India Yang Menggeliat Perlahan

Edisi: 36/14 / Tanggal : 1984-11-03 / Halaman : 43 / Rubrik : SEL / Penulis :


Aku tak ingin dirangkai-rangkai menjadi kalung bunga di leher pangeran. Aku tak ingin ditabur di kaki ratu. Aku tak ingin menjadi buah tangan di antara orang yang berkasihan. Aku ingin dibiarkan menyebarkan sari dan wangi sendiri.
(Nyanyian orang Desa Chirora, India)

COBA, bagaimana?" tanya James Traub kepada Mihil Lal Shukla di suatu pagi yang bening. "Adakah Desa Chirora berubah sejak masa kanak-kanak Anda?" Traub sendiri bilang, sangat sulit mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Tapi yang ditanyainya sekarang, Shukla, seorang pemuka agama Brahma yang dipermuliakan. Kaca mata bulat berbingkai kawat yang dipakainya konon membersitkan uap kecerdasan.

Shukla tertegun. Kulit keningnya yang berIipat terangkat, tapi mulutnya terkatup diam.

"Bagaimana jalan kotor berdebu yang membawa kita ke sini?" tanya Traub lagi.

Benar, jawab Shukla akhirnya, jalan itu baru saja dibangun. Tetapi seorang penduduk desa yang dekil memperkirakan usia jalan tadi 15 atau 16 tahun dan usia itulah yang konon "baru" bagi ukuran Desa Chirora.

Apa yang dilakukan orang jika ada yang jatuh sakit? Yah, kata Shukla, orang itu harus digotong dulu ke jalan besar, kemudian diangkut ke dokter yang jauhnya sekitar lima atau enam mil. Sekarang sudah ada kemajuan: tabib modern itu bisa dicapai pada jarak dua atau tiga mil.

Traub mendesak terus: Bagaimana jika musim penghujan? "Putus hubungan sama sekali," jawab yang ditanya, seperti sudah maklum. Jika ada yang sakit berat, ada yang selamat, ada yang mati, kata Shukla kalem.

James Traub mengangkat kembali tanya jawab ini ke dalam tulisannya berjudul A Village in India: Reluctant Progress, yang muncul dalam The New York Times Magazine. Pengarang buku India: The Challenge of Change itu bercerita dengan enak dalam gaya "aku". Kita biarkan saja ia meneruskan gayanya.

* * *

Petang itu, ketika matahari condong ke pinggir dataran luas bagian utara India, aku melintasi padang-padangnya yang terbuka bersama Indrapal Singh. Jangkung dan serius, si Singh ini dari "aliran muda" - seorang petani teladan yang memandang jauh ke depan. Indrapal mengharuskan pertaniannya memakai bibit unggul, pupuk, dan herbicide. Di sini, kupikir, orang tidak hanya melihat perubahan tetapi juga dengan segera menerimanya.

"Mengapa Anda tidak membeli traktor?" tanyaku.

Pemerintah India, yang menyadari kesulitan penerapan modernisasi di bidang pertanian, memberikan pinjaman tanpa bunga untuk peralatan pertanian.

Indrapal termenung sesaat. "Mengapa saya harus melilit diri dengan utang?" jawabnya. "Saya cukup makan dan pakaian, dan sanggup menghidupi keluarga. Buat apa traktor?"

Aku datang ke Chirora, desa berpenduduk 1.500 jiwa di Negara Bagian Uttar Pradesh, untuk mencoba memahami kenyataan dari yang biasa disebut "India yang sesungguhnya".

Di daerah bagian utara India ini, setengah milyar manusia hidup di desa-desa. Di dalam dua perlawatanku yang terakhir kemari - yang berjangka waktu setahun - telah kulintasi berbagai desa tanpa mendiaminya. Padahal, hanya dengan menetap di suatu tempat, dan gulang-galing dengan permasalahannya, walaupun untuk waktu singkat - seminggu, katakanlah - kukira baru dapat dipahami ruang lingkup dan laju perubahan ekonomi dan sosial di India.

