Pena Dan Bedil Di Belakang Istana

Edisi: 16/13 / Tanggal : 1983-06-18 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :


DALAM perjalanannya dari Kota Meksiko ke Stockholm untuk menerima Hadiah Nobel Kesusastraan 1982, Gabriel Garcia Marquez singgah di Kuba. Begitu pula pulangnya. Ia memerlukan berjumpa dengan sahabat karib dan mentor politiknya, Fidel Castro.

Novelis Garcia Marquez, asal Colombia, memang pengunjung tetap Havana. Tapi persinggahan kali ini mengandung makna penting. Ia ingin menekankan identifikasi politiknya dengan Kuba pada saat kebesarannya di bidang kesusasteraan mendapat pengakuan tertinggi.

Lain pula halnya dengan Octavio Paz. Penyair dan eseis kenamaan dari Meksiko itu tidak pernah lagi mengunjungi Havana sejak revolusi Kuba, 1959. Pada mulanya ia memang tertarik pada tujuan-tujuan rezim baru Havana seperti yang dikecapkan Castro saat-saat awal kemenangan. Tapi belakangan Paz sadar, ketika -- seperti dalam kata-katanya sendiri "revolusi itu terjerembab ke dalam pelukan para pemimpin Marxis." Penilaian Paz, keadaan rakyat Kuba sekarang ini tidak lebih beruntung ketimbang hidup di bawah rezim diktator kanan Fulgencio Batista.

Garcia Marquez dan Octavio Paz sama-sama bermukim di Kota Meksiko. Rumah mereka terpisah sekitar tujuh mil. Keduanya saling mengagumi tulisan masing-masing. Tetapi mereka tidak lagi bersahabat karib. Mereka kini menjadi lambang tolak belakang pandangan mengenai pendekatan politik yang berkembang di antara cendekiawan Amerika Latin. "Pusat polemik itu adalah usaha menemukan model politik baru bagi sebuah benua yang dinilai para cendekiawan itu sedang gawatgawatnya memerlukan pembaruan," kata Alan Riding, kepala biro The New York Time Magazine di Kota Meksiko.

Para penulis, artis, dan akademisi Amerika Latin, saat ini, memang tengah mencari dan membuat perbandingan dengan berbagai negeri yang tergembok oleh sistem politik yang pada akhirnya menghapuskan kemerdekaan dan kebebasan. Kadang-kadang sistem itu mereka tegakkan atas nama memerangi komunis. Atau untuk memerangi imperialisme Amerika Serikat.

Mereka melihat struktur ekonomi yang membuat jutaan orang terbenam dalam kemiskinan terus menerus. Di sana sini revolusi kiri seperti membawa program perbaikan sosial. Tetapi bukannya tanpa risiko. Bayarannya adalah kebebasan politik.

Dalam pemilihan inilah para cendekiawan terumbang-ambing antara model pembaruan a la Fidel Castro, gaya Sandinista, dan sistem yang dipakai gerakan gerilya di El Salvador dan Guatemala. Sebab ia menyangkut masalah politik, moralitas, ujian terhadap kesetiaan serta kejujuran, juga pertanyaan di sekitar keadilan dan kebebasan.

"Perbedaan pandangan itu menjadi penting, karena kaum intelektual mempunyai pengaruh besar dalam percaturan politik di Amerika Latin," kata Riding. Mereka mampu membangkitkan penghargaan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa, "mengesahkan" pemberontakan dan revolusi, memberi sosok atas gagasan-gagasan, atau membentuk citra yang menghubungkan Amerika Latin dengan kekuasaan. Dan mereka pula yang menentukan kebutuhan Amerika Latin akan sebuah raison d'etre yang romantis dan idealistis.

Keterlibatan para cendekiawan ini tidak cuma bisa dilihat pada diri Garcia Marquez dan Octavio Paz. Juga pada penulis seperti Jorge Luis Borges, Julio Cortazar, Carlos Fuentes, atau Mario Vargas Llosa. Dan adalah karya-karya merekalah yang membentuk kesusastraan kontemporer Amerika Latin, serta membangkitkan semangat persaingan di antara ratusan cendekiawan yang menyebut diri "hati nurani politik masyarakat."

Sebagian besar cendekiawan Amerika Latin condong ke kiri. Beberapa di antara mereka memang anggota partai Komunis. Tapi sebagian lain sekadar menerima pandangan politik Garcia Marquez. Menurut pandangan Garcia Marquez, Amerika Serikat adalah penghalang utama perubahan sosial dan politik di Amerika Latin. Sejalan dengan keyakinan ini, mereka menggalakkan kritik terhadap Washington dan sekutu-sekutunya, serta mengeluelukan revolusi Kuba dan Nikaragua.

Debat tentang perbedaan pandangan juga diramaikan sekelompok kecil cendekiawan yang menganggap kediktatoran sama saja brengseknya -- baik kanan maupun kiri. Untuk kalangan ini, Fidel Castro sama busuknya dengan Jenderal Augusto Pinochet Ugarte dari Chili.

Keadaan seperti itulah yang membuat novelis Mario Vargas Llosa dari Peru melemparkan pertanyaan: "Mengapa penulis Peru dan Amerika Latin tidak puas sebagai seniman atau pengarang saja, dan harus terjun sebagai politikus, agitator, reformis, publisis sosial, dan moralis?" tulis Vargas Llosa dalam sebuah esei terakhirnya. Pertanyaan itu bersipongang tanpa jawab di angkasa Amerika Latin yang senantiasa riuh rendah oleh pelbagai kemelut.

"Masalah itu lebih membingungkan lagi untuk orang-orang di Amerika Serikat," ujar Riding. Di negeri itu, konon, pengaruh politik para pengarang dan cendekiawan tidak langsung terasa. Dan jurus-jurus politik lebih merupakan tindakan praktis ketimbang perbantahan ideologis. Karena itu, agaknya, Washington sering mempersulit visa masuk pengarang-pengarang Amerika Latin seperti Garcia Marquez.

Dan ironinya, meski setengah mati bersikap kritis terhadap Washington, Garcia Marquez adalah pemuja kebudayaan Amerika Serikat. Ia, yang pernah bermukim di Paris pada pertengahan 1950-an, merasa alam pikiran Eropa telah menjadi "tawanan dari abstraksi-abstraksi". "Zaman Sartre dan Camus telah lama silam," katanya. "Dan Amerika-lah raksasa kesusastraan abad ke-20."

Ia mengakui William Faulkner sebagai mentor kesusastraannya. "Tidak ada cara lebih baik untuk berhubungan dengan kehidupan kebudayaan kontemporer selain pergi keAmerika Serikat," kata Garcia Marquez. Karena itu ia sangat gunda-gulana karena tidak diperkenankan mengunjungi negeri tersebut.

Posisi cendekiawan Amerika Latin memang mencuat tinggi di tengah masyarakat tempat mereka hidup. Di kawasan yang lembaga-lembaga kemasyarakatannya lemah, pendidikan umum tidak memadai, dan langkanya tradisi demokrasi, para cendekiawan dengan sendirinya tampil sebagai kelompok elite yang prestisius. Dan karena percaturan politik di Amerika Latin lebih bersifat pertarungan di antara perorangan, maka "orang-orang bijaksana" mudah…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…