Sirnanya Impian Orang Selatan
Edisi: 04/13 / Tanggal : 1983-03-26 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :
SETELAH berita "orang perahu" berangsur-angsur surut, apa lagi yang menarik tentang Vietnam? Para pengamat kini mulai memalingkan perhatian terhadap kenyataan di balik penyatuan Utara-Selatan negeri itu. Apalagi telah hampir sepuluh tahun pasukan Hanoi memasuki kota Ho Chi Minh (dahulu: Saigon).
"Tidak banyak partai yang berhasil menutupi diri dengan mitologi politik seperti halnya Vietnam," tulis Stephen J. Morris dalam sebuah tinjauannya, penghujung tahun lalu. Dengan kesimpulan seperti itu, doktor ilmu politik keluaran Universitas Boston ini mencoba menyimak kebijaksanaan Hanoi terhadap Selatan setelah wilayah itu berhasil "dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi."
"Selama tiga puluh tahun," demikian Morris, "para pemimpin Partai Komunis Vietnam (PKV) berhasil meyakinkan sejumlah wartawan dan cendekiawan Barat bahwa gerakan yang mereka pimpin adalah gerakan nasional." Gerakan itu seolaholah mencerminkan tuntutan hati nurani rakyat Vietnam. Dan, seolah-olah komunisme hanyalah jalan untuk mencapai tujuan nasional - bukan tujuan itu sendiri.
Ketika AS meninggalkan Vietnam Selatan, 1975, tidak terbilang penduduk yang cemas akan nasibnya di bawah rezim komunis. Terutama mereka yang pernah mengabdi dalam dinas sipil dan militer Vietnam Selatan.
Namun para pemimpin Vietnam Utara tidak bertindak terburu nafsu. Mereka memperlihatkan sikap santun, seolah olah turut memikirkan hari depan bekas aparat, pemerintah Selatan itu. Lagi pula, di hari-hari awal itu, mereka masih mengharapkan dollar AS sebagai bantuan untuk "pembangunan sosialis."
"Enam minggu pertama kekuasaan komunis di Selatan merupakan peragaan justa politik yang luar biasa," kata Stephen J. Morris yang pernah tergabung dalam Pusat Riset Rusia di Universitas Harvard. Pada Mei 1975, semua eks pejabat rezim Saigon diwajibkan mendaftarkan diri kepada penguasa baru. Selang sebulan mereka dipanggil untuk mengikuti program "pendidikan kembali" (reedukasi). Mereka diwajibkan melaporkan diri pada hari dan tempat tertentu - tergantung pangkat dan jabatan dalam pemerintahan Selatan dulu.
Semua eks tamtama dan bintara Angkatan Bersenjata Vietnam Selatan (ARVN) juga terkena wajib daftar untuk"studi pembaruan". Studi itu diselenggarakan di Kota Saigon selama tiga hari berturut-turut mulai pukul 7 pagi sampai pukul 4 petang. Tiap sore siswa diizinkan pulang ke rumah masing-masing.
Pada 11 Juni 1975 keluar komunike baru. Komite Pengelolaan Militer memerintahkan semua perwira senior, tentara dan polisi untuk segera melaporkan diri. Permintaan serupa juga ditujukan pada personil legislatif, Yudikatif, dan eksekutif, serta anggota partai yang reaksioner. Mereka diperintahkan membawa alat tulis, pakaian, kelambu, perkakas pribadi, makanan, bahkan uang, untuk keperluan satu bulan. Nah lu!
Para perwira, pejabat tinggi, dan pemuka politik itu kemudian dimasukkan ke berbagai kamp khusus di daerah pinggiran. Tidak kurang pula yang dikirim ke Vietnam Utara. Sebagian besar, sampai sekarang, tidak jelas peruntungannya.
Mereka yang diamankan dalam kamp tidak seorang pun yang pernah terlibat perkara kriminal. Seluruh proses penangkapan dan penahanan mereka bahkan tidak mempunyai dasar hukum yang sah.
Berapa banyak penghuni berbagai kamp itu? "Sekitar 20 ribu orang," ujar para penguasa komunis Vietnam. Tetapi bukti lain menunjukkan penghuni kamp itu berjumlah sekitar 200 ribu orang.
Nguyen Cong Hoan, bekas wakil Provinsi Phu Khanh dalam Majelis Nasional Vietnam yang dikuasai kaum komunis, melaporkan angka lebih besar lagi. Ketika ia, dalam, kedudukan anggota majelis, beroleh kesempatan mengunjungi berbagai kamp di sekitar provinsinya, memperkirakan tak kurang dari sekitar 340 ribu orang yang meringkuk di pelbagai tempat penahanan .
Di kamp, para penghuni dipaksa melakukan pekerjaan badan. Tapi ransum makanan yang mereka terima tidak sebanding dengan kalori yang dikeluarkan. Menurut catatan akhir 1978, ransum beras untuk setiap penphuni kamp berkisar antara 400 dan 470 gramper hari. Kini, dengan situasi bahan makanan yang makin buruk, sulit dibayangkan angka yang pasti.
Daging hanya diberikan pada harihari raya nasional. Kebutuhan obat-obatan tidak terlayani. Kelaparan dan penyakit membunuh para penghuni kamp secara perlahan-lahan.
Harapan untuk bebas dari kamp masih ada. Yaitu bila mereka punya sanak saudara yang sanggup menyogok pejabat tertentu. Siapa bilang para "pemimpin proletariat" tidak bisa disuap?
Di mata penguasa baru, sikap seseorang terhadap rezim lama tidak begitu penting. Cukup banyak tokoh yang dulu mengkritik pemerintah lama, toh sekarang meringkuk dalam penjara. Bahkan tidak sedikit pula bekas anggota Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan (NLF) yang diterungku tanpa ampun. Padahal, pada periode pembebasan dulu mereka dirangkul dan dipuja sebagai pahlawan bangsa.
Pada Oktober 1978, wartawan Prancis Roland Pierre Paringaux mengunjungi Vietnam - penugasan dari majalah Le Monde. Ia mencoba menanyakan nasib kaum "revolusioner" yang dipenjarakan itu kepada Huynh Tan Phat, bekas presiden Pemerintahan Darurat Revolusioner, yang kemudian menjadi wakil perdana menteri Republik Sosialis Vietnam.
Jawaban Phat biasa-biasa saja. "Kita harus waspada terhadap para revolusioner yang sebetulnya bekerja untuk kepentingan musuh," katanya. "Di negeri ini memang banyak kamp. Kalau ada nama yang ingin Anda tanyakan, hubungi saja Mendagri kami."
* * *
Penyiksaan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…