Spion Putih Di Tengah "dosa" Si...
Edisi: 39/13 / Tanggal : 1983-11-26 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :
DENGAN senjata terkokang, sepasukan polisi rahasia menerobos ke sebuah kamar sempit rumah susun di Yohannesburg, Afrika Selatan. Pada petang November 1961 yang panas itu, mereka temukan sepasang remaja hitam-putih duduk berpeluk di ranjang - dalam pakaian lengkap. "Begundal!" serapah seorang agen. "Tak jijik kau menciumibinatang laknat itu?"
Tanpa berkata sepatah pun, polisi menyeret pasangan muda itu ke sebuah mobil yang sudah menanti di bawah. Catat: polisi juga mengangkut sprei dan selimut. Mereka tidak dibawa ke kantor polisi, tapi lebih dulu ke rumah sakit - untuk menjalani apa yang disebut 'tes kemurnian ras'. Caranya: mereka dilucuti dan ditelanjangi. Pakaian dalam diperiksa, juga sprei dan selimut tadi, entah untuk apa.
Anak muda hitam itu sama sekali tak mirip binatang. Malahan gagah, dan kedudukannya pun tak begitu hina: wartawan. Laki-laki bernama Joe Louw dan berumur 24 tahun itu bekerja pada surat kabar terkenal Afrika Selatan, Post. Sang gadis, Pamela Beira 19 tahun, mahasiswi cantik menarik lagi periang. Ia sebenarnya berasal dari keluarga menengah Yahudi. "Satu-satunya dosa mereka: yang cowok hitam, yang cewek (betapa pun) putih," seperti dikatakan Gordon Winter kemudian dalambukunya, Inside BOSS.
Main roman-romanan tingkat apa pun, yang melanggar 'kode etik kemurnian ras', terlarang di Afrika Selatan. Joe dan Pamela sadarakan hal itu. Mustahil mereka bisa santai bergandengan di jalan - jangan kata dansa reggae. Bepergian bersama, harus menjaga jarak. Pamela di depan, dengan gaya nyonya besar. Di belakang mengekorJoe, dengan gaya pelayan - menenteng'belanjaan'.
Selama beberapa tahun keduanya bertemu diam-diam. Umumnya, di rumah teman-teman kulit putih Pamela. Ini menantang bahaya, memang. Kunjungan teratur seorang pria kulit hitam ke kediaman wanita kulit putih bisa cepat mengundang kecurigaan.
Akhirnya, mereka menemukan kamar sempit di rumah susun itu. Terletak di kawasan lama Yohannesburg,kamar itu cukup apek sebenarnya. Namun, bagi pecinta gelap, itu lah su rga yang aman. Rumah susun yang padat penyewa itu saban hari ramai didatangi 'abang-abang tukang sayur' berkulit hitam yang sibuk keluar masuk mengantar pesanan kepada langganan. Tambah seorang yang bernama Joe tentu tidak akan menarik perhatian. Tentu, ia harus bergaya 'abang-abang', sambil menenteng bungkusan.
Penghuni asli kamar itu adalah gadis model cantik berambut pirang, Joy de Kock. Didorong romantismenya yang besar ia memperbolehkan Joe dan Pamela menggunakannya sebagai tempat rendezvous. "Tapi Joy bertindak salah," kataWinter, si penulis buku, yangwaktu itu bekerja sebagai wartawan kriminal. Joy menceritakan ihwal mereka berdua itu kepada Winter; maklum penyewaan flat itu atas nama Winter.
Dan di situlah letak kesalahan. Sebagai wartawan masalah kejahatan di negeri apartheij, Winter tidak hanya menilai informasi itu sebagai berita besar. Lebih dari itu, 'kabar gembira' itu dapat memberinya peluang untuk 'naik'. Mengaku tidak ada urusan dengan pasangan hitamputih itu, Winter sendiri meneruskan informasi kepada pejabat puncak polisi rahasia Afrika Selatan. Reputasinya sebagai wartawan maupun 'warga negara yang baik' adinya membubung di mata pejabat tinggi polisi.
