Mesir Sesudah Bapak Angkat

Edisi: 43/14 / Tanggal : 1984-12-22 / Halaman : 33 / Rubrik : SEL / Penulis :


ORANG Mesir lebih suka mencemooh daripada memprotes," kata Ali Dasuki, sarjana ilmu politik Universitas Kairo. "Itulah cara mereka menekan penguasa. Semakin macet hubungan dengan penguasa, semakin doyan orang pada lelucon politik." Ini karena bagi orang Mesir hanya ada dua jenis manusia di dunia ini: yang periang, gampang menyesuaikan diri dengan kenyataan hidup, dan yang pemuram. Orang Mesir sendiri menganggap diri mereka periang, sedikit sinis, tapi pada dasarnya berhati baik.

Kelakar atau olok-olok merupakan cara orang Mesir mengungkapkan diri atau mengecam penguasa. Terhadap Presiden Gamal Abdel Nasser, yang memerintah dengan tangan besi, olok-olok itu menyangkut sifat pemerintahannya yang diktatorial. Pada zaman Presiden Sadat, mereka berolok-olok tentang korupsi yang berkembang sekitar dirinya. Juga tentang istrinya yang suka menonjolkan diri.

Tapi tentang presiden yang sekarang, Husni Mubarak, tidak ada - atau belum ada - olok-olok masyarakat, demikian tulis John Newhouse dalam The New Yorker edisi akhir Juli lalu. Mubarak jadi presiden bulan Oktober 1981 menggantikan Sadat, "Firaun pertama yang dibantai rakyat," kata orang Mesir.

Mubarak, dalam pandangan Dasuki, membawakan diri sebagai orang Mesir yang sangat wajar, penuh toleransi terhadap banyak hal. "Jadi, tak banyak yang bisa diperolok-olokkan tentang dia," kata Dasuki.

Salah Jahin, karikaturis politik koran Kairo terkemuka Al Ahram dan penulis sandiwara serta skrip televisi, mengakui lenyapnya lelucon politik sekarang ini. Yang muncul malah lelucon jenis lain yang absurd. Sasarannya: orang-orang Mesir yang dianggap "terkebelakang" - yang meninggalkan tanah air untuk cari makan dan mengumpulkan duit di negara lain. Di berbagai negara Timur Tengah saja ada empat juta orang Mesir - kebanyakan di Irak dan negara-negara Teluk Persia - dan kiriman uang mereka ke rumah penting artinya bagi perekonomian negara itu. Orang Mesir di dalam negeri, yang iri kepada mereka, menjadikan mereka sasaran olok-olok.

Menurut Yusuf Idris, penulis novel, cerita pendek, sandiwara dan film, Mubarak luput dari sasaran olok-olok politik karena gaya politiknya yang sangat berbeda dengan para pendahulunya. Idris adalah salah seorang penulis yang paling dikagumi dan dihormati pada zaman Nasser dan Sadat. Di zaman Nasser ia pernah ditahan, kemudian direhabilitasi. Ia sempat disiksa, dan salah satu sandiwaranya dilarang, tapi kini ia sehat walafiat. Di zaman Sadat yang amat tak disukainya - ia menderita karena menggambarkan presiden itu sebagai diktator dalam wawancara dengan penulis Israel, Amos Elon.

"Keadaan sekarang sangat berbeda," kata Idris. "Sadat selalu mau menang sendiri, tak peduli benar atau salah. Dan ini menjengkelkan orang Mesir. Tak ada olok-olok tentang Mubarak, karena ia benar-benar seorang presiden, bukan seorang 'bapak angkat' seperti Nasser atau Sadat. Mubarak melaksanakan tugasnya tanpa memaksakan kehendaknya kepada rakyat. Karena itu, tak ada yang membencinya. Tapi orang yang jatuh cinta kepadanya pun tidak ada. Orang sangat menghargainya - terutama ketulusannya dan netralitas politiknya. Apa lagi yang bisa kita harapkan dari seorang presiden? Kita tak menginginkan 'bapak angkat', bahkan 'bapak kandung' sekalipun."

Mubarak, kini 56 tahun, menjabat panglima angkatan udara Mesir ketika diangkat sebagai wakil presiden pada 1975. Tapi tak seperti Nasser atau Sadat, yang juga bekas tentara, Mubarak adalah perwira karier yang tak banyak pengalaman dalam politik. Sebagai perwira muda, Nasser dahulu telah menunjukkan bakat politiknya; dan Sadat, sebelum menggantikannya, sudah 25 tahun berkecimpung dalam politik. Tahun 1940-an Sadat dipenjarakan karena kegiatan terornya menentang Inggris. Sedangkan Mubarak, yang ada dalam dunianya hanyalah lapangan terbang, barak militer, dan rumah. Minatnya tertumpah pada pesawat terbang baru dan strategi perang melawan Israel.

