill sudah siap berperan sebagai "pembantu yang setia" dan menundukkan kepentingan nasionalnya demi kepentingan perang yang lebih besar sebagaimana dirumuskan Roosevelt. Tetapi suratan de Gaulle ialah berjuang untuk kepentingan Prancis - bukan menundukkannya kepada Anglo-Saxon. Sikap berkeras itu merupakan senjata utamanya sering satu-satunya senjata - dan tetap merupakan perkakas utama kekuasaannya sampai hari-hari terakhir.
* * *
Bagaimana bisa ambisi semata-mata, dalam diri seseorang, mengeras jadi kesadaran akan takdir? Dan apa yang memberikan kepadanya rasa kekuasaan dan selera kekuasaan? Jenderal de Gaulle, meski tulisan-tulisannya sangat jelas, sedikit sekali mengungkapkan dirinya - kecuali introspeksi melankolis tentang Prancis dan hal-hal lain. Ia sejak semula memutuskan masuk tentara - yakin, sebagaimana banyak orang Prancis lainnya pada pergantian abad, bahwa berperang kembali dengan Jerman tak dapat dihindarkan. Ketentaraan merupakan tempat bagi seseorang untuk bisa menggunakan perintah dan kekuasaan, meski pada usia muda dan pangkat rendah, dan barangkali bahkan menemukan panggilan hidup.
De Gaulle, dalam hal kepribadian, temperamen,kecerdasan, keberanian, dan keyakinan patriotisme memang sangat sesuai dengan karier militer. Ia orang yang selalu menyendiri sejak mula; seluruh hidupnya siap menanggung kesunyian pemimpin yang menjadi ciri para jenderal besar. Ia selalu menjauh, menjaga jarak dari rekan-rekan perwiranya. Ia suka murung, memikirkan hal-hal yang sedih, bermuka masam, dan sangat cerdik menghadapi kariernya dan tantangan serta permasalahan kehidupan militer.
Sejarah militer jadi santapannya. Ia selalu mencari keterangan terperinci mengenai para komandan yang menantang sikap konvensional, para komandan yang mempertahankan keutuhan pribadi dan berhasil sebagai pembangkang. Sejak mula kariernya, bahkan pada saat memimpin peleton atau kompi waktu latihan, ia biasa melaksanakan tugasnya menurut caranya sendiri, berlawanan dengan konsep bahkan perintah atasan. Ia senantiasa berusaha menunjukkan sikapnya yang independen dan superior di tingkat mana pun ia bertugas.
Catatan tentang kariernya dan cerita tentang dirinya sejak masa awal ketentaraan penuh dengan kisah dan keluhan tentang keangkuhan, sikap merendahkan, sok pintar, dan tak peduli pendapat orang lain, yang menjadi ciri seluruh hidupnya. Ia tidak populer, dan kenaikan pangkatnya lambat. Walau demikian, de Gaulle pada tiap kesempatan tetap ngotot dan mendesak untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara memperlihatkan kekuasaan, meski hal itu disadarinya bisa menempatkan karier ketentaraannya dalam bahaya. Tapi kecerdasannya yang tinggi dan kesetiaannya kepada profesi tak bisa diabaikan begitu saja. Meski penuh ambisi dan dianggap sulit, ia menonjol.
Suatu ketika, pada zaman mudanya, seorang perwira muda berkata kepadanya ketika mereka bersama dalam suatu manuver, "Mon cherami, saya akan mengatakan sesuatu yang mungkin akan membuatmu tersenyum; tetapi saya mempunyai perasaan yang kuat bahwa Anda akan mencapai kebesaran." Terhadap pernyataan ini de Gaulle hanya menatap rekannya dari jauh, dan berkata datar: Oui. . . moi aussi. (Ya, saya pun merasa begitu).
Tahun 1927, ketika de Gaulle berusia 37 dan masih berpangkat kapten, suratan takdir membayang dengan pasti. Ia memadukan bacaannya tentang sejarah dengan renungan-renungannya tentang kepemimpinan dan kekuasaan - dalam serangkaian ceramah luar biasa yang diberikannya pada lembaga pendidikan militer tertinggi Prancis, Ecole Superieure de Guerre, yang kemudian diterbitkan berupa buku kecil berjudul Le Fil de I'Epee (Ujung Pedang).
Waktu itu orang belum berpandangan jauh untuk menduga bahwa ceramah-ceramah itu kelak akan dijadikan pegangan dalam menjalankan kekuasaan oleh tokoh Prancis paling dominan abad ini. Ceramah itu tidak merupakan sukses besar dengan para pendengarnya - meski analisanya brilyan, sebagaimana karier de Gaulle sebelum Perang. Tetapi ceramah itu menunjukkan berjalannya suatu proses yang makin kuat dalam diri de Gaulle, tokoh yang melengkapi dirinya sendiri dan melandaskan diri pada falsafah pribadi yang kuat.
