Kisah Si Penculik Dari Yorkshire
Edisi: 28/14 / Tanggal : 1984-09-08 / Halaman : 39 / Rubrik : SEL / Penulis :
KARENA kegemaran Peter Sutcliffe lebih dari sekadar merenggut nyawa dan mencabik-cabik pakaian wanita, terjemahan yang lebih tepat untuk julukannya adalah: Tukang Jagal dari Yorkshire - the Yorkshire Ripper. Tiga belas wanita korbannya ditemukan dalam keadaan simpang siur.
Sosok Peter Sutcliffe si pembantai wanita itu, ganjil luar biasa. Sangat pendiam di masa kecil dan remajanya. Setelah dewasa mengaku mendapat wangsit. Konon, ia mendengar perintah Tuhan yang menunjuk dia sebagai pesuruh pilihan.
Keganjilan Peter Sutcliffe, si pembunuh yang menghebohkan beberapa tahun lalu, menggoda wartawan Gordon Burn untuk turun menyingkapkan latar belakang si penerima wangsit. Berbulan-bulan lamanya jurnalis itu menetap di Bingley, kampung halaman Peter, bahkan tinggal di tengah keluarga Sutcliffe, begitu sang Ripper ditangkap setelah "merampungkan pembantaian bunga" yang ke-13. Wartawan itu berbincang-bincang dengan John Sutcliffe, ayah Peter, sambil menyantap makanan yang dimasak sendiri si tua itu. Atau mengobrol ketika minum-minum di pub. Semuanya akhirnya menghasilkan tulisan panjang dua kali muat di The Sunday Times Magazine, Mei silam.
Gordon Burn melakukan lawatan pelacakan ke Yorkshire Barat pada musim dingin 1981, hari-hari diumumkannya penangkapan Peter Sutcliffe. Kendati tidak lama, Burn sempat menyewa sebuah kamar di lantai dasar rumah bersuasana murung keluarga John Sutcliffe. Di sanalah Jane, termuda di antara tiga anak perempuan John, tinggal. Abang Jane, Carl, pernah tinggal pula di situ sampai ia kemudian membeli sebuah rumah sendiri.
Mondok di Jalan Priestthorpe No. 1 membuat Burn tidak tenteram. Ia lalu pindah ke kamar kecil di loteng bar Fleece, di jalan utama Bingley. Di sini ia merasa lebih nyaman. Pasalnya, ada yang memberitahu dia bahwa Peter si pembantai adalah "pengunjung tetap" kamar mandi dari kamar yang disewakannya di Priestthorpe No. 1 itu. Sepotong celana milik Peter masih tercampak di sana.
Rupanya menjadi kegemaran Peter berlama-lama mengunci diri di kamar mandi - kebiasaan masa kanak yang tak dapat ditinggalkannya. Ia sering pula terbaring dalam keadaan terjaga sepanjang malam sampai fajar datang.
Kasus Peter memang ganjil. Menurut Burn, walaupun perkaranya sudah disidangkan, Peter Sutcliffe tetap terra incognifa. Misalnya, para ahli ilmu jiwa yang dipanggil untuk memberikan kesaksian yang seharusnya meneliti apa Peter sakit jiwa atau tidak, menganggap tidak terlalu perlu menemui keluarganya, yang telah "terbeli" media massa.
Sebaliknya, kerabat dan kenalan Peter Sutcliffe yang mengenal seluruh kehidupannya merasa bahwa kenyataan dan khayalan Peter sering berbaur dan mengabur pada minggu-minggu dan bulan-bulan setelah penangkapannya. Namun, pengadilan dan para ahli jiwa tak percaya. Mereka menganggap, pendapat itu sebagian besar diakibatkan oleh beraninya agen-agen pers membayar para kerabat dengan harga tinggi untuk mendapat "naskah bagus" yang sensasional. Burn sendiri mengaku menggunakan bahan yang dapat dikorek, diamati, dan "dirasakannya" sendiri, dalam upaya mengungkapkan "sesuatu di balik fakta".
* * *
Terletak di lembah indah Aire, enam mil dari Bradford, di kawasan tenang yang sedang berkembang, Bingley tetap kota pedalaman. Masyarakatnya konservatif.
Keadaan ini disaksikan Nyonya Gaskell satu setengah abad silam. Melawat ke Utara untuk mempersiapkan biografi seorang temannya, Charlotte Bronte, Gaskell menumpang kereta api yang tahu-tahu "salah wesel" ke Bingley. Tiba di kota dusun itu sang pengarang kaget bukan buatan menyaksikan sikap kaku dan curiga tak menentu penduduknya.
