Mengenal Film Kita Mengenal Wajah..

Edisi: 12/13 / Tanggal : 1983-05-21 / Halaman : 33 / Rubrik : SEL / Penulis :


SETELAH menonton 27 film cerita, Dewan Juri Festival Film Indonesia 1977 sampai pada kesimpulan: " . . . film Indonesia dewasa ini dibuat oleh para produser betul-betul semata-mata sebagai alat hiburan dalam arti yang tidak selalu sehat. Produsen film kita menampakkan diri terutama sebagai pedagang impian (merchant of dreams), dalam posisi demikian si produser memang tidak memijakkan kakinya di bumi Indonesia sebab mimpi yang indah toh senantiasa berkisah mengenai dunia yang tidak selalu kita kenal."

Bagai disengat lebah, kalangan film memberikan reaksi di luar kebiasaan mereka yang suka basa-basi. Yang tidak terkejut nampaknya kalangan pengamat perfilman yang sejak lama sudah menyuarakan hal yang sama.

Demikianlah Salim Said membuka telaahnya dalam Profil Dunia Film Indonesia, sebuah buku 152 halaman yang diterbitkan PT Grafiti Pers akhir 1982. Disiapkan untuk penerbitan tahun 1979, karya it4 sendiri berasal dari skripsi sarjana FIS-UI dua tahun sebelum itu. Namun apa yang dikemukakannya tetap saja relevan dengan situasi sekarang: Salim, redaktur film TEMPO sejak didirikannya majalah ini sampai saat ia pergi belajar Ilmu Politik ke Ohio State University, AS, selepas ia lulus UI, hakikatnya berusaha menjawab beberapa pertanyaan dasar mengenai kehidupan perfilman Indonesia. Dan bukan sekadar mencatat peristiwa aktual.

Di awal tahun tujuh puluhan, tulis Salim lebih lanjut, Rosihan Anwar sudah dengan kesal melontarkan pertanyaan: "Mengapa film Indonesia mesti memperlihatkan hal itu ke itu juga: rumah mewah, Mercedes Benz, pemuda ngebut dengan sepeda motor Honda, night club?" Arief Budiman juga bertanya mengenai "adegan-adegan erotis" yang "hampir terdapat pada semua film Indonesia".

Jawaban nampaknya harus diperoleh dari H. Asrul Sani, sastrawan yang jadi penulis skenario dan sutradara film. Asrul menjelaskan: "Cerita-cerita film kita pada umumnya sekarang bukan lagi datang dari pengarang-pengarang sebenarnya, tapi datang dari finansir yang mengajukan ramuan dari unsur-unsur yang menurut perhitungannya akan membuat film itu laku. Jadi orang tidak bertolak dari sebuah cerita yang menarik, tapi dari kehadiran dari sekian persen unsur seks, sekian persen unsur kekejaman."

Bahkan sutradara Wim Umboh menyatakan, "sebagian besar cerita film Indonesia dikarang oleh produsernya sendiri." Dari pengalamannya sebagai sutradara maupun produser, Wim dengan tidak ragu-ragu menyebut film impor sebagai sumber ilham.

Akibat dari yang dijelaskan Wim itu bisa disaksikan di layar putih: rumah mewah dengan pelayan yang minim, anak tunggal yang jatuh cinta juga kepada anak tunggal, cara berpakaian yang sulit ditemukan padanannya dalam hidup sehari-hari di negeri yang pendapatan per kapitanya kurang dari US$300.

Mengenai gejala anak tunggal itu, menarik untuk mengikuti catatan Taufiq Ismail, salah seorang anggota Dewan Juri FFI 1977. Taufiq menemukan 70,3% peserta festival mengemukakan kisah anak tunggal yang memberi kesan kuat bahwa mayoritas keluarga Indonesia cuma beranak satu orang saja. Juga, 81,5% film peserta itu bermain di kota. Tentu saja angka yang tinggi ini harus dihubungkan dengan kenyataan bahwa menggambarkan kemewahan lebih mungkin dengan menggunakan kota sebagai latar belakang. Dari 27 film cerita, 55,5% menonjolkan perabot ukir mewah buatan mutakhir.