Pendekatannya sangat otoriter dan militeristis sama sekali tak ada urusannya dengan teori politik, ekonomi, atau teori sosial. Ketika tahun 1930-an karier de Gaulle menanjak pelan-pelan, dalam tugas-tugas staf di Kementerian Peperangan, keyakinannya yang mutlak akan tanggapannya sendiri terhadap kekuasaan berkembang sejalan dengan kekecewaannya dan sikapnya yang merendahkan politik dan politisi.
Tugasnya di masa itu ialah mengkaji secara saksama rencana mobilisasi perang Prancis pada saat bangkitnya kembali sikap bermusuhan Jerman Nazi. Tetapi kekecewaan pribadinya untuk mendapatkan keputusan dan tindakan tegas dari empat belas pemerintahan dalam Republik Ketiga memperteguh keyakinannya bahwa tak ada salahnya Prancis membiarkan tumbuhnya suatu pimpinan negara yang kuat.
Dan tekadnya pun makin teguh untuk bertindak menurut pandangannya sendiri, jika takdir memberinya kesempatan. Meski ia merendahkan politisi, dalam masa ini ia mulai bermanis muka dengan mereka dan berusaha membina mereka, dengan tujuan meraih kekuasaan bagi dirinya sendiri. Karena keadaan perang, ia terdampar ke London pada bulan Juni 1940. Tapi saat itu pulalah datang takdirnya yang tak boleh dilewatkannya.
Tak seorang pun yang pernah berhadapan muka dengan de Gaulle bisa lupa - bukan hanya pada tinggi badannya yang luar biasa, tapi juga pada kekuatan wibawanya dan ciri kehadirannya yang terpancar ketika ia sedang berada di jalanan, atau berdiri di tengah orang banyak sambil merentangkan tangan dan mengepalkan tinju, atau hanya duduk diam di belakang meja sambil menjawab pertanyaan dengan angkuh pada konperensi pers.
Sebagian besar penampilan itu sengaja dipupuknya untuk mempertinggi kesan dan pengaruh kekuasaan - berdasarkan persepsi yang diletakkannya dalam Le Fil de l'Epee. "Takkan pernah ada prestise tanpa misteri," begitu ditulisnya. Dan baik secara otomatis maupun sengaja ia menanamkan suatu perasaan hormat, kagum, takut dan tak pasti, rasa rendah diri, perhatian dan kebimbangan. Dr. Henry Kissinger menulis bahwa de Gaulle "menguasai ruangan hampir dengan kekuatan fisik dari kewibawaannya", yang tak pernah dilihatnya pada siapa pun kecuali Mao Tse-tung.
Ia orang yang paling sopan dengan staf dan para tamunya - tetapi sikap sopan seorang kepala negara dan penguasa kepada para bawahannya. Ia tak pernah sama sekali membiarkan tumbuhnya keakraban atau rasa persahabatan. Dengan setiap orang selalu ada jarak yang terjaga.
Anaknya sendiri, Laksamana Philippe de Gaulle, mengatakan, ketika ia masih kecil ia merasa ayahnya bersikap lain; dan bahwa ia harus tetap menjaga jarak dengan dia. Rene Capitant, yang bergabung dengan de Gaulle di London dan tetap menjabat menteri kehakiman dalam pemerintahannya terakhir pada tahun 1969, pernah menyatakan, "Antara tangan yang menggerakkan dan buah di papan catur tak boleh ada persahabatan." Georges Pompidou, yang selama 25 tahun bekerja erat dengan de Gaulle dan menjadi perdana menterinya selama enam tahun, menulis surat kepada wartawan untuk membantah berita bahwa sang Jenderal pernah akrab menyapanya dengan nama depannya. Tidak.
De Gaulle menggunakan orang lain sebagaimana seorang komandan menggunakan pasukannya untuk bertempur - tanpa menjadikan dirinya menaruh perhatian pada persoalan atau kedudukan orang yang jadi bawahan, kecuali pada kemampuan mereka sebagai bawahan. Jika terjadi sesuatu, mereka segera disingkirkan ke tempat lain.
De Gaulle sendiri menulis: "Kesunyian adalah godaan saya. Ia menjadi sahabat saya. Apa lagi yang bisa memuaskan seseorang yang berhadapan muka dengan sejarah?"
Dalam diri orang seperti itu tak bisa diharapkan banyak keriaan atau kesembronoan, dan memang tidak ada. Humor de Gaulle, sebagaimana adanya, senantiasa tajam, sarkastis, dan umumnya bersifat merendahkan. Ketika seorang kawannya, d'Astier de la Vigerie, memberanikan diri mengatakan kepadanya bahwa kawan-kawannya khawatir oleh beberapa kebijaksanaan pemerintah, jawaban de Gaulle ialah, "Kalau begitu, mon cher, gantilah kawan-kawanmu." Kadang-kadang sebuah karikatur akan memperlihatkan de Gaulle tersenyum, tetapi ia bukan orangnya untuk didekati dengan lelucon atau cerita lucu. Sungguh jarang ditemukan fotonya tersenyum.
