Nista Di Jalan Albert 80

Edisi: 27/14 / Tanggal : 1984-09-01 / Halaman : 49 / Rubrik : SEL / Penulis :


MUSIK yang datang dari sebuah gramopon tua terdengar jernih, nyaring, tetapi luar biasa pilunya: "Egoli lizwe laku hlupheka." Egoli, dari kata Inggris gold (emas), mengawali lagu Zulu berjudul Johannesburg, Bumi Kesengsaraan.

Gramopon rongsokan itu milik seoran buruh tambang emas yang sedang menunggu kereta di stasiun Johannesburg, Afrika Selatan. Begitu sendunya lagu yang diperdengarkan, konon, sehingga menjerat minat Aggrey Klaaste, seorang wartawan. Itulah yang kemudian dijadikannya lead tulisan "Orang Buangan di Negeri Sendiri", dalam The New York Times Magazine, Juni silam.

Ketika Klaaste - yang sehari-harinya staf redaksi surat kabar Johannesburg, The Sowetan - berada di peron stasiun itu, "anak-anak tambang" sedang beranjak pulang ke rumah masing-masing. "Meskipun disebut anak-anak, mereka sepenuhnya orang dewasa," tulisnya. Pertumbuhan mereka tampaknya memang tertahan oleh lingkungan pekerjaan dan mutu makanan, padahal tingkat usia mereka antara 18 tahun dan 45 tahun.

Bertampang ganjil dalam pakaian seragam yang melekat di punggung yang kekar, berotot, barisan buruh itu jadi seperti arak-arakan aneh. Di kepala yang berambut keriting terpasang topi koboi. Arloji yang melingkar di lengan biasanya bersepuh keemasan atau keperakan. Di hidung yang pesek dan berkilat-kilat bertengger kaca mata hias. Semuanya barang murahan.

Di stasiun Johannesburg tidak saja berjubel para pekerja tambang, yang menanti keberangkatan dengan berdebar-debar. Tempat itu juga menjadi singgahan campur aduk antara penduduk kota yang pulang petang dan orang pedalaman yang "mudik". Orang-orang desa berkulit hitam, besama para buruh tambang yang sama gelapnya, diangkut dengan kereta ke desa dan kota-kota kecil yang berdekatan - mirip angkutan Jabotabek di Jakarta dan sekitarnya.

Kelompok-kelompok pekerja tambang - yang jumlahnya dibatasi 20-30 orang saja per kelompok oleh penguasa - memang mirip penduduk Jakarta asal daerah yang pulang "mudik" menjelang Lebaran. Bedanya, para penggali emas itu pulang setiap enam bulan, jangka waktu satu tahap penggalian.

Klaaste kurang menjelaskan apakah "mudik" enam bulan sekali itu terjadi saban hari, secara bergiliran. Tapi, melihat pembatasan jumlah 20-30 per kelompok, tampaknya memang begitulah.

"Kampung halaman" yang dituju benar-benar kerontang, berjubel, dan reyot. Harap tahu, itulah kamp penampungan khusus kuli-kuli hitam Afrika Selatan.

Perjalanan pulang direncanakan dengan cermat oleh pemerintah. Berkeliaran bergerombol di peronperon bisa berbahaya. Lagi pula, para penumpang harus mendapat sedikit keleluasaan menggelandang di ruang-ruang segregasi stasiun.

Wajah-wajah para penambang umumnya membiaskan kemurungan dan membersitkan senyum mengejek. Seolah-olah mereka sadar telah menjadi sasaran guyon terbesar dalam sejarah. Di dalam pancaran tatapan mata tecermin amarah dan dendam zyang tak terucapkan akan kehidupan kota yang gemerlapan dl sekitarnya. Mereka melenggang dalam keangkuhan yang dipendam, dalam upaya sia-sia menampilkan dirinya sebagai manusia.

Dan, ketika gramopon mengulangi blues sendu yang itu-itu juga, salah seorang pekerja tambang memancing dahak dari dasar kerongkongan, dan, "Cuh!" Bersitan liur terbang ke kepala kelompok penduduk berkulit hitam tak jauh dari tempatnya. Mengapa sesama bangsa hitam menjadi sasaran kemarahan? Mereka, menurut Klaaste: "Begitu yakin akan diri, begitu sadar akan angan-angan superioritasnya." Aneh !

Kejadian itu mengingatkan pada teriakan panggilan nyana we sizwe ("putra bumi"), yang segera sirna dalam keputusasaan. Jeritan yang tak terlukiskan pahitnya itu terdengar ketika orang-orang seperti Nelson Mandela, pemimpin Kongres Nasional Afrika, dijebloskan ke dalam penjara Kepulauan Robben.

Karena para kuli tambang juga putra bumi, semprotan dahak berbau busuk itu menjadi semacam pernyataan sikap politik. Itu adalah ekspresi kemuakan, tantangan, teror, dan - anehnya - reaksi yang tak tertanggungkan terhadap masyarakat kota berkulit hitam yang memandang dengan mata miring kepada para "anak tambang". Padahal, tulis Klaaste "Kita semua telah menjadi orang buangan di negeri sendiri."

Bagaimanapun keadaannya, para pekerja tambang telah menjadi lambang pertentangan dalam masyarakat kulit berwarna di Afrika Selatan. Di sini,seperti pada hampir seluruh kehidupan dan politik Afrika Selatan, garis-garis perbedaan digoreskan. Di sana, hitam dilawankan dengan hitam; dan cara seperti ini dengan liciknya disusupkan dalam sistem apartheid, menghasilkan proses yang diinginkan: memecah-belah dan memerintah.

Tahun lalu, setelah beberapa dasawarsa kebal terhadap tekanan dari…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…