Mencari Indonesia Di Sudut Siam

Edisi: 21/14 / Tanggal : 1984-07-21 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :


BAGAI elang laut, Husin, 31, melompat serakah. Melihat tingkahnya, teman-temannya di pangkalan tuktuk-nam cengar-cengir. Suhu sedang melesat lebih dari 30øC. Air Danau Thale Luang berkaca-kaca merebak ke mulut Aowthai, Teluk Siam. Teluk ini menganga lebar ke Laut Cina Selatan yang garang.

"Hua Khow Jai! Hua Khow Jai . . .," teriak Husin kepada calon penumpangnya, sementara jauh di teluk nelayan dan boat hibuk.

Husin, bersama lebih dari 40 temannya yang bermukim di Hua Khow Jai, sehabis subuh itu gemas bergelut menembus rute ulang-alik Hua Khow Jai-Songkhla.

Songkhla adalah ibu kota provinsi dengan nama yang sama. Kota ini merangkap fungsi pelabuhan alam terbesar di belahan timur Muangthai Selatan. Jarak Songkhla-Hua Khow Jai hampir 1 1/2 mil. Kalau menyeberang dengan tuktuk-nam, sebutan Siam untuk "oplet air", hanya setengah jam (ini kalau tak ada badai dan ombak segede rumah). Ongkos sekali menyeberang 3 baht, kira-kira Rp 100.

Para sopir oplet air itu mengharapkan bisa dapat rezeki bersih rata-rata 150 baht sehari alias Rp 5.000. Pangkalan tuktuk-nam ini pas menghadap ke mulut parit pembuangan air di tubir dinding gedung The Bangkok Bank cabang Songkhla di Jalan Vichian Chom. Air buangan yang pekat hitam bagai adukan kopi Sidikalang itu, waduh, sengitnya bikin gentar bulu hidung.

Tapi Husin dan kawan-kawan kalem saja. Sudah kebal rupanya. Husin, ayah tiga anak yang masih kecil-kecil, dan tak tamat SD, memiliki sebuah tuktuk-nam. Sampan jongkong panjang itu bermesin diesel KKK (ada juga yang pakai Yanmar) bertenaga dorong 5 DK (daya kuda). Dalam keadaan tak dipakai, sampan dikerek di tempatnya yang spesial, seperti doking, hingga pantatnya tak berendam di air asin.

* * *

Di atlas Muangthai yang mendetail sekalipun, nama Hua Khow - sampai kita bungkuk mencarinya - tak bakal bisa ditemukan.

Nama lengkapnya Bun Hua Khow. Artinya, Kampung Kepala Bukit. Jauhnya 976 km dari Bangkok. Sebagai sebuah induk permukiman, Hua Khow terbagi dalam sub-subdesa (lingkungan) - Hua Khow Jai (kampung si Husin), Hua Khow Deng, Lenok, Bothei, dan sejumlah lagi.

Perbukitan Hua Khow mirip telur tidlr. Posisinya yang menjorok ke Danau Thale Luang bak memulau di radius yang luasnya hampir 20 km2.

"Pulau" Hua Khow ini kepalanya berkulit sabana. Kering. Tapi di lokasi Hua Khow Jai dan Deng ada sedikit pohon, huma, dan karet liar yang kurus-kurus. Sub-subkampung tumbuh hanya di seputar kawasan landai di relung dan kaki bukit yang terendam ke danau - yang seluruhnya pantai cuma Lenok saja.

Selain Songkhla, Hua Khow juga punya tetangga lain: di utaranya, berwujud dua pulau kecil (koh). Yaitu Koh Yow dan Koh Na Ngam. Jika dilihat dari udara dua koh ini seperti dipisahkan dari Bun Hua Khow oleh garis asimtot sekitar satu dan dua mil. Di sinilah Husin serta kawan-kawan berperan sebagai penghubung dengan tuktuk-nam mereka, yang mundar-mandir mulai subuh hingga jauh malam.

