Kekuatan Kaum Fanatik
Edisi: 38/14 / Tanggal : 1984-11-17 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :
DI Libanon, sebenarnya sudah banyak aku melihat kengerian. Misalnya, aku tak ingat lagi berapa kali penembak misterius mengincarku. Aneh, semua itu tidak menakutkan aku. Saat yang mengerikan baru muncul di bar Hotel Commodore, 8 Februari lalu, justru pada sebuah peristiwa yang tidak berdarah.
Hari itu kelompok Amal Syiah baru saja mengambil alih kontrol atas Beirut Barat. Sekelompok milisi fanatik Hizbullah (Partai Allah, artinya) sedang mengobrak-abrik sarang-sarang pelacuran dan rumah-rumah minum. Aku sedang duduk di bar saat itu. Kudengar derap langkah memasuki lobi. Aku menoleh, dan kulihat seorang pemuda tinggi besar dengan berewok hitam lebat. Matanya meliar ke mana-mana, dan di tangannya menggayut sepucuk M-16 mengarah ke bar.
Si penjaga bar, yang tahu bahwa peristiwa semacam itu bakal terjadi, pagi-pagi telah menyembunyikan semua botol minuman keras dan menggantikannya dengan Pepsi-Cola. Toh milisi itu tak bisa ditipu. Dia melompat ke belakang bar, mendorong bartender ke samping, dan mulai menghantami botolbotol minuman dengan popornya. Selesai, ia keluar lagi, meninggalkan "kolam anggur" di lantai.
Aku menggigil ketika itu. Aku merasa berhadapan dengan sesuatu yang tak pernah kuhadapi sebelumnya - wajah garang seorang fanatik. Orang itu dengan ringan saja bisa menghantam aku seperti menghantam botol-botol itu. Dia datang dari Partai Allah, dia percaya pada kebenaran - dengan "K" besar - dia punya M-16, dan dia tak ingin ada yang mengotori pandangannya. Dia kelihatan begitu kuat, sementara aku merasa begitu rapuh.
Untuk pertama kali ketika itu aku merasa bukan lagi seorang reporter yang bertugas memberitakan penderitaan orang lain. Aku merasa rumahkulah yang dilanggar, kemerdekaankulah yang diancam bahaya. Tiba-tiba aku merasa menjadi korban kekerasan ekstrem yang selama ini kuberitakan dengan datar dan tanpa perasaan. Semua ditujukan padaku. Kulihat milisi itu, kulihat api di matanya, kulihat juga bagaimana mudahnya dia memaksakan nilai-nilainya kepadaku.
Sore itu telah kulihat, toleransi dan jalan tengah tak punya daya sama sekali.
Makin lama memang makin tampak bahwa kericuhan di Timur Tengah adalah ladang ekstremis: dunia mereka yang melakukan apa saja untuk tujuannya sendiri. Pengeboman kedutaan Amerika di Beirut - sebuah pengulangan dari yang menimpa Markas Besar AL Amerika di Libanon - adalah karya kaum ekstremis terbaru. Penyerangan di Masjidil Haram di Mekkah, pembantaian terhadap pengungsi Palestina di Libanon, pembantaian di Syria, pencederaan beberapa wali kota Tepi Barat oleh teroris Yahudi, dan perbuatan pasukan pembunuh Muammar Qadhafi adalah babak-babak baru sejarah wilayah ini.
Betul, kaum moderat tetap merupakan mayoritas di Timur Tengah. Tetapi mereka tak berdaya. Bagiku tampak jelas benar: toleransi telah tersingkir diwilayah ini.
Kulihat toleransi tersingkir di pemilu Israel, ketika Rabi Meir Kahane--si rasialis anti-Arab - mendapat kursi di Knesset, sementara Lova Eliav, yang menginginkan hidup berdampingan secara damai dengan Arab, dilecehkan.
Kulihat toleransi dihinakan ketika kutemui, di suatu Jumat bulan Juli 1982, apartemenku porak peranda. Dua kelompok pengungsi Palestina berkelahi memperebutkan gedung delapan tingkat itu. Yang kalah dengan gampang meledakkan gedung itu, membunuh istri sopirku, yang berkebangsaan Palestina, dan dua anaknya. Aku tak akan pernah lupa pada Muhammad, sopirku itu, yang pernah menangis dan mengeluh sebelum kematiannya. "Sungguh tak adil.
Aku hanya ingin damai. Tak pernah kusentuh sebuah senapan pun selama hidup."
Kulihat toleransi dibunuh di suatu pagi bulan Januari lalu, ketika dua butir peluru menembus kepala rektol Universitas Amerika di Beirut, Malcolm Kerr. Ketika itu dia cuma bersenjatakan payung dan map. Malcoln adalah orang yang selalu berjuang agar Amerika mau mengerti kemauan ma syarakat Islam dan Arab.
Kulihat toleransi tersing kir ketika di bulan Mei lalu sekelompok aktivis perdamaian Libanon yang sedang merencanakan suatu arakan damai di garis hijau yang membelah Beirut, ditembaki sekelompok milisi. Dua puluh dua orang ditemukan terbunuh dan seratus tiga puluh luka-luka ketika demonstrasi dihentikan. Tak pernah kulupakan aktivis-aktivis perdamaian Beirut yang berkumpul di garis hijau untuk mengambil kembali prasasti pualam yang rencananya mereka dirikan di situ. Prasasti yang berbunyi, "Ya untuk Hidup, Tidak untuk Perang." Mereka membawanya pergi seolah membawa mayat.
Itu cuma sekadar contoh. Masih banyak yang lain, yang menggelitik pertanyaanku yang jadi semakin keras: mengapa semua itu terjadi; mengapa mereka yang paling ekstrem, yang paling keras, yang paling tak pernah berkompromi menjadi begitu kuat?
* * *
Alasan pertama sederhana saja. Mereka - ekstremis-ekstremis itu - mampu melakukan apa saja dengan cara apa saja untuk memaksakan kehendak mereka. Di Timur Tengah setiap kejahatan ada pahalanya. Jika Anda melakukan kekerasan sekeras-kerasnya - Anda tak akan masuk pen jara. Anda bisa memperoleh 200 dolar. Atau malah diangkat jadi presiden. Kupelajari ini di sebuah kota di Syria, Hama.
Februari dua tahun lalu Hafez Assad, presiden negara itu, punya sedikit masalah di Hama. Entah dari mana informasinya, dia yakin bahwa di kota berpenduduk 180.000 itu ada 200 orang anggota organisasi bawah tanah Ikhwanul Muslimin yang merencanakan nemberontakan.
Supaya aman, pemerintah mengambil jalan pendek: memberondong kota itu dengan tank dan senapan berat - membunuh kurang lebih 20.000 orang.
Sepuluh minggu kemudian, ketika Hama sudah…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…