Tidak usah dijelaskan lagi bahwa ciri-ciri tersebut tidak lahir begitu saja, melainkan lewat proses yang panjang. Dari tulisan pada majalah lama di Museum Pusat Jakarta, bisa diketahui bahwa usaha pertama pembuatan film cerita di Hindia Belanda dilakukan pada tahun 1926. Pelopornya adalah dua orang kulit putih, Heuveldorp dan Kruger. Dengan membentuk perusahaan yang bernama Java Film Company di Bandung, kedua orang itu berhasil membuat film pertama mereka, Loetoeng Kasaroeng.

Heuveldorp tidak meninggalkan jejak. Dia maupun Kruger kekurangan modal. Dan, di tangan orang Tionghoalah akhirnya film mendapatkan bentuknya sebagai usaha dagang.

Setelah Indonesia merdeka, Usmar Ismail memulai suatu tradisi yang sama sekali baru untuk dunia perfilman di Indonesia. Usmar membuat film dari cerita-cerita yang digalinya dari kenyataan hidup di sekelilingnya. Makawajah Indonesia memang bisa terlihat lewat film-film Usmar dan kawan-kawannya yang bergabung dalam Perusahaan Film Nasional (Perfini) itu.

Tapi Usmar Ismail tidak bertahan lama. Akibat kekurangan modal, sikap masyarakat yang belum siap menerima kenyataan tentang dirinya digambarkan lewat layar putih, dan sensur yang terlalu ketat, Usmar terpaksa berkompromi. Dan usaha membuat film Indonesia dengan menampilkan wajah Indonesia boleh dikatakan gagal. Kebiasaan lama yang dimulai para produser Tionghoa yang sebenarnya juga tidak mati ketika Usmar bergiat -- kemudian merajai kembali dunia perfilman. Percobaan menembus cara kerja produser Tionghoa itu memang ada dilakukan, lewat Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) di akhir tahun enam puluhan. Tapi dengan alasan pemborosan, pemerintah -- yang mulanya mendukung badan tersebut -- setelah terus-menerus didesak para produser film, akhirnya membubarkan DPFN.

Pola dagang yang dimulai orang Tionghoa itu bisa ditemukan akarnya di Hollywood, sedang pola yang dipelopori Usmar Ismail telah mendapat bentuknya dengan jelas pada Neo Realisme Italia, yang lahir sebagai reaksi terhadap Hollywood.

Dalam literatur film, Neo Realisme Italia dikenal sebagai Movement sedang produksi Hollywood digolongkan sebagai Genre.

Genre mendapatkan bentuknya yang jelas pada tahun 1918, ketika studio-studio Hollywood -- berkat pengalaman bertahun-tahun serta "panen" akibat hancurnya industri film Eropa -- melakukan usaha standarisasi. Saat itulah lahir formula pictures, istilah yang kemudian dikenal di Indonesia sebagai 'ramuan' atau "resep" untuk bikin film laku.

Menjadi jelas kiranya bahwa masalah yang dihadapi film Indonesia sesungguhnya masalah yang cukup mendasar. Ia menyangkut nilai-nilai dan kebiasaan yang telah melembaga, lewat sejarahnya yang relatif panjang.

Sialnya, setelah kemerdekaan diperoleh, subkultur seperti itu tetap hidup. Malah makin berkembang: selain oleh para pengusaha nonpribumi -- yang hingga kini tetap menguasai bisnis film di Indonesia juga berkat kepeloporan Almarhum Haji Djamaluddin Malik. Tokoh ini mendirikan perusahaan film, NV Persari, 1951, dengan menggunakan Hollywood sebagai contoh.

Ciri Hollywood yang paling menyolok, diketahui, adalah membuat film sesuai dengan selera penonton. Dan karena selera penonton sebenarnya tidak bisa diketahui dengan pasti, hanya mayoritas penonton film Indonesia diperkirakan orang-orang kelas bawah, maka film Indonesia yang dibuat produser-produser ini pun film bermutu rendah. Yang penting bukan kualitas, tapi kuantitas. Pembicaraan selalu berkisar di sekitar jumlah judul per tahun, tanpa pernah bersibuk dengan mutu.

Tentang kecenderungan peniruan terhadap film asing, bisa dikatakan bahwa dari zaman sebelum perang film kita sebagian besar memang tiruan film impor. Ketika menjelang jatuhnya Hindia Belanda di sini diputar film Tarzan, produser film masa itu pun membuat film…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…