N.u. Mungkinkah Bersatu ; Dari Asembagus, Mencari Kejayaan...

Edisi: 43/13 / Tanggal : 1983-12-24 / Halaman : 12 / Rubrik : NAS / Penulis :


MUNGKIN ini memang sebuah pesta rakyat. Puluhan ribu manusia menyesaki Pondok Pesantren Salafiah Syafiiyah, Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur. Minggu 18 Desember lalu. Memadati jalan masuk ke pondok sepanjang tiga kilometer dari pintu gerbang di tepi jalan raya Situbondo-Banyuwangi, mereka juga berdesakan di seluruh kompleks pondok seluas tujuh hektar itu. Jalanan macet.

Sebagian mereka memang turut menghadiri peringatan Maulud Nabi yang diselenggarakan di tempat yang sama sehari sebelumnya. Namun, sebagian besar mereka hari itu datang untuk acara istimewa itu: Munas (Musyawarah Nasional) Ulama NU. Maklumlah, Munas Ulama terakhir yang pernah diselenggarakan di pesantren terjadi 43 tahun yang lalu, di Solo, sebelum Republik lahir.

Pesantren Salafiah Syafiiah sendiri telah memajang diri selama beberapa pekan sebelumnya. Tembok, pintu, dan jendela dikapur atau dicat. Umbul-umbul beraneka warna berjajar rapi sepanjang jalan masuk ke pondok. Bendera NU juga dipasang, meskipun di hari itu praktis hampir tertutup sekitar 30 ribu kepala manusia yang hadir. Termasuk sekitar 200 pedagang kaki lima yang dua hari sebelum Munas telah menggelar dagangannya: antara lain kalender, makanan dan buah-buahan.

Di udara, keramaian rakyat ini punya cirinya sendiri: suara bacaan Al Quran yang tak pernah berhenti dari masjid pesantren berbaur dengan lagu dangdut dan musik padang pasir penjual kaset.

Itu bukan saja tanda simultannya suasana religius dan kegembiraan, urusan akhirat dan urusan duniawi, tapi juga tanda kebersamaan dalam perbedaan.

Tak satu pun dari sekitar 1.500 rumah di sekitar Pesantren luput dari ketukan pintu pengunjung yang menumpang tidur. Banyak yang terpaksa melepas kantuk di emper rumah. Perayaan Maulud Nabi di Pesantren ini memang selalu ramai dihadiri masyarakat. Tapi, seperti tutur seorang warga setempat pekan lalu "Belum pernah pondok ini semeriah sekarang."

Sambutan masyarakat setempat terhadap Munas ini memang khas NU. Ribuan nelayan dari Probolinggo sampai Banyuwangi sengaja berlibur tidak turun ke laut untuk bisa menghadiri Munas dan peringatan Maulud. Setiap kali seorang kiai muncul dari tempat penginapannya, masyarakat berebutan menyalami.

Makanan peserta Munas seluruhnya berasal dari sumbangan masyarakat: 70 ton beras, delapan ekor sapi (empat di antaranya milik Kiai As'ad, pimpinan Pesantren), lebih dari 100 kambing, dan 1.000 ayam. Masyarakat itulah "sebenarnya yang menyelenggarakan Munas," kata seorang pembantu Kiai As'ad.

Pesantren putri untuk sementara dijadikan dapur umum. Selama 24 jam, sekitar 60 santri putri bertugas di sini. Mereka dibantu 50 orang ibu rumah tangga yang tinggal di sekeliling Pesantren. Masakan yang dihidangkan sesuai dengan bahan yang ada: sop, gulai, krengsengan, dan kare ayam. Untuk minum disediakan kopi dan teh. Dua barak dibangun di sini untuk tempat makan bersama.

Untuk menjaga keamanan kompleks Pesantren, yang jauhnya cuma dua kilometer dari pantai, dikerahkan satu peleton Banser (Barisan Serba Guna) Ansor dan satu peleton Hansip. Selain itu Komando Resort Situbondo menurunkan sekitar 25 petugas berpakaian preman, yang sebagian di antaranya memakai pakaian haji. Mungkin itu dianggap cara penyamaran yang cocok hari itu: sebuah pertemuan nasional di sebuah pesantren.

Mengapa di pesantren? Tampaknya ini memang merupakan pencerminan sikap para ulama NU untuk mengembalikan pesantren sebagai sumber tradisi dan akar NU. Tekad ini juga tecermin dalam semboyan yang dipakai. "Kembali ke khittah (garis perjuangan) NU 1926." Terjemahannya: NU kembali sebagai organisasi sosial-keagamaan seperti waktu didirikan dulu.

Dan Pesantren Salafiah Syafiiyah itulah yang agaknya terpilih. Para ulama NU tampaknya ingin berada di bawah naungan wibawa pimpinan pesantren ini, K.H. As'ad Syamsul Arifin. Setelah meninggalnya Rais Aam Kiai Bisri Syansuri pada 1980, Kiai As'ad, 86, dianggap ulama sesepuh yang paling berwibawa di kalangan NU. Pemerintah sendiri rupanya juga menghargai tinggi Kiai As'ad. Presiden Soeharto bertemu dengannya beberapa kali.

Minggu pagi menjelang pukul 10.00 sirene mendengung pertanda Munas segera akan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14

Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…

K
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14

Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…

O
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14

Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?