Sebuah Revolusi Yang Letih

Edisi: 08/23 / Tanggal : 1993-04-24 / Halaman : 51 / Rubrik : SEL / Penulis : BSU


Untuk pertama kalinya, Kuba, satu dari empat negeri sosialis yang tersisa, melangsungkan pemilihan umum, Februari lalu. Negeri di Amerika Tengah itu berusaha menyesuaikan diri dengan arus baru, keruntuhan sosialisme universal, menyusul perubahan besar di Uni Soviet. Namun pemilihan umum itu tak menandakan terbitnya demokrasi di sana. Sekali lagi, untuk lima tahun mendatang, negeri berpenduduk 10,4 juta itu memilih tokoh revolusioner Fidel Castro sebagai pemimpin. Penguasa Kuba selama 34 tahun ini bisa bertahan walau rakyatnya sedang menghadapi krisis besar. Kuba, yang membangun ekonominya melalui revolusi dan bantuan Uni Soviet, kini sedang menghadapi kebangkrutan ekonomi. Wartawan Jo Thomas, yang juga pengajar Universitas Illinois, AS, berkunjung ke sana untuk menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi. Laporannya yang dimuat di The New York Times Magazine edisi Maret lalu diterjemahkan Bunga Surawijaya untuk Selingan nomor ini. Tulisan ini dilengkapi hasil studi Liston P. Siregar tentang profil Fidel Castro yang bertekad mempertahankan sosialisme.

Kuba dengan Krisis Sesudah Revolusi
Penerbangan ke Kuba, check in pukul 5.30 pagi. Meja layanan Haiti Transair sepi di Bandara Internasional Miami. Letak gerai (counter) itu di lantai bawah, jauh dari tempat penjualan tiket lainnya. Perlu tiga jam untuk bisa menumpang pesawat carter selama 30 menit itu. Saya lihat penumpang di sekitar saya membawa kantong plastik penuh dengan antibiotik, aspirin, vitamin, susu dan obat-obat pertolongan pertama. Dan saya tiba-tiba merasa seperti akan menjalankan misi penyelamatan bencana.

Di seberang tempat saya, ada pasangan tua berasal dari Matanzas, sebuah kota 63 mil timur Havana. Mereka baru saja mengunjungi keluarga mereka di Tampa, Florida. Berlibur dua bulan di sana. Oleh-oleh yang mereka bawa berdesakan di kantong-kantong plastik, sehingga sulit menutup tempat bagasi di atas kursi.

Kuba, yang pernah saya kunjungi dua belas tahun lalu, adalah negeri tempat semua orang ingin hengkang. Pada musim panas 1980, sekitar 125.000 orang lari dengan kapal kecil dari Pelabuhan Mariel. Karena drama seru ini orang seperti lupa, ternyata lebih banyak penduduk Kuba yang tinggal daripada yang mencoba meninggalkan negerinya. Orang-orang Kuba yang tinggal dengan Castro menyebut mereka yang pergi sebagai gusanos, cacing-cacing. Mereka tak keberatan karena ini seleksi yang baik, katanya.

Sejak 1980, dunia berubah. Uni Soviet tersingkir dan Washington terus membicarakan kejatuhan Castro. Rontoknya Uni Soviet membuat negeri ini kehilangan 85 persen sumber penghasilan perdagangan luar negerinya dan perekonomiannya pun merosot dalam sekejap. Kelompok sayap kanan di pengasingan, menurut kongres Oktober lalu, memperkuat restu mereka pada Pakta Demokrasi Kuba (Cuban Democracy Act), dan mengimbau agar embargo perdagangan AS yang telah berjalan selama 32 tahun dilanjutkan. Termasuk mengeblok semua bantuan asing dari perusahaan Amerika dan melarang kapal dari pelabuhan Amerika berhenti di Kuba. Toh Castro masih berkuasa. Pemerintahan Castro menyebut tahun-tahun krisis ini sebagai Periode Khusus, seakan ada batasnya meski tak seorang pun tahu kapan itu akan berakhir.

