Perjalanan Menembus Afghanistan
Edisi: 48/12 / Tanggal : 1983-01-29 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :
WAKTU itu pukul 8.30 pagi, saat Mohammad Hakim membuka perlahan-lahan kamar hotelku. Aku tinggal di Hotel Dean di Peshawar, Pakistan, sebuah penginapan bertingkat satu. Kipas angin berpusing berderik-derik di atas kepala. Dan dinding yang tinggi dilabur putih mentah. Mohammad menelitiku dari atas ke bawah: pakaian Afghanku yang kedodoran, selimut yang juga asal Afghanistan, serban yang kulilitkan di kepala dengan mengerahkan seluruh kemampuan. Dengan wajah dingin ia mengisyaratkanku mengikutinya. "Kita harus berangkat sekarang juga," katanya, memandang tak acuh pelayan hotel. "Cecunguk semua orang di sini."
Itulah awal laporan perjalanan panjang wartawan lepas (freelance) Jere Van Dyk. Ia menghabiskan enam minggu di Afghanistan pada musim gugur 1981, mengumpulkan bahan-bahan untuk serangkaian laporan yang muncul kemudian di majalah New York Times. Bukunya In Afghanistan: An American Odyssey akan diterbitkan oleh Coward, McCann & Geoghegan.
Sementara itu sebuah Toyota hitam telah menunggu di pintu gerbang. Sopirnya menyeringai dan mengangkat tabik: "Assalam 'alaikum! " Lalu mereka bertiga berkendaraan menuju pusat pasar tua. Di sini Mohammad memegang tangan Van Dyk, menerobos di antara kuda-kuda kereta, keledai-keledai, becak mesin, truk dan orang banyak. Tiga lelaki naik ke mobil, satu di depan dan satu di samping sang wartawan. "Aku sedang dalam perjalanan ke Afghanistan, kini".
Setengah jam melintasi sawah-sawah dan kawanan kerbau, membawa sang wartawan ke Darra. Itu sebuah kota kecil, yang setiap penduduknya di atas usia 16 kelihatan membawa bedil. Tumpukan daun ganja nampak di mana-mana -- dijual US$ 50 per kilo. Tiap dua bangunan ada toko senjata api dan amunisi. Di sebuah toko, salah seorang pengiring Van Dyk menukarkan segepok rupee Pakistan dengan dua karung laras senjata dan peluru kaliber 303.
Dalam delapan jam berikutnya, mereka melewati setengah lusin pos penjagaan militer Pakistan. "Saya mencoba bersikap biasa dan seperti orang Afghan," tulis Van Dyk. Kendaraan berhenti. Para serdadu menggeledah isi truk. "Mereka tentu telah melihat amunisi, tapi tak berkata apa-apa. Cuma menatap kami tajam dan memberi isyarat boleh jalan."
Menjelang malam mereka tiba di kota perbatasan Miram Shah, dan menginap di sebuah gudang amunisi rahasia yang halamannya penuh tumpukan peti yang dicoba disamarkan. Tiga anak muda sedang menanak nasi dan merebus daging di tungku Bunsen. Kemudian mereka mendengarkan siaran radio BBC dalam bahasa Inggris dan bahasa Pushtu, salah satu dialek Afghanistan. Penyiarnya melaporkan desas-desus pertcmpuran di Kandahar, kota terbesar kedua di Afghanistan.
Saat itu pertengahan Oktober 1981. Van Dyk terbang dari New York dengan Air France menuju Karachi, Pakisan. Ia membawa beberapa potong pakaian, tiga kamera, dan sepucuk surat tugas dari New York Times -- yang menetapkannya sebagai pembantu lepas di Asia Tenggara. "Surat tugas tidak secara jelas menyebut Afghanistan," tulis Van Dyk. "Tapi di Peshawar, aku beranjangsana dengan Yunus Khalis, seorang penyair, pemimpin gerilya dan politik berumur 70-an yang berjanggut panjang." Khalis adalah salah seorang pemimpin fraksi Partai Hezbi Islami, satu dari sekitar delapan partai yang mengadakan perlawanan di Afghanistan.