Bukan seperti Hua Khow, Koh Jow oleh pemerintah di jual kepada turis. Penduduknya yang dua ribu itu seluruhnya penganut Thaibhud, agama Budha-Siam yang merupakan agama resmi Muangthai. Koh Yow yang berpenduduk nelayan lebih dikenal sebagai sarang penenun kain sutera.

Muangthai yang 514.000 km2 punya 72 provinsi dan berpenduduk hampir 50 juta. Selain yang etnis Thai (80%), di sana ada keturunan Burma, Laos, Champa, India, Mongol, Cina (10%), dan Melayu 5%. Yang Islam konon berjumlah tujuh juta. "Tetapi pemerintah mengatakan ke dunia luar, umat Islam di Siam ini hanya tiga juta," kata Haji Abdurahman, 40, mubalig yang lahir dan tinggal di Hua Khow Jai.

Pemeluk Islam itu bertebar di Provinsi Pattani (70%), Yala, Narathiwat, Satun, Songkhla, Pathalung, Pukhet, Bangkok. Mereka mengamalkan fiqh mazhab Syafi'i. Yang memilih mazhab Maliki umumnya menetap di utara, yaitu di Chiang Mai sampai ke Segitiga Emas - di sempadan Burma - yang terkenal dengan tanaman opiumnya. Penganut Islam di utara itu adalah Cina Moro yang kaya-kaya dan saleh. Jangan salah duga, Moro di sini bukan Moro Islam di Filipina.

Penduduk Hua Khow yang 98% nelayan juga bermayoritas Islam. Dalam catatan resmi 1983 di pemda Provinsi Songkhla, populasi di Hua Khow 11.547 jiwa. Komposisinya: 8.330 Islam. Yang Thaibhud, dari ras Siam 2.310 dan dari Cina 1.107 jiwa.

Menurut kepala lingkungan - disebut kamnan - Hua Khow Jai, Abdullah (34), selain di desanya itu penduduk Desa-Desa Hua Khow Deng dan Lenok, yang 100% nelayan, juga pemeluk Islam.

Di kawasan inilah, Hua Khow, dengar-dengar ada keturunan Indonesia yang kendati sudah lama menetap masih mengakui asal muasalnya, dan konon menghormati nenek moyang mereka.

* * *

Pada zaman bahari Hua Khow masih berwujud sebuah pulau. Namun, "Karena alam berubah, misalnya karena erosi, pengendapan, dan munculnya delta-delta, lama-lama selat pemisah itu jadi daratan," kata Saynee Mardman, M.A., 37, dosen Fakultas Sastra dan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Srinakharinwirot, Songkhla.

Di sisi utara tanjung mini Hua Khow ke arah kota kecil Hua Sai, kini cuma huma yang terhampar dan sedikit sawah. Dan di kiri kanan highwayke Nakorn Si Thamarat, lahan gundul melulu.

Sebelum peradaban berkembang, Hua Khow dikenal sebagai "pulau hantu". Para lanun, perompak, dan perampok banyak yang bermarkas di sini. Sedangkan Koh Yow dan Koh Na Ngam dipakai sebagai sarang berlindung dan pertahanan kalau ada penyerbuan. Gambaran Hua Khow dalam benak orang-orang tua waktu itu adalah pulau tak bertuan yang berhukum rimba.

Bekas-bekas yang seram itu masih terasa sampai kini. Misalnya di Bothei yang sunyi dan jarang penduduk, suasananya suram mencekam. Di jalan pintas yang jarang dilalui di pundak bukit, dari Deng ke Hua Khow Jai, hutan membelit. Begitu juga yang di utara Lenok; selalu ada pesan, "Sebaiknya Anda jangan jalan sendirian ke sana." Dalam beberapa sisi Hua Khow memang misterius.

Sekitar 30 tahun lalu, Na Ngam masih dikenal sebagai sarang penyamun. Penduduk di sekitar itu sering menjadi sasaran teror mereka - sebagian besar akhirnya terpaksa mengungsi. Keluarga Saynee, yang Islam itu, terpaksa angkat kaki dari Na Ngam. Saynee sekarang membangun rumah tak jauh dari masjid Banbun (Kampung Atas) di Kota Songkhla.

