Sandhyakalaning Wayang Wong

Edisi: 51/13 / Tanggal : 1984-02-18 / Halaman : 37 / Rubrik : SEL / Penulis :


PUKUL 8 malam. Gamelan mulai bertalu. Tapi bunyi itu ternyata tak mampu mengundang orang. Kursi-kursi di gedung pertunjukan Wayang Orang Ngesti Pandowo, Semarang, tetap berbaris bisu. Baru sekitar pukul 9, tatkala pertunjukan pembukaan berupa tarian dimulai, beberapa orang muncul.

Malam akhir Januari lalu itu Ngesti Pandowo menampilkan sebuah lakon carangan, Bambang Premujo. Cerita tentang Arjuna yang beralih rupa itu ternyata cuma mampu menarik sekitar 50 pengunjung. Umumnya mereka memilih kelas I yang tarifnya Rp 500. Dan begitu pertunjukan dimulai, tanpa mendapat aba-aba, penonton yang hampir seluruhnya orang tua itu melompat bergeser pindah ke kelas VIP yang berharga Rp 750.

Si lelaki tua penyobek karcis, sambil bersandar ke pintu, berkata dengan suara datar, "Ya, memang begini keadaannya. Sepi. Malahan sering yang beli karcis cuma belasan. Kalau hujan deras sejak sore, kami tak main. Yang agak ramai cuma malam Minggu - atau kalau pertunjukan ketoprak, setiap Senin dan Kamis." Menurut kamusnya: penonton agak ramai = di atas 100 orang; penonton ramai = di atas 200 orang. Sedang kapasitas gedung itu 1.000 orang.

Seorang pria setengah umur, yang ternyata petugas Dinas Pendapatan Daerah Kotamadya Semarang yang ada di situ, membenarkan. "Belakangan ini penonton memang sepi. Terpaksa pajak tontonannya tak kami pungut," ujarnya. Pajak itu besarnya 24%o dari pendapatan yang, malam itu, paling banyak Rp 25.000.

Lalu, berapa seorang pemain menerima uang? Wanto, 44, aktor inti yang biasa memerankan Gatotkaca atau Cakil, mengaku "kalau ramai Rp 800, kalau sepi Rp 700." Pemain inti lain, Sriati, 42, yang pada 1967 terpilih sebagai aktris terbaik dalam Festival Wayang Orang se-lndonesia di Jakarta, menolak mengungkapkan berapanya. "Saya malu, sebab tidak cukup untuk kebutuhan hidup," katanya. Belakangan terungkap: jumlah Rp 800 itu memang sudah tertinggi. Yang terendah: Rp 300. Maklum, seluruh pemain dan awak Ngesti Pandowo berjumlah 90 orang.

Pimpinan Ngesti, Sastro Sudirdjo, 71, mengaku sudah sejak 1970 mereka memasuki masa prihatin. "Dan semakin tahun kehidupan kami semakin merosot. Rata-rata tiap bulan kami harus menombok satu setengah juta rupiah," tuturnya. Ini yang menyebabkan ia, pada 1982, menjual seperangkat gamelan Ngesti seharga Rp 10 juta - kepada Kejaksaan Agung.

Dengan girang Sastro kemudian menceritakan masa kejayaan Ngesti Pandowo 1949-1970. Mula-mula perkumpulan ini, yang didirikan Almarhum Sastrosabdo, iparnya sendiri, pada 1 Juli 1937, bermain keliling dari kota ke kota di Jawa Timur. Biasanya, mereka mentas di bangunan sementara yang mereka dirikan di alun-alun. Pada 1942 mereka mengalihkan daerah operasi ke Jawa Tengah. Dan sejak 1949 menetap di Semarang, menempati gedung milik Yayasan Gris di Jalan Pemuda. Yayasan ini sekarang berhak memperoleh Rp 20 dari setiap karcis yang terjual.

"Waktu masih jaya itu kami sempat membeli gamelan, kostum baru, dan malahan juga 2,5 hektar tanah guna kompleks perumahan," tutur Sastro. Para pemain, di samping memperoleh imbalan yang cukup, juga mendapat berbagai santunan lain - termasuk bantuan pengobatan dan uang sekolah anak.

