Sisi Lain Dari Pahlawan Perang Teluk

Edisi: 40/23 / Tanggal : 1993-12-04 / Halaman : 57 / Rubrik : BK / Penulis : YH


Perang Teluk sudah berusia hampir tiga tahun. Panglima pasukan Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat, Jenderal Norman Schwarzkopf, dipuji di mana-mana sebagai pahlawan perang. Ketika pasukannya pulang dari Arab -- setelah membebaskan Kuwait dan memorak-porandakan Irak -- ia dielu-elukan ribuan orang. Begitu hebatkah ia memimpin pasukan? Rick Atkinson, bekas reporter The Washington Post, yang pernah memenangkan hadiah Pulitzer, menulis buku yang mengungkapkan sisi lain dari Schwarzkopf. Judulnya Crusade: The Untold Story of the Persian Gulf War. Ternyata, Schwarzkopf tak selamanya hebat, bahkan ia pernah melakukan ketololan yang tak perlu -- selain perangainya yang meledak-ledak, pemarah, dan menjengkelkan. SAFWAN, IRAK YANG mereka dengar pertama kali adalah suara bum... bum... bum... yang dalam dari baling-baling helikopter yang berdebum-debum di utara. Setengah lusin helikopter Apache bersenjata lengkap tampak mengiringi sebuah Blackhawk, yang lebih besar. Apache-Apache itu, tampak seperti para pelayan yang mengiringi rajanya, muncul di balik asap dari minyak terbakar yang mengambang rendah. Di landasan, para serdadu sibuk menata diri ke dalam barisan, menegakkan bahu mereka, bersiap sembari sempat berbisik-bisik, pelan dan dalam, "Schwarzkopf datang!"

Norman Schwarzkopf adalah figur yang paling teatrikal dalam dunia ketentaraan Amerika, semenjak Douglas Mc Arthur. Dan ia melintasi landasan seperti seorang aktor yang bergerak diikuti cahaya lampu sorot. Pasukan khusus Delta Force yang menjadi pengawal, berpakaian hitam ketat dan bersenjata otomatis, segera berbanjar membentuk barisan.

Jenderal-jenderal (staf) Schwarzkopf tampak mengerumuninya, memberi hormat dan menjabat tangannya dengan rasa hormat yang tak tersembunyikan: Gus Pagonis, perwira perbekalan yang tampak seperti gambar kartun Yunani; Tom Rhame, komandan divisi infanteri kesatu; si suara lembut Fred Franks, jenderal berbintang tiga komandan korps ketujuh. Mereka semua adalah perwira junior di Vietnam, yang selalu marah oleh perang itu dan perdamaian semu yang kemudian tercapai. Mereka tetap bertahan untuk memulihkan kehormatan dan kehebatan profesi prajurit dan, yang lebih penting, untuk memperbarui ikatan antara negara dan para prajuritnya. Di sinilah, di Safwan pada 3 Maret 1991, pembuktiannya. Untuk Schwarzkopf dan para stafnya, perang ini bukan dimulai enam minggu sebelumnya, melainkan 20 tahun yang lalu.

Dalam pandangan Schwarzkopf, Perang Teluk telah memberi Amerika kemenangan medan perang yang pertama setelah berpuluh tahun. Ia sudah menghancurkan tentara Saddam Hussein tanpa banyak mengalami kerugian. Tak ada kesalahan strategi maupun taktik yang terjadi. Ia menunjukkan ketegasan dan kepastian bertindak seperti layaknya seorang komandan.

Ketika terbang ke utara dari Kota Kuwait di pagi hari, ia terpaku melihat pemandangan mengerikan di bawahnya. Kota Safwan benar-benar terkoyak. Asap dari ratusan sumur minyak yang diledakkan memenuhi udara. Untuk pertama kalinya, Schwarzkopf melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa dahsyatnya kehancuran yang diciptakan oleh kekuatan yang dipimpinnya. Deretan tank dan truk militer yang hitam terbakar tak terputus bermil-mil jauhnya. Reruntuhan berbentuk salib gosong terbakar, yang tadinya adalah pesawat tempur Irak, bertebaran di bawah.

Perang adalah neraka yang dikenalnya dengan amat intim. Sepanjang 35 tahun kariernya di angkatan darat, termasuk dua kali bertugas di Vietnam, ia sudah dua kali terluka. Di kalangan prajurit dan bawahannya, Schwarzkopf dijuluki CINC, kependekan dari commander in chief, atau sang panglima, jabatan resminya dalam operasi kali ini. Ia ditakuti oleh musuh-musuhnya dan dikagumi oleh bangsanya. Panglima tentara Inggris di Perang Teluk, Sir Peter de la Billiere, menjulukinya "Man of the Match".