Pada abad ke-7 sampai akhir abad ke-13, kawasan Pak Chan (Tanah Genting Kra) di sepanjang Burma hingga ke Selatan Thai pernah dikontrol militer dan jalur perdagangan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang, Sumatera. Tapi piut-mayut Husin si sopir tuktuk-nam baru mulai bercokol pada abad ke-18, ke-19, hingga akhir abad ke-20 di tepi Bukit Hua Khow.

* * *

Postur tubuh Husin dan kebanyakan warga Hua Khow memang sangat menyarankan kesimpulan. Wajah dan kulit mereka condong betul ke Indonesia ketimbang ke Siam. Cewek-ceweknya banyak yang berhidung mancung dan berkulit kuning langsat, sejumlah lagi malah hitam manis.

Toh, sungguh sulit untuk mengusutnya lebih lanjut. Di sana tak ada puying (perempuan) yang memakai nama Etti Sunarti, Suhartinah, Tulkiyem, ataupun Yoyoh. Si lelaki juga bukan Sukasah, Susanto, Wage, atau Satimo. Ada bau-bau Jufri pada nama yang telah mereka alihbahasakan jadi Jukfrit. Juga Hasyim berubah jadi Hoksyim. Gawat, nggak?

Penguasa Siam agaknya pernah keras bertindak ke dalam. Rupanyadengan misi penting: hidupkan "ras dan tampang Siam". Di paspor, misalnya, nama mutlak dicantumkan yang Siam. Karena itu di sana orang Islam terpaksa punya dua nama. Jangan heran ada orang yang bernama Ibrahim, di KTP-nya ditulis Arthut. Siamisasi ini memang tak pernah kedengaran muncrat ke luar. Tapi begitulah kenyataannya.

Sampai-sampai orang Siam asli yang di Hua Khow itu, setelah diamati betul, wajahnya keruh dan kulitnya sedikit kasar. Walaupun demikian fisik mereka hampir tak ada bedanya dengan penduduk Islam yang disangka keturunan Indonesia ini. Kulit si Siam asli umumnya juga sawo matang dan merah. Barangkali sudah tercampur, karena di Hua Khow ada juga mereka yang blasteran. Beberapa di antaranya kelihatan pada mata yang rada tajam dan berbau Mongol.

Misalnya penduduk di Lenok. Walau Islam, kulit matanya tak bisa sembunyi: sipit, dan kulit mereka kemerah-merahan. Citra ini kentara betul pada keluarga Syafi'i Tawi Thepharin, 39. Lelaki ini tak memilih jadi nelayan. Dia malah buka warung nasi di Thape Khananyon, Songkhla, dekat terminal ferry di seberang Hua Khow Deng. Istrinya, waduh, cantik. Ibu tiga anak ini disangka orang perempuan asal Siam Utara. Konon kentara dari sorot matanya yang lebih tajam.

Karena perkawinan dan percampuran yang kental, makin tak jelas di mana sekarang penduduk asli Hua Khow. Dulu mereka memang bertabur di Hua Khow Jai (artinya: Kepala Bukit Besar). Kemudian banyak yang pindah ke Hua Khow Deng (artinya: Kepala Bukit Merah). Di Hua Khow Deng, 6 km dari Hua Khow Jai itu, banyak penduduk asli yang kawin dengan pendatang.

* * *

Asimilasi sudah melilit penduduk Hua Khow. Mereka yang diduga berbau Indonesia, misalnya, tak pernah tahu apa itu angklung, ludruk, kuda kepang yang mengunyah beling, Waldjinah atau Rhoma Irama. Dan wayang kulit entah ke mana mereka tendang. Wayang, menurut mereka, adalah bioskop - di Songkhla. Wayang kulit memang ada di Siam, tapi karena yang mendalang beragama Budha, mereka anggap tak layak disimpan di rumah.

Penduduk Hua Khow kulitnya sudah lain. Seorang cewek Islam ketika menghadiri suatu perayaan atau pesta perkawinan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…