"Tingkat kehidupan yang hanya mampu mencukupi keperluan sendiri membuat mereka cenderung menolak pendatang asing... orang asing acap dijawab secara kurang ajar - itu pun jika mereka sudi memberikan tanggapan. Tidak jarang hal itu berlanjut dalam gangguan fisik. Tetapi jika pendatang menerimanya dengan arif dan kepala dingin, serta memuji-muji sikap mereka yang "pada dasarnya" baik, mereka dapat segera berbalik bersahabat dan ramah, malahan bisa dipercaya." Demikian kesimpulan Nyonya Gaskell pada 1857. Konon, sikap demikian tak banyak berubah hingga sekarang.
Para pegawai dan orang-orang yang berbelanja merupakan langganan utama stasiun Bingley. Para pelancong, penumpang utama kapal kanal Leeds Liverpool, tersengal-sengal mendaki puncak Five Rise Lock. Dari sana terhampar pemandangan kota, bekas galian pondasi bangunan yang dibuat Bradford & Bingley Building Society, serta tanur-tanur tinggi Bowling Green Mills yang telantar.
Toh, terutama sejak 1960-an hingga sekarang, Bingley ramai dikunjungi penduduk sekitarnya. Mereka mencari udara yang masih segar.
* * *
John Sutcliffe kawin dengan Kathleen Coonan di Bingley beberapa saat sebelum Perang Dunia II berakhir. Anak sulungnya lahir 15 bulan kemudian, pada 6 Juni 1946. Itulah Peter Sutcliffe, si pembunuh. Kathleen, penganut Katolik yang taat, masih melahirkan enam orang anak lagi dalam masa 15 tahun berikutnya. Tetapi hanya Peter yang lembut dan sakit-sakitan, karenanya menjadi anak ibu yang disayangi. Sikap Kathleen yang "terlalu melindungi" si sulung inilah yang dituding suaminya sebagai pangkal sial yang menjerumuskan Peter menjadi banci, dan pemalu.
Maka, dalam upaya mencegahnya menjadi pemalu yang berketerusan, Peter dikirim ke sekolah Katolik St. Joseph di Bingley, saat ia baru berusia empat tahun. Padahal, pada kenyataannya hingga usia tujuh tahun pun ia tidak mampu beranjak dari ketiak ibunya.
Tiga anak laki-laki lainnya, kecuali Mick - "tinggi besar, perkasa, periang, penuh gairah hidup, yang sangat bertolak belakang dengan Peter" - sesuai dengan gagasan John tentang seorang "pemuda sejati".
Walaupun 14 tahun lebih muda, Carl, seperti Peter, tumbuh "terikat pada tali celemek ibunya". Dan, lagi-lagi seperti Peter, menderita di lingkungan sekolah.
Harus membesarkan enam anak, merawat rumah dan bekerja malam sebagai babu, Kathleen hanya sempat ke gereja tiga atau empat kali dalam setahun. Tapi iman perempuan itu tidak pernah luntur, dan dipandang sebagai contoh teladan wanita Katolik yang sepatutnya. Besar hati, pekerja keras, dan penyayang merupakan predikatnya yang tetap melekat di hati para tetangganya setelah ia meninggal pada 1978, dalam usia 59 tahun. Dijuluki sebagai ibu yang "berbakti", dengan satu-satunya kelemahan yang disesalkan: sikap yang "terlalu lembut".
Kathleen adalah pelindung utama Mick, yang pada usia remaja masih menggelendot di sekitar pinggang ibunya, terhadap polisi. Ketika anak itu berusia 13 untuk pertama kalinya ia ditangkap dan kemudian terus-menerus keluar-masuk penjara karena merampok dan mencederai orang.
Dari penampilan "lasak" di masa remajanya, Kathleen tahu-tahu harus memerankan seorang ibu yang bijaksana sesuai dengan usia dan kelasnya. Suaminya, sebaliknya, tampil dalam gaya anak-anak muda. Jas dengan dasi sutera, dari saku atas menyembul lipatan sapu tangan. Rambutnya dipangkas rapi. Apalagi jika ia tampil menyanyi dalam paduan suara pria di kotanya, atau kalau ke pesta dansa. Ia masih mampu bermain football dengan baik dalam usia 40-an dan malahan 50-an - dan bangga menikmati reputasinya, kendati dalam tingkat lokal Bingley.