Namun, Schwarzkopf juga bisa menimbulkan sakit hati yang amat dalam di kalangan orang dekatnya. Temperamennya yang meledak-ledak sangat jelas terlihat. Di dalam markasnya di Riyadh, figur kebapakan yang mestinya muncul jika ia berada di depan publik sering hilang begitu saja. Dan gantinya adalah seorang jenderal yang meledak-ledak seperti gunung berapi. "Ini ide paling goblok, apa kamu hendak membunuh prajutir-prajuritku!" adalah makian yang kerap terdengar. Dalam masa enam bulan yang sudah lewat, Schwarzkopf berulang-ulang, langsung maupun tidak langsung, mengancam akan memecat atau menyeret komandan senior angkatan darat, komandan angkatan laut, dan komandan angkatan udara ke mahkamah militer. Menteri Pertahanan Richard B. Cheney sudah lama khawatir akan temperamen Schwarzkopf yang meledak-ledak itu.

Maka markas besar Schwarzkopf, yang dipenuhi oleh makiannya selama berbulan-bulan, berubah menjadi sebuah bunker yang kehilangan semangat. Inisiatif luntur begitu saja, bahkan para jenderal senior yang menjadi stafnya enggan menyampaikan kabar buruk yang bakal meledakkan Schwarzkopf. Alih-alih, jika saat ledakan tersebut tiba, para jenderal itu memilih duduk diam dengan muka melongo dan berusaha mengalihkan pandangan dari si "Gunung Api". Di kalangan perwira, sikap seperti ini sangat populer, dan mereka menyebutnya "gaya ikan maskoki terpana".

Sekitar pukul sebelas siang, para prajurit dan wartawan yang sedang menunggu tampak berhamburan melihat ke utara: delegasi Irak sudah datang. Seorang komandan brigade dari divisi infanteri kesatu sebelumnya menjemput delegasi itu kira-kira sepuluh kilometer di sebelah utara Safwan. Seperti yang sudah diperintahkan, para jenderal Irak itu turun dari tank mereka dan menaiki empat Humvees -- jip versi terbaru milik angkatan darat Amerika. Dua kendaraan personel lapis baja, Bradley, mendahului iring-iringan ini, sementara dua tank Abrams yangs segede gajah tampak membuntuti.

Schwarzkopf menunggu di depan tenda utama. "Saya tak ingin mereka dipermalukan, saya tak mau mereka dihina, dan saya tak mau mereka difoto," perintahnya kepada perwira staf. Begitu mereka sampai, Schwarzkopf segera mengumumkan melalui penerjemah bahwa para jenderal itu harus digeledah. "Ikuti saya," katanya kemudian.

Di balik pemandangan yang tampak tertib dan teratur itu sebenarnya ada cerita bagaimana kacaunya operasi tempur yang dilakukan Schwarzkopf. Ketika perang sudah mendekati jam-jam terakhir, Schwarzkopf memerintahkan agar persimpangan jalan di dekat bandara Safwan dikuasai, dan ia memberi perintah ini langsung kepada Letnan Jenderal John Yeosock, komandan senior angkatan darat.

Tapi, pada saat gencatan senjata mulai berlaku, pukul delapan pagi tanggal 28 Februari 1991, divisi infanteri kesatu, yang bertanggung jawab atas sektor tersebut, masih berada sekitar 16 kilometer dari persimpangan. Dalam kebingungan melakukan penyerangan terakhir atau menuruti gencatan senjata, muncul kesalahpahaman tentang deadline gencatan senjata dan laporan palsu yang menyatakan bahwa ada tembakan-tembakan artileri dari pasukan sendiri yang mengakibatkan gerakan pasukan terhenti. Memang, helikopter-helikopter penyerang yang dimiliki divisi ini menguasai kawasan udara, tapi di darat cuma pasukan Irak dengan seragam hijaunya yang masih menguasai persimpangan jalan di Safwan.

Ketika gencatan senjata resmi diberlakukan, Schwarzkopf, tanpa menyadari bahwa pasukannya masih sekitar 16 kilometer dari sasaran, mengusulkan Safwan sebagai tempat perundingannya dengan jenderal-jenderal Irak yang akan menyerah. Jenderal Collin L. Powell, Panglima Angkatan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

T
Tamparan untuk Pengingkar Hadis
1994-04-16

Penulis: m.m. azami penerjemah: h. ali mustafa yakub jakarta: pustaka firdaus, 1994. resensi oleh: syu'bah…

U
Upah Buruh dan Pertumbuhan
1994-04-16

Editor: chris manning dan joan hardjono. canberra: department of political and social change, australian national…

K
Kisah Petualangan Wartawan Perang
1994-04-16

Nukilan buku "live from battlefield: from vietnam to bagdad" karya peter arnett, wartawan tv cnn.…