Pengemis, Aktor Jalanan Yang...
Edisi: 21/13 / Tanggal : 1983-07-23 / Halaman : 60 / Rubrik : PAN / Penulis :
SUARA takbir terus berkumandang sampai dinihari. Pos Hansip d pinggir jalan yang merangkap sebagai Kantor RW 03 Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta, masih terkunci rapat. Hari belum terang benar. Sosok-sosok tubuh mulai berdatangan dari jalan setapak di sebelah Pos Hansip. Mereka adalah penghuni rumah bedeng di pinggir wilayah RW 04 yang pintu masuknya jadi satu dengan RW 03.
Sosok-sosok tubuh itu beragam jenis. Lelaki tua yang dituntun seorang wanita. Perempuan yang tangannya dibalut perban dengan baju compang-camping. Kemudian dua wanita diiringi anak perempuan. Dan akhirnya: barisan empat wanita yang masing-masing menggendong anak di bawah usia 5 tahun.
Mereka bergegas meninggalkan perkampungan itu menuju arah Patal Senayan. Tujuannya, ke Jalan Sisingamangaraja, Masjid Al Azhar.
Itulah sisa-sisa pengemis yang menghuni kawasan Simprug, yang tak merasa perlu mudik di hari Lebaran. Bahkan Hari Raya itu mereka sambut dengan niat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Mereka segera berpencar di sela-sela pengemis lain yang sudah memadati pintu masuk masjid yang megah itu. Aksi menadahkan tangan dengan kata-kata memelas pun dimulai. Jamaah yang mulai bubar walau khotbah sedang berlangsung, dimanfaatkan sebaik-baiknya. Uang pun barjatuhan ke kaleng yang ditadahkan, ke tangan yang tengadah, ke pangkuan yang terbuka lebar. Ternyata mereka yang berwajah paling kusam dan yang menggendong bayi -- apalagi jika bayinya menangis -- mendapat hasil lebih banyak. "Wah, aku dapat tiga puluh sembilan ribu," kata seorang pengemis yang menggendong bayi dalam bahasa Jawa dialek Tegal. Sambil menghitung uang recehan, sementara jamaah mulai meninggalkan masjid para pengemis itu duduk berkelompok. Dan tak lama kemudian, di bawah matahari Jakarta yang mulai menyengat, mereka memesan coca cola dari penjaja minuman di pinggir jalan sekitar masjid.
Saat-saat usai sembahyang Ied, memang terkenal sebagai masa panen di kalangan para peminta-minta. Pada Hari Raya begini seorang pengemis di Jakarta bisa berpenghasilan di atas Rp 15.000 seorang. Di Yogyakarta saja ketika sembahyang led yang penuh sesak di Alun-alun Utara, ada pengemis yang mengaku dapat Rp 42.000. Sedangkan pada saat-saat sembahyang Jumat yang seminggu sekali itu, mereka anggap sebagai panen kecil.
Tinah, salah satu pengemis di Simprug menyebutkan, setiap Jumat ia bisa mengantungi Rp 6.000 sehari. Pada hari-hari biasa hanya Rp 2.500 sehari. Ia biasa beroperasi…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
BIARLAH SERIBU WARTEG BERKEMBANG
1983-02-05Ada sekitar 10 ribu warung tegal di jakarta. ciri khasnya, murah dan merakyat, akan tetap…
GENERASI SIONG YANG MAKIN PUDAR
1983-04-09Rokok siong terancam punah, pabrik satu-satunya mati, dan penggemar semakin kurang.
SALERO MINANG ATAU PADANG DI...
1983-05-28Usaha mengembalikan citra restoran minang ke bentuk aslinya, sebagai langkah, dibentuk armindo (asosiasi restoran minang…