Chirora tampak seperti umumnya desa-desa bagian utara India lain yang pernah kukunjungi. Jalan-jalan sempit, yang melingkar-lingkar di antara rumahrumah lempung, tetap berlapis lumpur lama setelah hujan turun. Sapi dan banteng menggelandang dengan mata berkaca-kaca di halaman yang bergunduk-gunduk; candi-candi memperagakan patung-patung tanah dengan mencolok.

Toh, desa-desa tidak memperlihatkan sebuah stereotip. Di sini tidak ditemui daerah pedalaman India seperti di dalam khayalan kita, yang terus nyenyak dalam tidurnya yang abadi dan ingkar dari hukum sejarah modern. Tidak.

Tidak pula Chirora. Desa ini berjalan seirama dengan era India modern yang meledak dalam pidato-pidato kampanye Perdana Menteri Indira Gandhi dan para anggota Partai Kongres yang sedang berkuasa, yang sedang menyongsong pemilu sebelum Februari. Di dalam pidato-pidato politik mereka, sistem kasta atau kutukan terhadap kaum hina dina konon sedang dibantai. Program-program ekonomi telah dengan mencolok menyentuh kehidupan fakir miskin. Dan, seperti mengutip bahasa poster, mereka bilang, the nation is on the move. Nasion sedang bergerak maju. Itulah retorika di podium.

Chirora tidak pernah ada bicara tentang huru-hara berdarah yang menyeret-nyeret kepekaan etnis dan keagamaan, yang membuat Ibu India berurai air mata - di tengah si Sikh dan si Hindu bersibunuh di Punjab, dan orang Islam dan Hindu bertarung. Chirora, seperti umumnya desa-desa India, terdiri dari hampir semuanya orang Hindu.

Tema pokok Chirora adalah teka-teki perubahan. Kami menginginkan perubahan, demikian Brahma tua dan petani muda menyanyikan paduan suara. Tentu saja, itu tidak pernah datang - mereka menambahkan - kendati aku dapat melihatnya. Segala prasarana untuk membikin kehidupan lebih baik sudah di tangan - sekolah, bank, pabrik, proyek perluasan pertanian. Tetapi sesuatu terjadi di antara tangan yang ingin meraih perubahan dan prasarana yang hendak digenggam, jatuh terbentang bayangan hitam. Apa?

* * *

Ketika pertama kali aku tiba di Chirora, sekelompok petani yang bersahabat mengajakku berkeliling ke ladang-ladang. Kami mengitari beberapa bidang tanah sekitar setengah akre luasnya, masing-masing menanam palawija - bawang, kentang, wortel, terung, gandum, dan sejenis padi-padian (millet). Ada juga sejenis pepohonan semak berbulu panjan, disebut arhardal. Mostar (mustard) berbunga putih lembut, dikenal dengan nama shenwa memagari ladang bagai bordiran pada pinggir serbet hijau.

Kami bertemu dengan dua lelaki ramping tak berbaju yang sedang menyirami ladang garapan. Mereka secara berirama menimba ember demi ember air dari bak penampungan yang satu ke bak penampungan lain yang terletak 12 inci lebih tinggi. Pada kami diperlihatkan sumur pompa yang digerakkan mesin, yang diharapkan dapat mengairi tanah-tanah pertanian, tapi hanya bisa digerakkan antara pukul 9 pagi dan pukul 4 petang.

Pemda setempat, yang terus-menerus kekurangan tenaga listrik, harus bergilir memberi jatah: rumah kediaman, industri, dan pertanian. Pekan ketika kami datang, para petani mengairi sawahnya di bawah sinar bulan purnama. (Pekan berikutnya sejak pukul 5 subuh sampai pukul 11 pagi.) "Jatah listrik," kata seorang petani berpakaian bagus, sambil kami menyaksikan pompa yang menganggur, terasa "omong kosong bilkul" - omong kosong besar.

Pembicara bahasa Inggris yang rusak-rusakan itu menoleh ke pemilik mesin pompa yang dicercanya…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…