Menembus Mimpi Buruk Kamboja

Edisi: 36/14 / Tanggal : 1984-11-03 / Halaman : 33 / Rubrik : SEL / Penulis :


JEFFERSON adalah sebuah kota kecil tradisional di New Hampshire, Amerika Serikat. Ia dikelilingi dinding-dinding. Pegunungan White, dan hampir sepanjang tahun diselimuti salju. Penduduk kota itu menghabiskan waktu mereka untuk bekerja dan kegereja. Di kota itu, wajah-wajah asing yang hitam, yang Spanyol, atau lebih lagi yang Asia - jarang sekali terlihat.

Tapi di tempat seperti itulah empat tahun lalu muncul Pendeta Peter L. Pond membawa delapan anak berkulit cokelat. Anak-anak ini bicara "cecowetan" - anak-anak Kamboja. Bapak Pendeta tidak bermaksud aneh-aneh; dia bahkan punya tujuan yang mulia: menghidupkan kembali jiwa dan mental anak-anak yang selama bertahun-tahun dihancurkan perang dan teror itu.

Jiwa anak-anak itu memang sudah remuk. Sejak sebelum berusia 10 tahun mereka sudah dipaksa merasakan ngerinya kecamuk perang saudara, ledakan bom Amerika, pembantaian oleh teman sebangsa mereka - Khmer Merah - dan penghancur leburkan tatanan masyarakat serta aturan moral.

Antara-1970 dan 1975, rezim militer yang berkuasa menyelewengkan nilai-nilai kemasyarakatan. Sebagai anak, waktu itu imajinasi mereka adalah imajinasi yang bersih. Ketika teman-teman sekampung mereka mulai berpaling ke kelompok komunis yang sedang bergerilya, mereka pun dengan penuh minat ikut mendengarkan cerita-cerita tentang Khmer Merah. Tentang gadis-gadis dan jejaka-jejaka yang dibawa ke hutan dan dilatih bertempur. Beberapa bahkan berpikir, alangkah enaknya jika Khmer Merah berkuasa - bayangkan, tak akan ada lagi sekolah Lalu Khmer Merah benar-benar datang - menyapu desa-desa, memberangus kota-kota, dan pada tahun 1975 memberlakukan sebuah eksperimen masyarakat baru. Masyarakat Kamboja dibagi dalam dua kelas: "masyarakat inti" - para petani buta huruf yang tak pernah menentang kaum komunis, dan "masyarakat baru" - penduduk Phnom Penh dan para pengungsi yang menyesaki jalanan Ibu Kota tanpa makanan dan sarana kesehatan sedikitpun.

Realitas itu membuyarkan segenap angan-angan kekanakan. Dengan segera mereka dipaksa menyaksikan pembantaian sepertiga tetangga mereka yang hidup di kota dan seperenam saudara mereka yang hidup di desa. Yang tertinggal adalah kenangan tentang ayah ibu yang dibawa ke hutan dan tak pernah terdengar lagi beritanya, atau tentang kakak atau adik yang dibunuh di depan mata mereka sendiri.

Di Amerika, mereka harus mencoba membuang semua trauma itu. Mereka harus mulai membuka kembali hati yang sudah lama tak mengenal rasa cinta dan percaya kepada orang lain. Itulah tujuan Pendeta Peter Pond membawa mereka ke Jefferson ke lingkungan orang-orang Protestan saleh yang sangat Amerika itu, dan mengangkat mereka menjadi anak. Mereka harus mencari jalan baru dan harapan-harapan baru di tanah air baru.

Dan mereka - berarti juga sang pendeta tampaknya akan berhasil. Anak-anak yang mampu selamat di tempat penuh gejolak itu ternyata bisa menyesuaikan diri di tempat yang semula asing. Selama empat tahun mereka telah membuktikannya meski tidak gampang. Dan keberhasilan mereka ini bisa jadi merupakan titik terang bagi 5.600 anak Kamboja lain yang ditolak masuk AS oleh pemerintah setempat, serta 14.500 lagi yang nasibnya masih terkatung-katung di berbagai penampungan sementara.

Mereka tertolak oleh peraturan yang melarang pengungsi yang "terlibat" Khmer Merah memasuki AS - peraturan yang tak jelas, karena pemerintah tak memberi definisi pasti untuk "terlibat". Kedelapan anak itu sendiri dalam beberapa hal jelas terlibat. Mereka, paling tidak, pernah menggembalakan ternak atau bekerja di ladang untuk Khmer Merah. Beberapa bahkan pernah dipaksa jadi tentara untuk melawan Vietnam. Yang seperti ini, misalnya, dialami Arn Chorn.

* * *

Arn Chorn punya mata luar biasa. Penuh cahaya, tetapi juga kesenduan. Biasanya mata seperti itu bebas berbinar-binar, seperti umumnya mata anak kecil. Tetapi mendadak mata itu bisa jadi gelap, tertutup aneka kenangan hitam. Ibunya, pemilik warung sayur di dekat lapangan terbang Kota Battambang di tepi barat Kamboja, hilang begitu saja. Ayah dan kedua belas saudaranya dibunuh - beberapa bahkan di depan matanya sendiri. Dia sendiri lalu diserahkan kepada pamannya, sebelum akhirnya diambil milisi Khmer Merah.

Dua tahun pertama pemerintahan komunis itu Arn ditempatkan di Wat Ek, bekas pagoda yang dijadikan penampungan anak yatim. Di dekat tempat itu ada sebuah tempat yang disebut "Arena Pembantaian". Arn ingat betul apa yang terjadi di situ. Ia - juga anak-anak lain - dengan sengaja memang disuruh menonton.

"Tiap hari Khmer Merah membawa banyak orang ke situ pada pukul 05.30. Mereka disuruh menggali liang kubur mereka sendiri," tutur Arn - kini 18 kepada Gail. "Pukul enam persis pembantaian dimulai. Kebanyakan pakai kapak yang dipukulkan di tengkuk. Suaranya seperti kelapa digebuk, tapi lebih keras. Kadang-kadang ada yang tak sampai mati. Yang ini juga langsung dikuburkan. Darah di manamana. Mereka bilang, mereka membunuh 15.000 orang di situ. Anak-anak tinggal dalam ketakutan di waktu siang, di waktu malam. Menjerit dalam kegelapan ketika mimpi buruk datang. Tak bisa tidur, meski kerja sangat berat."

"Khmer Merah di distrik kami punya sebuah permainan," tutur Arn selanjutnya. "Dua orang saling melempar bayi sampai bayi itu jatuh. Mereka menyuruh anak-anak menyaksikannya. Tak bisa bicara, tak bisa berteriak. Cuma menonton. Pembunuhan seperti itu ada di depanku. Mataku melihat, tetapi pikiranku kosong. Aku tak merasakan apa pun. Yang lain mungkin juga begitu. Aku cuma berpikir, alangkah enaknya jika ada nasi. Kadang-kadang aku berpikir begini: jika kamu beri aku semangkuk besar nasi, kamu boleh bunuh…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…