Tanpa ampun, Joe dan Pamela ditangkap. Mereka dituduh melanggar Akta Immoralitas, yang melarang hubungan seks antara dua golongan yang berbeda ras. Joe dihukum enam bulan penjara, dan akan dibebaskan dengan jaminan 100. Tetapi Joe tak sabaran menunggu - ia kabur ke luar negeri. "Dan anehnya, aku yang membantunya kabur," tutur Winter. Lucunya lagi, Joe tidak tahu bahwa Winterlah yang menjerumuskannya. Dengan membantu Joe lari, Winter berhasil menghapus jejak. Malahan namanya, menjadi harum di kalangan ras kulit hitam Afrika Selatan - terutama setelah kisah pelarian itu dimuat di surat kabar Sunday Express, Yohannesburg, yang antiapartheid.
* * *
Ketika Winter masuk restoran Campbell di pojok persilangan Jalan Kruis--Commisioner, Pretoria, seorang laki-laki baya botak berambut pirang menyambutnya dengan senyum. "Saya bekerja dengan H.J. van den Berg untuk meningkatkan operasi rahasia baru," kata orang itu. "Atas nama H.J., aku menawari Anda bergabung. "
Si Botak adalah Kolonel Att Spengler, bekas kepala polisi rahasia Afrika Selatan. Saat itu, demikian pengakuan Winter, ia merasa sangat gembira dan bangga.
Menengok latar belakang Winter, hal itu bisa dimaklumi. Ia datang dari Inggris ke Afrika Selatan pada 1960 bukan sebagai emigran terhormat. Di London ia pernah diadili dengan tiga tuduhan, dan mengenyam 21 bulan penjara. "Aku ingin memulai hidup baru; negeri ini (Afrika Selatan) menyambut baik diriku," tulisnya.
Masa remaja anak tukang warung di Yorkshire ini tak kurang runyamnya. Kabur ke London pada usia15 tahun, di sana ia menjadi pesuruh, bujang restoran, pelayan kasino dan rumah bilyar, serta pencampur minuman keras di bar. Mencuri perhiasan di rumah seorang milyuner di Sussex, 1955, ia dihukum 21 bulan. Antara 1955 dan 1960 ia berada di Tanjah (Tangier), dan terlibat penyelundupan. Ia menikahi putri seorang perwira intel, dan bercerai tiga tahun kemudian.
Menjadi wartawan kriminal, bagi bekas gali itu; tidaklah terlalu sulit. Lagi pula Afrika Selatan sebagai sumber berita jenis ini tak akan pernah kering. "Afrika Selatan adalah negeri kriminal paling dahsyat," tulisnya. Menurut catatan polisi, terjadi dua serangan setiap dua menit. Perkosaan setiap setengah jam. Maling setiap satu jam. Perampokan setiap tiga jam, dan pembunuhan tiap sembilan ' menit. "Dalam tiga tahun aku telah menjadi wartawan terkenal di sana." Namun, ambisinya rupanya lebih dari itu.
Dan ambisi itu mendapat jalan setelah ia bersahabat dengan John Voster, menteri kehakiman Afrika Selatan yang belakangan menjadi perdana menteri. Mereka bersekongkol untuk saling mendukung karier masing-masing.
Gordon Winter lalu mendapat berbagai tugas dari Voster. Ia bersahabat dengan tokoh pejuang Afrika Selatan - bagai musang berbulu ayam - untuk kemudian menjebloskannya ke dalam bui. Ia 'ditanam' di penjara untuk memata-matai paratahanan politik. Ketika dipindahkan bertugas ke Inggris, ia menelanjangi hubungan cinta seorang anggota parlemen, Jeremy Thorpe, dengan teman sejenisnya, seorang peragawan. Ia juga memacari istri orang yang hendak membuka kedok spionasenya - agar'fitnah' itu tidak dipercayai orang.
