Membuka Usaha "taksi Dan Bis"
Edisi: 08/13 / Tanggal : 1983-04-23 / Halaman : 74 / Rubrik : PT / Penulis :
DI sebuah bangunan tua sekitar pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Ny. Sita Wachjo, 60 tahun, sedang menyambung tradisi seiarah bahari di negeri kita. Dia membuat kapal - satu pekerjaan yang amat langka bagi kaum wanita - yang dilakukannya sejak 30 tahun berselang. Di mancanegara pun lapangan ini masih merupakan 'kapling laki-laki'. Seperti diungkapkan Richard Cameron seorang arsitek dan pemilik kapal dari Australia: "Sita adalah wanita pertama pembuat kapal yang pernah saya jumpai".
Kantornya yang dijuluki para pekerjanya 'kamar komando' berukuran hanya empat kali empat, disekat dengan papan kayulapis. Sehari-hari ia biasa mengenakan celana panjang dan kemeja lengan panjang. Dengan ini memungkinkan dia bergerak bebas, hingga meniti selembar balok untuk masuk kamar kerjanya, ia nampak tak pernah gamang. Laut sewaktu-waktu pasang, maka lantai papan "kamar komando" itu pun tak perlu dilapisi karpet beludru.
Dari tempat itu pula cahaya merembes. Tak perlu lampu lagi, memang. Jangan pula ditanya parfum pewangi ruangan. Yang ada cuma aneka ragam semerbak hawa laut Pasar Ikan.
Direktris PT"Indonesia Craft" ini selalu menggunakan bis kota pulan peri ke kantornya. Di luar galangan ia dikenal para sahabatnya tetap sebagai wanita biasa: suka berdandan, suka perhiasan, hangat dalam pergaulan sosial. Tiap saat ia bisa saja berada di halaman kantornya, menyertai tukang-tukangnya.
Devaluasi barusan tak terelakkan membikin galangannya jadi oleng juga. "Kalau rupiah naik, saya ikut. Kalau sedang jatuh, saya pun plok - ikut terhenyak". Dari sekitar 30 pekerja tetapnya kini hanya separuh yang masih bertukang. Ia menambahkan: "Tapi dalam sebuah galangan kapal selalu ada saja yang dikerjakan. Tidak kapal, kami bikin kursi, meja atau perabot rumah tangga, dan itu masih bisa dijual," ujarnya sambil melirik kerangka kapal pinisi yang saat ini terbengkalai. Pembuatan pinisi ini merupakan proyek idamannya untuk mengawinkan teknologi perkapalan mutakhir Prancis dengan dasar pertukangan tradisional Indonesia.
Pernah punya sekitar seribu buruh dengan galangan seluas sepuluh hektar, Ny. Sita telah membuat ratusan kapal. Di antaranya seratus speedboat pesanan Kostrad pada waktu Operasi Dwikora. Juga TNIAL dan Palang Merah Indonesia memesan kapal sebanyak itu dari Ny. Sita. Sedangkan dari Amerika, Prancis, Inggris dan Jerman datang pesanan kapal-kapal pesiar (yacht).
Setelah beberapa kali pindah tempat, sejak sepuluh tahun ini masuk di tempat sekarang, di Gudang Setan, kata orang di sana. Areal seluas 1.300 m2 itu dikenal penduduk seantero Pasar Ikan dan Sunda Kelapa sebagai bekas peninggalan Murjangkung - sebutan untuk Jan Pieterszoon Coen (1857-1929). Namun ke mana pun Ny. Sita pindah, senantiasa diikuti pekerja yang sama.
Tapi rahasia kesetiaan itu mungkin terletak pada gaya kepemimpinan Ny. Sita juga. Ia terjun menguasai seluk-beluk teknis pembuatan kapal, sampai pada urusan sekrup terkecil.
Ny. Sita Wachjo berasal dari keluarga ningrat Jawa, anak ke empat dari delapan bersaudara. Ayahnya seorang insinyur teknik sipil yang sering berpindah tugas. Ia sendiri menjalani pendidikan hukum di Negeri Belanda, berdiam di sana 7 tahun dan menikah dengan orang sono - tanpa anak, sampai bercerai. Masa kecilnya pernah di Wonosobo, di Jambi dan ia lahir di Palembang. Itu sebabnya, wanita yang tetap menjanda ini mengutip pemeo sekali orang minum air Musi, dia akan selalu dekat air.
Tak lama setelah Indonesia merdeka ayahnya mendirikan galangan kapal untuk alat angkutan sungai di Kalimantan. Sita langsung ditunjuk menjadi direktris. "Dengarkan saja Herr Vos - insinyur Jerman ahli kapal. Lakukan apa yang dia bilang. Pakai otakmu, kalau kau punya," cerita Ny. Sita mengutip ayahnya. Waktu itu usianya 29 tahun. Ternyata kepala sang putri memang tidak kosong. Ketika insinyur Vos meninggalkan galangannya tahun 1972, Ny. Sita sudah mahir merangkap pekerjaan sekalian sebagai direktur teknik.
Pengalaman wiraswasta di kalangan kaum wanita hingga mencapai tingkat 'pengambil keputusan', mungkin tak selamanya karena digiring langsung oleh orangtua. Seperti kisah sukses Ny. Hajjah Mariani Sudirman, 55 tahun, pemilik dan pemimpin perusahaan pakaian jadi, PT "Caldera Garment Factory" di Tanjung Priok, Jakarta. Pekerjanya sebanyak 350 orang - 300 di antaranya wanita. Dari 13 pengusaha industri garment di kawasan Tanjung Priok, ia merupakan satu-satunya wanita.
Sejak sebulan mi ia menambah usaha baru, di bidang pafiwisata, yaitu PT Solok Indah. Usaha ini meliputi hotel, bungalow kolam renang dan padang golf di areai seluas dua ribu hektar, di tepi danau, di Solok, Sumatera Barat.
Marie, panggilan akrabnya, lahir di Medan sebagai anak ketiga dari sepuluh bersaudara, punya latar belakang pendidikan kebidanan di St. Carolus, Jakarta. Ayahnya pegawai negeri dan berasal dari ranah Minang. Juga ibunya. Tak lama setelah menikah dengan Sudirman di tahun 1951, ia segera sadar sang suami lebih direbut oleh organisasi keolahragaan. Maka Ny. Sudirman dengan sigap mengambil keputusan pentin. "Saya terjun ke dunia bisnis, karena sadar Mas Dirman suatu ketika akan menjadi milik masyarakat," tuturnya. Terbukti kemudian Sudirman memang ditelan organisasi perbulutangkisan (PBSI) selama hampir seperempat abad.
Berbagai usaha, sebelum itu, pernah ia coba. Real estate, industri mebel dan mendirikan padang golf. Kandas semua. "Padahal harta…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
MEMPERBAIKI KETURUNAN
1994-05-14Penyanyi ruth sahanaya ,27, menikah dengan jeffrey waworuntu, 29, di bandung. resepsi di hotel papandayan…
NOVELNYA LARIS UNTUK SINETRON
1994-05-14Y.b. mangunwijaya genap berusia 65 tahun. perayaan ulang tahunnya berlangsung di hotel santika, yogyakarta, dengan…
PENYAIR JUGA BAYAR LISTRIK
1994-05-14Penampilan rendra, 59, di panggung gedung olahraga kridosono, yogyakarta, memukau penonton. ia membawakan beberapa sajaknya…