Sebagai akibat terlalu berminat pada urusan di luar rumah ia nyaris menjadi orang asing bagi istrinya - hingga harus menjalani hidup berpisah dengan istrinya selama tiga bulan. Anak-anaknya juga mengenal ayahnya tidak lebih sebagai seorang indekosan. Dan jika sang ayah berada di rumah, ia sepenuhnya seorang tuan: tidak ada yang dapat diperbincangkan dengan dia, dan kata-katanya adalah undang-undang. Adalah peristiwa langka kalau sempat terlihat keluarga Sutcliffe keluar bersama untuk menonton John bermain kriket.
Tidak seperti anak-anak lelaki teman main ayahnya, Peter tidak pernah menaruh cukup minat terhadap pertandingan olah raga tersebut. Ia lebih senang menemani ibunya berjalan-jalan keluar-masuk toko. "Bagi si Peter, kami pemain kriket adalah kumpulan orang gila yang memukul-mukul bola dengan sepotong kayu," John belakangan menjelaskan, dengan agak malu, keoada rekan-rekannya.
Ketika Peter berusia 10 dan siap meninggalkan SD, ayahnya melakukan upaya terakhir untuk menjuruskan putranya itu ke olah raga favoritnya. Ia membuat bola kulit dan landasan main football di halaman rumahnya di Jalan Manor. Itulah hadiah Natal istimewa dari dia. Latihan pertama berlangsung tepat pada hari libur pertama.
"Ayuh buyung, bawa keluar peralatan footbal mu," katanya mencoba membangkitkan animo. "Oh, cuaca terlalu dingin .... Aku tak ingin ...." Jawaban ini segera membangkitkan amarah John. "Tak ada gunanya semua lapangan dan peralatan football baru jika kau tidak ingin menggunakannya. Sekarang, ayuhlah. Siap-siap."
Sang ayah memulai dengan memperagakan cara mendribel bola, menggiringnya dan mengontrolnya, menuju ke pitch dalam sepatu but cokelat yang mengkilap, sambil meneriakkan aba-aba. Kemudian giliran Peter. Anak itu mencoba sebisa-bisanya melakukan apa yang diinginkan ayahnya, seperti yang belakangan dituturkan John Sutcliffe. "Kukira, ia cukup alamiah. Kukira, ia menikmati permainan itu ."
Kembali ke rumah, Peter membongkar perangkat lapangan dan membawanya sekalian ke rumah bersama peralatan main, dan menyimpannya. Tapi tak pernah disentuhnya lagi. Beberapa tahun kemudian ibunya memberikan semua peralatan itu kepada seorang anak tetangga yang berminat pada football dan acap menonton permainan John.
Peter cenderung begitu pendiam di rumah, sehingga tak seorang pun di antara keluarganya yang tahu apakah ia sedang di rumah atau ke luar. Ia masuk kamar atau meninggalkannya tanpa merasa perlu memberitahu seorang pun. Bisa saja seseorang masuk ke kamar Peter tanpa merasa atau memperhatikan bahwa ia sedang duduk di sana.
Waktu berjam-jam ia habiskan di kakus - menclok di sana sepanjang petang jika tidak ada anggota keluarga yang mengusiknya. Dan ini menjadi guyonan keluarga. Monopolinya terhadap kamar mandi mendapat toleransi sebagai keanehannya yang lain, sampai kakak-kakak perempuannya berangkat dewasa. Tuduhan bahwa ia memakai waktu lebih banyak di kamar mandi ketimbang semua perempuan di rumah itu, yang berarti lima orang, termasuk ibu dan neneknya, tak habis-habisnya dipercakapkan. Di sana ada sebuah lubang sebesar biji melinjo yang sering kali dimanfaatkan diam-diam oleh Carl untuk mengintip kelakuan abangnya. Ternyata, yang dilakukan Peter tidak lain tidak bukan cuma menggunting milimeter demi milimeter rambutnya yang hitam menarik.
Ia mampu berdiri tak bergerak-gerak di depan cermin selama setengah jam atau lebih, tenggelam dalam dunianya sendiri.
"Sangat cermat" adalah citra yang setengah memuji, setengah mengejek, dilekatkan kepadanya pada usia remaja, di samping "sangat diam". Kecuali pada jam-jam pergi kerja, ia cenderung menggunakan separuh dari usia belasan tahunnya di dalam kamar yang pada malam hari dipakai bersama dengan dua saudara laki-lakinya.
Ia meninggalkan sekolah pada usia 15, dan bekerja di bursa wol di Bradford. Tetapi dengan segera tampak ia tidak betah dengan lingkungan hiruk-pikuk. Namun, bertukar-tukar pekerjaan terjadi berulang kali padanya, oleh banyak orang dinilai lebih sebagai ketidakmampuan melihat ke depan ketimbang ketidakmampuan menyesuaikan diri.…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…