Dilema Minoritas Tionghoa
Edisi: 25/14 / Tanggal : 1984-08-18 / Halaman : 36 / Rubrik : SEL / Penulis :
MENJELANG berakhirnya abad ke-19, hanya ada sejumlah kecil orang Tionghoa yang menjadi petani; orang Tionghoa di Jawa kebanyakan terdiri dari pedagang dan karyawan dari suku Hokkien. Karena kesulitan angkutan dan Dekrit Kaisar negara Cina yang secara resmi melarang orang Tionghoa meninggalkan dan masuk kembali ke negara Cina, maka imigrasi massal ke Jawa tidak pernah terjadi. Orang Tionghoa yang datang ke Jawa biasanya laki-laki. Mereka lalu kawin dengan wanita setempat, baik yang bukan Islam maupun yang Islam nominal. Lama-kelamaan keturunan mereka membentuk masyarakat yang mantap, yaitu masyarakat "Tionghoa peranakan sebelum Perang".
Masyarakat itu kemudian jadi menyendiri karena perkawinan campuran dengan wanita pribumi berkurang. Orang Tionghoa peranakan kawin antara mereka sendiri. Para imigran Tionghoa yang baru datang membentuk kelompok peralihan yang kecil dan selanjutnya dengan cepat membaur ke dalam masyarakat itu - karena tidak ada imigrasi massal. Tempat tinggal peranakan dari generasi sebelum Perang itu terpusat di Jawa dan beberapa daerah perkotaan di luar Jawa, tempat banyak kesempatan untuk berdagang .
Kaum peranakan lalu kehilangan kelancaran berbahasa Cina yang aktif, tetapi masih mudah dibedakan dari orang pribumi. Penduduk pribumi di Jawa Barat memanggil anggota laki-laki dari masyarakat itu dengan sebutan baba, anggota perempuan dengan sebutan nyonya (untuk yang sudah menikah) dan nona (untuk yang belum kawin). Sebelum Perang Dunia II, beberapa orang Indonesia menamakan anggota kelompok itu Indo, tetapi istilah itu sekarang khusus dipergunakan untuk "campuran Eropa". Istilah peranakan dipergunakan secara meluas untuk menyebut orang Tionghoa lokal seperti itu.
Orang peranakan dari generasi sebelum Perang menggunakan bahasa Melayu Cina sebagai bahasa percakapan. Struktur dasar bahasa itu adalah struktur bahasa Melayu, tetapi dipalai juga secara meluas istilah-istilah Hokkien dan Belanda. Buku, terbitan berkalaan surat kabar mereka terbit dalam bahasa yang berangsur mati itu.
Sebagian orang laki-laki peranakan yang kaya menerima pendidikan tradisidnal (Hokkien). Tetapi wanitanya biasanya tidak terpelajar. Mereka dibesarkan dengan cara sana seperti para ibu mereka. Para pria peranakan yang miskin mendapat sedikit pendidikan Melayu atau Indonesia (dan Belanda sebagai bahasa pelengkap). Walaupun demikian, dengan berkembangnya nasionalisme Cina sertameluasnya sekolah yang menggunakan bahasa Cina (Tiong Hoa Hwee Koan, seterusnya disebut THHK) pad abad ke-20, banyak anak kaum peranakan mulai mendapat pendidikan Tionghoa modern. Beladda menanggapi tantangan itu dengan mendirikan sekolah berbahasa pengantar Belanda bagi anak-anak orang Tionghoa iokal. Banyak kaum peranakan kaya kemudian mengirimkan anak mereka ke sekolah sempatan, kerja yang lebih luas.
Hanya kaum peranakan yang miskin saja yang tetap menyekolahkan anak mereka ke THHK atau sekolah Melayu (proto-Indonesia). Di luar pendidikan, bahasa pertama kaum peranakan dari generasi sebelum Perang masih bahasa Melayu Cina atau salah satu bahasa daerah Indonesia.