Sebagai wakil presiden, ia digambarkan sebagai tokoh lucu. Tapi setelah menjadi presiden, ia banyak berubah. Ketika ia masih menjadi wakil presiden, penduduk Kairo menjulukinya la vache qui rit - "sapi yang ketawa" - ungkapan Prancis yang populer di sana, karena Mubarak sering kelihatan dipotret dalam suasana tak ada pekerjaan lain kecuali tersenyum. Seorang pejabat Amerika di zaman Carter, yang beberapa kali bertemu Mubarak waktu Carter mengunjungi Kairo, mengatakan, "la membuat catatan, dan tak banyak bunyi kecuali jika Sadat meninggalkan ruangan untuk bicara berdua dengan Carter, Vance, atau siapa saja.

Setelah atasannya berlalu itulah Mubarak baru akan ngoceh tentang kisah di medan perang, disertai sedikit kelakar. Tapi, setelah beberapa waktu kemudian ia beroleh pengalaman dalam urusan negara, kepercayaan dirinya mulai tumbuh, dan kepintarannya dalam berpolitik tampak jelas. Ia suka berterus terang dan blak-blakan dibanding Sadat yang jika bicara berbelit-belit, tak langsung pada pokok soal.

Orang luar akan melihat reaksi rakyat Mesir yang tenteram - apa pun aliran politiknya - dengan munculnya Mubarak, sementara Sadat dianggap terlalu menekan mereka. Di tahun-tahun terakhir pemerintahannya, presiden itu dianggap tidak saja sudah jauh mengabaikan hati nurani rakyatnya, tapi juga salah mengerti.

"Sadat adalah pemain panggung yang baik," kata Muhammad Sid Ahmad, bangsawan yang memikat dan seorang Marxis yang jadi kolumnis terkemuka harian kiri Al Ahali. "Tapi ia berbuat sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Ia memenjarakan segala jenis pemimpin politik - orang-orang pintar dari segala lapisan dan aliran." Yang dimaksudnya ialah penangkapan politik besar-besaran pada bulan September 1981. Sid Ahmad sendiri sempat lari ke luar negeri tak lama sebelum terjadinya peristiwa itu.

Penangkapan besar-besaran itulah yang membuat suasana bertambah tegang dan berakhir dengan terbunuhnya sang presiden beberapa minggu kemudian. Menurut orang Mesir sendiri, tindakan itu sebenarnya hanya mempercepat pematangan situasi. Makin merajalelanya korupsi di kalangan pemerintahan, dan keangkuhan Sadat yang tak mengacuhkan perasaan rakyat, melahirkan suasana yang mendorong lawan-lawannya berkomplot membunuhnya. Tapi waktu itu tak ada yang tahu seberapa luas komplotan itu atau apa yang ada di belakangnya.

Mubarak, yang sekarang berkuasa, sebaliknya. Ia tidak memperketat tindakan pengamanan, malahan mulai memberi beberapa keleluasaan. Para tahanan politik dibebaskannya, kecuali mereka yang cenderung pada tindak kekerasan. Ia pun mulai mendekati unsur-unsur moderat di kalangan oposisi. Masalah korupsi ditanggulanginya pula - bukan dengan mencurigai tokoh-tokoh penting yang kaya mendadak, tapi menjelaskan kepada setiap orang bahwa zaman pemerintahan baru yang lebih berhati-hati telah dimulai.

Sedemikian jauh, meskipun Sadat dianggap "kasar" - "terlalu kasar", bahkan - ada juga orang-orang di Kairo yang bersimpati kepadanya. Betapapun, Sadatlah yang mengusir para penasihat Soviet dari negeri itu dan memperbaiki hubungan dengan Amerika. Meski orang Mesir menganggapnya boneka Amerika, mereka menyukai hubungannya yang kuat dengan Amerika yang berhasil menggaet bantuan hampir US$ 2 milyar setahun dari sana.

Tentu saja Sadat tetap dikenang sebagai orang yang mengakhiri perang dengan Israel. Banyak, atau mungkin sebagian besar, orang Mesir yang sadar politik yang memang kurang senang dengan syarat-syarat perdamaiannya dengan Israel. Terutama karena tak adanya konsesi Israel terhadap hal-hal yang selama ini didesakkan dunia Arab. Tapi sebagian besar orang Mesir tetap lebih menyukai "perdamaian dingin" Sadat daripada terus menghadapi ancaman perang dengan Israel.

Singkatnya, dapat dikatakan, orang Mesir tak menyukai Sadat, tapi tak ingin apa yang sudah dicapainya tidak terselesaikan. Dalam pujian terhadap Mubarak, orang mendengar banyak hal tentang ketidaksetujuannya digunakan polisi rahasia untuk memata-matai penduduk. Ini hal yang baik, karena Mubarak mulai mengambil langkah untuk memperkukuh kebebasan rakyat. Di zaman Sadat pun, cara-cara memata-matai penduduk - dengan menyadap pembicaraan telepon mereka - sebenarnya sudah dibatasi.

Sadat memilih Mubarak sebagai bakal penggantinya karena ia merasa memerlukan seorang tokoh militer lagi, tapi yang tidak akan menimbulkan iri hati di kalangan perwira lain. Mubarak, dengan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…