Dan Sekarang Mereka Bicara

Edisi: 47/12 / Tanggal : 1983-01-22 / Halaman : 64 / Rubrik : AG / Penulis :


KH ACHMAD SUBROTO

DI Desa Banjarsari Kecamatan Buduran, 5 km dari Kota Sidoarjo, Ja-Tim, terdapat sebuah pesantren mini. Namanya seperti nama front pembebasan Palestina: 'Alfatah'. Pengasuhnya KH Achmad Subroto, sejak dua tahun silam, dengan santri 20 orang.

Ayah tiga anak ini dulu dikenal sebagai mubaligh IJ. Ia, kini 43 tahun, mulai mengenal kelompok IJ ketika berusia 15 tahun, "ketika saya baru pertama kali mengaji dan belajar agama." Lewat H. Nurhasan Al-Ubaidah itulah Subroto mengenal ayat-ayat Quran dan Hadis, dan dalam tempo enam bulan sudah menjadi kader.

Suatu ketika ia menanyakan satu masalah pada H. Nurhasan. "Kenapa H. Nurhasan yang sudah amir kok malah memberi contoh tindakan yang berlawanan dengan syariat, yaitu bercanda dan bicara yang cabul dengan wanita?," sebab, ia melihat sendiri. Nurhasan jadi berang. "Saya disuruh tobat 50 hari 50 malam, dan dilarang mengikuti pengajiannya selama itu. Dan diharuskan baiat lagi."

Subroto lantas tenggelam dalam bacaan buku-buku agama -- hal yang dilarang Nurhasan karena alasan tidak manqul (tidak langsung dari "guru yang sah"). Ia membaca bagaimana akhlak Nabi terhadap para sahabat, dan bagaimana pula Nabi menghargai hak seseorang.

Dan sementara H. Nurhasan mengajarkan bahwa harta dan kekayaan pengikut IJ adalah hak amir dan imam, Subroto membaca cerita Nabi yang ketika membangun masjid di Madinah menanyakan milik siapa tanah itu. Dan Nabi membelinya. Nurhasan, sebaliknya, pernah membawa sebuah hadis yang lemah: "Jika ia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka ta'atilah dan dengarkanlah".

Di pesantren sederhana itu petani ini memberi pengajian kepada para mualimin yang dulu pernah jadi pengikut IJ.

Kini Achmad Subroto mengaku, untuk menebus dosa-dosanya, selain jadi muballigh dan mengajar agama, juga bersama ibunya tahun 1975 ia naik haji. "Saya tidak menyesal pernah ikut IJ," katanya. "Karena saya memang tidak tahu. Sama dengan orang tertipu."

RINA WIEN KUSDIANI

Umurnya 22 tahun. Ia terlibat IJ tahun 1977, ketika seorang temannya datang memperkenalkan pengajian kepadanya. "Saya saat itu sangat ingin mempelajari agama. Kok datang teman saya, dan pengajarannya bagus," kata Rina yang berwajah menawan itu.

Tapi, kemudian ia merasa, "ada yang tak beres dalam ajaran yang saya peluk ini," tutur Rina yang berkacamata itu. Misalnya soal keamiran yang menurut dia mirip kepausan. Juga pemaksaan pajak 10%, dan pengafiran kepada orang lain. Rina mengaku pernah dua kali menghadap Imam Nurhasan yang dikiranya bisu itu, di kompleks IJ di Karawang.

Ada pun "kebisuan" Nurhasan itu terjadi seelah "peristiwa Malang": Ia dipermak di sana, dengan ilmu gaib segala, akibat melarikan gadis kemanakan anggota CPM ke Garut (TEMPO, 15 September 1979). Tapi menurut Debby, dia bisa bicara dengan Debby dkk. Rina tak tahu persis. Hanya, "saya lihat orangnya kelihatan agak sok."

Rina belum pernah menarik seorang pun mengikuti jejaknya. Kemudian datang Debby, pengajarnya di Pegangsaan, yang tiba-tiba memburukkan IJ dengan berbagai dalilnya. "Klop dengan pendirian saya sebetulnya. Maka langsung saja saya dukung.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Menyebarkan Model Kosim Nurzeha
1994-04-16

Yayasan iqro menyiapkan juru dakwah, ada di antaranya anggota abri berpangkat mayor, yang mengembangkan syiar…

S
Sai Baba, atau Gado-Gado Agama
1994-02-05

Inilah "gerakan" atau apa pun namanya yang mencampuradukkan agama-agama. pekan lalu, kelompok ini dicoret dari…

S
Siapa Orang Musyrik itu?
1994-02-05

Mui surabaya keberatan sebuah masjid dijadikan tempat pertemuan tokoh dari berbagai agama, berdasarkan surat at…