Beberapa hari kemudian, tiga orang datang menemui Van Dyk di Hotel Dean, ketika ia sedang membaca di halaman gedung itu. "Mereka duduk dan menatapku nanap, kayaknya untuk menyelami perwatakan di balik mataku," tulis sang jurnalis. Setelah puas, orang bertiga itu menetapkan pakaian apa yang sebaiknya dikenakan dalam perjalanan itu. "Aku harus siap pukul 8.30 esoknya. Seseorang akan datang menemui. Aku tak boleh menceritakan kepada seorang pun."
Kini, wartawan itu berbaring di gudang peluru, di lantai yang kotor, "mendengar tiupan angin." Para pemandunya telah pulas lelap. Dan itulah pertama kalinya, katanya, ia tak pernah melihat mukanya di cermin selama satu minggu. Dan selebihnya: impian, percakapan, dan persiapan-persiapan keberangkatan. "Kini aku harus menghadapi kenyataan," katanya pada diri sendiri.
"Mengapa, apa sesungguhnya, yang mendorongku datang ke mari? Apa yang menungguku di seberang perbatasan itu? Tentu saja aku masih dapat berbalik pulang". Tidak.
Ia pernah tinggal di Atghanistan, sebulan, pada 1973. Saat itu ia sedang mengendarai Volkswagen dari Jerman Barat ke Pakistan, dan sampai kini masih tersisa padanya beberapa potong kata Pushtu dari kunjungan itu. Kini, katanya, dengan invasi Soviet di Pakistan yang memasuki bulan ke-21, ia memang ingin kembali ke negeri itu. "Tinggal bersama mujahidin, para pejuang yang bangkit berlawan. Ingin kusaksikan apa yang mendorong mereka berjuang dengan senjata-senjata loakan melawan kekuatan Soviet yang dipersenjatai modern."
"Dan memang ada sesuatu yang lain. Aku kini 35 tahun, dan belum pernah melihat perang. Apalagi terlibat dalam pertempuran betul-betulan. Kuingin tahu apa yang kuhadapi." Van Dyk juga tak tahu betapa romantiknya ia saat itu.
Petang berikutnya, seorang laki-laki yang dipanggil Gul Shah datang menemuinya. Tinggi di atas enam kaki, janggutnya lebat hitam, memakai serban yang juga hitam. Si Gul memanggul sepotong bedil dan bandoleer -- selempang kantung peluru -- yang melilit sejak dari bahu, melintasi dada, dan bertemu kedua ujungnya di pinggang.
Sebuah pikap Toyota merah datang. Sopirnya seorang remaja yang kakinya hampir tak menyentuh lantai mobil, seperti juga matanya yang hampir tak bisa melampaui dashboard. Anak itu membawa mereka melalui padang-padang tandus tak berpohon menuju perkampungan dengan rumah-rumah bata, bertengger di sebuah dataran tinggi. "Tak ada rentangan kawat listrik di sana. Tanpa lalat. Tanpa suatu bau. Hanya tiupan angin kering. Saat matahari tenggelam, anak-anak mengelompok di sekitar pelita, menatapku ketika aku duduk menulis di sana, mulai mengisi buku catatan. Aku tersenyum, dan, malu-malu, mereka membalasnya."
Makan malam berlangsung di luar, di udara terbuka. Orang-orang itu seperti mendapat hiburan memandang Van Dyk mengepalkan nasi, mencelupkannya ke dalam kaldu dan menjejalkan ke mulutnya. Seorang orang tua menunjuk pada telinganya, dan dengan bahasa isyarat mencoba menjelaskan bahwa ia tuli. "Apakah aku seorang dokter?" tulis wartawan itu. "Tidak. Tapi agar ia tak kecewa, kuberi ia dua aspirin. Tak kutahu bahwa berita itu disampaikan dari mulut ke mulut: orang asing itu dokter, dapat menyembuhkan demam, mengobati luka pertempuran, polio, dan encok-encok."
Maghrib mereka sembahyang. Kemudian Gul Shah dan seorang lainnya mengambil senjata dan menuntun Van Dyk ke arah pegunungan -- ke barat, ke perbatasan.
Orang Amerika itu memakai pakaian yang dibelinya di pasar Peshawar. Kakinya terbungkus dalam sepatu but serdadu AS yang diperolehnya di sebuah toko di Canal…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…