Kaum peranakan dari generasi sebelum Perang paling banyak berusaha di bidang "perdagangan perantara". Walaupun demikian, karena pengetahuan mereka berbahasa Melayu dan kadang-kadang juga Belanda, para peranakan itu kemudian menjadi pegawai orang Barat (Belanda) atau perusahaan Tionghoa. Tiong Hoa Keng Kie Hwee (Gabungan Karyawan Tionghoa adalah sebuah organisasi kaum "buruh" peranakan yang berpengaruh sekali sebelum Perang Dunia II). Ada juga sebagian kaum peranakan dari generasi sebelum Perang yang bekerja sebagai dokter, pengacara, ahli teknik, ahli ekonomi, dan wartawan.
Keyakinan agama kaum peranakan itu bermacammacam. Yang terbanyak mengarlut pemujaan kepada nenek moyang serta semacam agama rakyat Cina yang telah tercampur dengan adat pribumi (Indonesia). Walaupun Konfusianisme dan Samkauw "Tiga Agama" sudah muntfi pada pertengahan pertama abad ke-20, jumlah anggota perkumpulan-perkumpulan keagamaan itu tidak diketahui. Hanya sejumlah kecil Tionghoa menganut agama Islam (khususnya dari kelas bawah) dan Kristen (khususnya di antara kaum perankan yang berpendidikan Belanda).
Dalam hukum Belandapara peranakan dari generasi sebelum Perang adalah rakyat Kerajaan Belanda. Negara Cina Kuomintang di sisi lain juga menganggap Tionghoa Indonesia sebagai warga negaranya dan karena itu tunduk kepada hukum mereka - hal itu ternyata tidak pernah dapat terlaksana. Dengan demikian, secara teoretis orang Tionghoa peranakan mempunyai kewarganegaraan ganda. Setelah Indonesia merdeka, kawula Belanda dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia, kecuali kalau menolak. Republik Rakyat Cina sebelum 1955 menganggap kaum peranakan sebagai warga negaranya dan karena itu para Tionghoa tersebut mempunyai kewarganegaraan ganda pula. Masalah itu terselesaikan tahun 1960 dengan ditandatanganinya persetujuan tentang kewarganegaraan ganda antara Jakarta dan Peking: bagian terbesar dari kaum peranakan dari generasi sebelum Perang tetap menjadi warga negara Indonesia.
***
Berlangsungnya Perang Dunia Kedua membawa perubahan-perubahan penting di Asia Tenggara pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya. Pendudukan Jepang mengubah struktur penjajahan Belanda dan mempercepat gerakan-gerakan menuju kemerdekaan Indonesia. Pemerintahan Jepang juga membawa akibat besar bagi kaum minoritas Tionghoa. Pemeintahan itu cenderung "mencinakan kembali" orang Tionghoa peranakan. Pada masa pendudukan Jepang, sekolah-sekolah Belanda ditutup dan orang-orang Tionghoa peranakan hanya dapat menyekolahkan anak mereka di sekolah Tiongho atau sekolah Melayu. Anak-anak para peranakan yang lahir pada akhir tahun 1930-an terpengaruh oleh perubahan itu. Tetapi pemerintahan Jepang berlangsung dalam waktu singkat, dan Belanda kembali menduduki Indonesia untuk waktu yang singkat juga. Orang Indonesia asli muncul sebagai tuan di negara mereka sendiri. Sistem persekolahan Indonesia kemudian dirintis. Kaum peranakan yang bersekolah di sekolah Belanda meneruskan pendidikan mereka di sekolah berbahasa pengantar Indonesia. Setelah 1957 semua warga negara Indonesia oleh hukum diwajibkan menyekolahkan anak mereka ke sekolah-sekolah Indonesia. Dengan sendirinya anak-anak atau keturunan kaum peranakan dari generasi sebelum Perang yang lahir dalam masa atau setelah masa Perang memiliki pengalaman pendidikan dan kehidupan yang berlainan serta sifat yang agak berbeda dari orangtua mereka.