Korbannya pun berjatuhan. Banyak orang atau pejuang kulit hitam meringkuk dalam tahanan atau mati di kamar penyiksaan.
Tapi, syukurlah, tindakan mematamatai itu akhirnya disadarinya sebagai kekeliruan. Yaitu setelah anak pertamanya, Guy, lahir pada Juli 1976. "Yang kulit hitam juga punya bayi," katanya kepada diri sendiri. Kesadaran itu makin terbentuk setelah Cynthia Montwedi, putri pengasuh anaknya, yang berkulit hitam, disiksa sewenang-wenang oleh polisi rahasia Afrika Selatan.
Winter bersama anak istrinya lalu kabur dari Afrika Selatan. Apakah ada motif lain yang mendorongnya hengkang, tidak dijelaskannya dalam Inside BOSS - tapi siapa tahu. Mereka belakangan menetap di Irlandia, dan di sanalah Winter menyusun bukunya, yang diterbitkan Penguin Books pertama kali pada 1981.
Buku setebal 642 halaman itu memuat seluruh kisah tentang BOSS (Bureau of State Security - luar dalam. Di mata awam, biro ini lahir pada 1969. Padahal, menurut Winter, BOSS sudah berdiri pada 1963. "Semuanya bermula pada 14 Januari 1963, ketika Hendrik van den Berg diangkat menjadi kepala polisi rahasia Afrika Selatan." Van den Berg menganggap, jenis aparat intel yang suka mengerubung dan petantangpetenteng"sudah ketinggalan zaman". Ia melihat, wartawan surat kabar berbahasa Inggris di Afrika Selatan malah acap tahu lebih cepat kegiatan bawah tanah pejuang antiapartheid, "berhari-hari, bahkan berminggu-minggu sebelum polisi rahasia mencium baunya," kata van den Berg.
Karena itulah, H.J. van den Berg, yang sering dipanggil H.J. saja, merasa perlu segera membentuk biro intel baru. Anggotanya, tak lain tak bukan, para wartawan yang bekerja di media massa liberal.
Calon BOSS itu dibentuk dengan nama Republican Intelligence Service (RIS). Didirikan tanpa suatu keppres, tanpa anggaran, malahan tak satu dokumen pun tentangnya terselip di arsip negara. Jadi, ia antara ada dan tiada. Tapi, berkuasa.
Setelah Perdana Menteri Dr. Hendrik Verwoed setuju, H.J. meneliti seluruh filewartawan yang ada di tangan polisi. Ia memilih mereka yang pernah menulis laporan tentang apartheid - yang kendati bernada anti, cukup memberikan pandangan imbangan. Akhirnya, H.J. mengumpulkan 25 wartawan yang dianggap cocok. Satu di antaranya cewek.
Penelitian lebih mendalam masih dilakukan terhadap mereka. Misalnya: taraf hidup, gaji, rekening bank, pengeluaran, sikap terhadap minuman keras, pandangan politik, dan tipe pria atau wanita yang dikawini. Jika masih sendiri, diselidiki orangtua dan pacarnya - kalau ada. Mereka ditawari menjadi spion - atau 'pengumpul informasi', seperti yang secara taktis disebut H.J.
Tugas mereka adalah menyusupi kelompok-kelompok liberal atau kiri. Dan H.J. berkesimpulan, wartawan mata-mata mampu melakukan tugas dengan baik sekali - termasuk menyebarkan gosip dan melakukan kasak-kusuk untuk memancing dan mengecek informasi. "Laporan yang dibikin pertama-tama bukan dikirim ke koran atau majalah yang mereka wakili, tapi ke RIS," tutur Winter.
Laporan biasanya berisi fakta yang cukup, hingga memungkinkan petugas keamanan melakukan pelacakan resmi. Ini bisa dilakukan dengan didahului penyadapan telepQn atau surat tersangka dan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…