Apakah sejarah yang membentuk manusia ataukah manusia yang membuat sejarah? Jenderal de Gaulle, tak diragukan lagi, dengan tegas dan tandas termasuk dalam kategori belakangan. Ia tak henti-hentinya berusaha keras menampilkan dirinya dalam peristiwa penting, dan membuat sejarah Prancis dalam skala besar. Ia adalah orang yang - anggaplah ia segala-galanya - memang ada totalitas dalam kepribadiannya: cara bagaimana ia memusatkan setiap segi perangainya pada pelaksanaan kekuasaan secara tulus.
Kelurusan moralnya yang ketat menjadi semacam tulang punggung bagi orang Prancis, dan tak dianggap berlebih-lebihan. Kesederhanaan dan kekerasan hidup pribadinya, tidak adanya kesenangan atau hiburan atau humor atau kegembiraan seperti pada orang lain, memperbesar dedikasinya pada seni kekuasaan. Apa yang bagi orang lain jadi hal yang membosankan merupakan bagian daya tarik dan mistik kekuasaannya.
Tapi begitu pula yang dituntutnya dari orang lain. Jean Belliard, seorang agen muda Prancis Bebas yang setelah perang jadi diplomat Prancis, mengisahkan kepada Don Cook, penulis kita ini, bagaimana ia dan dua agen lainnya menghadap Jenderal de Gaulle di markas besar Prancis Bebas di London - tahun 1943, sebelum diterjunkan kembali ke Prancis. Itu merupakan tugas mata-mata Belliard yang ketiga.
"Kami berbaris masuk ke kantor Jenderal dalam sikap sempurna," katanya. "Ia bangkit dari kursinya, memandangi kami dari atas ke bawah, dan hanya berkata: 'Nah, Tuan-Tuan. Anda akan pergi ke Prancis. Kalaupun Anda mati, Prancis akan terus hidup! Selamat jalan, Tuan-Tuan.' Kami berbaris ke luar agak kebingungan, tetapi de Gaulle sudah mengatakan apa yang perlu dikatakannya."
Clement R. Attlee, pemimpin Partai Buruh Inggris, perdana menteri setelah perang dan wakil PM Churchill pada zaman Perang, dalam ulasannya atas Memoar Perang Jenderal de Gaulle mengatakan, de Gaulle seorang jenderal hebat, tapi bukan politikus yang sangat baik. Attlee kemudian menerima surat dari de Gaulle - menyatakan terima kasihnya atas ulasan itu, dan dengan hambar membalikkan ucapan Clemenceau yang terkenal tentang perang dan para jenderal: "Saya sampai pada kesimpulan bahwa politik merupakan urusan yang terlalu amat serius untuk diserahkan hanya ke tangan para politisi."
Selama bertahun-tahun pemimpin ini perokok berat. Tetapi mendadak ia menghentikannya setelah Perang, dengan menuturkan kepada menantunya, Jenderal Alain de Boissieu, "Saya berhasil bertahan tak merokok dengan mengatakan kepada setiap orang bahwa saya tak merokok lagi. De Gaulle tak bisa menelan kembali ludahnya." Referensi orang ketiga seperti itu padanya terjadi secara wajar dan spontan - seakan ia dengan pasti melukis potretnya sendiri atau memahat patung heroiknya sendiri.
Berjalan kaki jarak jauh dalam kesunyian, dengan istrinya atau sendirian, merupakan satu-satunya olah raga semasa hidupnya. Para pembantunya yang masuk ke ruang kerjanya pun sering mendapatkannya berjalan mondar-mandir, asyik berpikir. Satu-satunya minatnya di luar lingkungan keluarganya dan urusan kekuasaan - ialah membaca. Seumur hidupnya ia asyik membaca sejarah, karya sastra, dan klasik. Ia tak menaruh perhatian pada teater, opera atau musik, kecuali hadir atau meresmikannya pada upacara negara sebagai tuan rumah untuk tamu-tamu terhormat.
Ia sangat hemat. Tidak meminta penghasilan tambahan dari negara kecuali pensiun militernya ketika mengundurkan diri. Tetapi ia ngotot akan hak-hak protokolernya, dan tak mau menghadiri pemakaman Raja George VI di London tahun 1952 karena, di luar dinas pada saat itu, ia harus duduk di belakang Presiden Vincent Auriol, bukan di depannya.
* * *
"Jenderal de Gaulle orang yang sederhana," kata Joseph Stalin kepada Lord Beaverbrook dari Inggris dalam percakapan di zaman Perang di Moskow. Kepada Roosevelt di Yalta, diktator Soviet itu mengulangi bahwa ia "Tidak berpendapat bahwa Jenderal de Gaulle orang yang sangat sulit."
Mengenai pertemuan satu-satunya dengan Stalin itu, tujuannya ialah perjanjian persahabatan dengan Soviet. Tetapi de Gaulle menginginkan perjanjian itu berdasarkan syarat-syaratnya sendiri dan tidak siap tawar-menawar atau menuruti kemauan Stalin yang saat itu mengharuskan Prancis mengakui boneka Soviet, Komite Nasional Komunis Polandia. De Gaulle menunjukkan pendiriannya yang keras seperti biasa,…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…