Tapi semuanya kini tinggal kenangan. Toh kehidupan Ngesti Pandowo sekarang, menurut Sastro, "agak sedikit ringan." Sesudah mendengar teriakannya pada 1982, setelah mereka terpaksa menjual gamelan, banyak tangan terulur menolong. Atas permintaan gubernur Jawa Tengah, Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Tengah memberi subsidi pembayaran listrik Rp 350.000 sebulan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga memberi bantuan bulanan kepada 28 senimannya, antara Rp 7.500 dan Rp 20.000 per orang. "Kami sekarang bisa bernapas lagi," katanya.

Tidak demikian halnya dengan sebuah perkumpulan lain, tetangga sekota Ngesti Pandowo, yakni Wayang Orang Sriwanito. Yang ini tetap tersengal-sengal. "Belakangan ini hanya tiap malam Minggu kami main," kata Katijah, 60, yang ditemui di asramanya di belakang Pasar Dargo, Semarang. Katijah biasa memerankan embok emban (abdi putri) dengan upah kalau main Rp 125.

Imbalan sebesar ini bisa dimaklumi. Primadona Sriwanito saja, Suparti, 25, yang biasa memainkan tokoh Arjuna, cuma menerima Rp 140. Sugiyo, yang di panggung biasa bersalin rupa menjadi Dursasana atau Burisrawa, Rp 125. Sebab itu di siang hari bapak lima anak ini bekerja sebagai tukang kayu atau batu. "Pekerjaan apa saja, sejauh saya bisa," kata pria yang sudah 20 tahun menjadi warga Sriwanito itu.

Penampilan Sriwanito sendiri "seadanya". Kostum mereka umumnya tua dan kusam, seperti juga asrama mereka yang dihuni 45 orang. Toh di panggung terlihat sekali keinginan mereka untuk menghibur - padahal "belakangan ini, untuk menghibur diri sendiri saja rasanya sulit sekali." Itu kata Sudawi, 45, ibu Pelawak Basuki dari Srimulat.

Di kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya, yang sudah dua tahun ini dipugar - tapi entah kapan bisa kelar - bercokol perkumpulan wayang orang lain: Sriwandowo, yang mulai bermain di situ sejak 1962. Keadaan Sriwandowo saat ini bisa disimpulkan dari ucapan Dasri, 52, pensiunan pegawai BAT yang sudah 20 tahun bekerja sebagai penyobek karcis di sini. Sembari menenggak botol 7-Up yang berisi air tawar, Dasri berkata, "Tengok saja ke belakang panggung. 'Kan di situ tidak ada minuman teh, kopi, atau rokok."

Di belakang panggung memang tak terlihat rokok, kopi, atau teh. Mereka minum air putih, dan merokok ketengan - kadang-kadang. Beberapa orang pemain dalam kostum peran raksasa terkantuk-kantuk bersandar di pilar, menunggu giliran. "Kami ini buto (raksasa) yang kurang darah," kata salah seorang, yang giginya mencuat mirip topeng Bali.

Dekor Sriwandowo yang lima lapis itu tak kelihatan cemerlang meski lampu panggung yang 1.500 wat menyorot kuat. Selama sekitar dua jam pertunjukan, entah berapa kali sistem pengeras suara berdengung atau kena storing. Untuk menggambarkan hutan belantara, cukup dipasang beberapa pot akasia yang diambil dari taman THR yang berantakan. Hampir seluruh kostum lusuh dan butut.

Malam itu Iakon yang dipertunjukkan Samba Rajah. Dan tujuh pemain senior ternyata membolos. "Itu biasa. Alasannya tidak enak badan," kata seorang pengurus. Di panggung sendiri tampak mereka bermain seadanya di depan penonton yang hanya belasan orang. Burung garuda, yang seharusnya perkasa, kelihatan sempoyongan tatkala harus "memanggul" raja dalam suatu adegan. Batara Narada, begitu permainan selesai, langsung menuju pintu samping - membeli singkong rebus. "Sudah masuk angin, telat makan," ujarnya sembari kremus-kremus, masih dalam seragam…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…