Dan saya mengalami sebuah senja di Havana. Orang-orang yang kembali ke rumah dari tempat kerjanya membentuk antrean panjang untuk menumpang bus butut Hungaria yang mengeluarkan asap hitam di kegelapan musim dingin. Penumpang bus berimpitan, luber ke pintu. Ada yang menggayut di pintu atau menggantung bagai laba-laba di badan kendaraan, sementara kakinya mencari celah yang bisa diinjak -- bahkan lubang bensin. Lelaki-lelaki dengan seragam kuning mustard di halte bus mengacungkan potongan papan menghentikan kendaraan milik pemerintah yang lewat, tak peduli ambulans, truk sampah, truk barang, mobil tentara. Tak satu pun terlewati. Mereka memaksa pengemudi mengangkut penumpang yang berjubel di halte.

Bensin seret, suku cadang susah didapat, dan bus yang berkeliaran menjadi kurang. Bahkan minyak tak cukup untuk membuat lampu-lampu menyala. Seluruh negeri terpaksa gelap-gulita pada jam-jam tertentu. Tiap hari, kecuali hari Minggu. Mesin pabrik bergantung pada matahari. Dibuka pukul 7 pagi dan tutup pukul 3 siang. Rumah sakit, tempat penitipan anak, sekolah tetap dibuka, tapi kelas malam ditunda. Tangga jalan tak berfungsi. Jam tidak menunjukkan waktu yang tepat.

Di gerbang menuju kawasan Malecon, jalan besar sejajar pantai, seorang wanita muda mencoba mencari tumpangan. Saya menghentikan kendaraan saya dan menawarkannya untuk ikut ke tujuanku, tapi ia mau pergi ke tampat yang lebih jauh, ke timur menuju Alamar. Saya bilang okelah, saya akan mengantarnya.

Alamar adalah salah satu daerah pinggiran yang berkembang. Kawasan itu dibangun untuk menampung orang-orang desa yang pindah ke Havana. Apartemen-apartemennya lumayan, kata penumpang di mobil saya. Namun dalam Periode Khusus ini sulit untuk bepergian. Ia belajar akunting paruh waktu. Ia pengantin baru, dan tinggal dengan keluarga suaminya.

Saat itu gelap, tanpa bulan, dan hari Kamis, saat jam mati lampu berlaku mulai pukul 5 malam sampai 8 malam. Ketika kami mencapai Alamar, mata saya seperti rabun. Di jalan empat jalur itu, mobil saya satu-satunya yang melaju. Yang lain ada gerombolan orang bersepeda, orang berjalan kaki sendirian atau berduaan. Ada yang bersama satu dua anak. Mereka mondar-mandir sepanjang jalan yang gelap.

Kami lalu memasuki jalan kecil. "Gelap di sini," kata saya sambil mengerem karena ada sepeda lewat. "Ini memalukan," jawab wanita itu. Ia mengarahkan mobil melalui jalan bercabang-cabang lalu menyuruh saya berhenti di jalanan sepi. Hanya ada dua mobil yang parkir. Kami keluar. Tidak ada lampu jalan dan saya hampir tak dapat melihat gedung di hadapan saya. Penumpang mobil saya itu bertanya apakah saya mau masuk untuk menemui keluarganya. Di lobi apartemen itu ada beberapa orang, tapi tak ada sinar lampu, bahkan tak sebuah lilin pun. Ibu mertua wanita itu sedang memasak makan malam dengan bantuan nyala api dari oven di dapurnya. Menunya semangkuk kentang dan satu mangkuk nasi. Kami berbicara sebentar di dapur, tapi tak ada ruang untuk duduk, jadi kami pindah ke ruang keluarga dan duduk dalam kegelapan.

Ayah mertua gadis muda ini seorang dokter spesialis penyakit dalam di klinik bedah terbesar di Alamar. Dalam gelap, saya tak bisa melihat wajahnya, tapi suaranya kedengaran letih. "Saya bangun pagi pukul 4.45," katanya. "Supaya bisa masuk pukul 8." Memang, bila naik mobil, cuma 20 menit. Dan ia…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…