Peranakan generasi baru itu tidak mengalami pemerintahan Deniaiahan Belanda. Mereka dibesarkan di alam Indonesia merdeka, ketika orang Indonesia asli memegarg pemerintahan, tidak lagi dijajah. Karena ada kecenderungan bahwa kelompok minoritas asing mengidentifikasikan diri dengan yang memerintah dan bukan yang diperintah, perubahan dalam struktur politik Indonesia membawa dampak juga terhadap para pemuda peranakan itu. Di samping perubahan sikap, para peranakan dari generasi sesudah Perang tidak lagi biasa berbahasa Belanda. Mereka menjadi lebih mahir menggunakan bahasa Indonesia daripada para orangtua mereka.
Sebagian besar peranakan dari generasi sesudah Perang adalah warga negara Indonesia. Umur mereka yang tertua sekitar tiga puluhan. Kewarganegaraan mereka pertama kali ditetap kan oleh orangtua mereka, tetapi sebelum 1966 mereka diberi kesempatan untuk memilih antara kewarganegaraan Indonesia dan RRC setelah berumur 18 tahun. Mayoritas memilih kewarganegaraan Indonesia. Keturunan dari peranakan gaya baru itu sekarang dibesarkan dalam tata cara Indonesia dan tentu lebih terbaur (walaupun tidak selalu berarti terasimilasi secara total) daripada para orangtua mereka.
Sistem keyakinan keagamaan peranakan generasi sesudah Perang itu sama seperti orangtua mereka. Tetapi sejak kudeta PKI tahun 1965, dengan dorongan resmi untuk melakukan kegiatan keagamaan, terjadilah kebangkitan kembali Konfusianisme dan Budisme di antara kaum peranakan. Tetapi banyak juga di antara mereka yang menjadi Kristen (Protestan atau Katolik), agama yang juga dianut banyak orang Indonesia asli - dan karenanya tidak dicela sebagai agama "asing". Pada tahun-tahun terakhir, jumlah peranakan yang menjadi Muslim juga menaik.
Mengenai pekerjaan, mereka sudah lebih banyak yang terserap dalam kerja kantor, tetapi bagian terbesar masih berkecimpung di bidang kegiatan dagang dan perusahaan.
Tidak seperti kaum peranakan dari generasi sebelum Perang, kawan-kawan mereka dari kaum totok merupakan pendatang baru yang tiba di Indonesia menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Hal itu terjadi sewaktu berlansung perolakan politik di negara Cina dan juga, bersamaan dengan menaiknya permintaan tenaga manusia di negara-negara terjajah di Asia Tenggara. Di bawah tekanan Barat, negara Cina menghapus larangan migrasi bagi orang Tionghoa. Imigrasi Tionghoa secara massal dari negara Cina ke Indonesia dan ke negara-negara lain di Asia Tenggara berlangsung selama periode itu. Sejumlah besar imigran baru, disertai para wanita Tionghoa, mengakibatkan para pendatang baru itu tidak berasimilasi ke dalam masyarakat peranakan yang sudah ada. Karena mereka lahir di luar negeri (yaitu di negara Cina), orang Indonesia asli menyebut mereka totok, artinya "orang berdarah murni asing". Orang Tionghoa peranakan menyebut mereka singkeh yang berarti "tamu baru".
Para pendatang baru itu terdiri dari berbagai golongan yang menggunakan berbagai bahasa dari Cina Selatan, dan sebagian besar adalah orang-orang bukan Hokkien (yaitu Hakka, Kanton atau Konghu, dan lain-lain). Mereka masih berbicara dalam bahasa Cina dan berkumpul sesuai dengan bahasa masing-masing. Ikatan mereka dengan negara Cina (dan setelah 1949 juga dengan Taiwan) masih dekat.
Kaum totok dari generasi sebelum Perang di Jawa mempelajari bahasa daerah untuk percakapan sehari-hari karena mereka harus hidup…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…