Sebuah Dunia Tanpa Bunga ; Ekonomi Islam ?
Edisi: 20/13 / Tanggal : 1983-07-16 / Halaman : 69 / Rubrik : AG / Penulis :
SUDAH di bulan Mei yang lalu ketika Menteri Agama mengajukan sebuah tantangan. Soalnya memang tetap relevan. Dalam satu seminar di Bandung, yang disebut Seminar Penelitian Sistem Ekonomi Islam, Munawir Sjadzali minta perhatian pada penyelesaian pembicaraan tentang dua hal: zakat dan bank.
Kebetulan sekarang ini hari-hari Lebaran. Zakat di mana-mana dikumpulkan, dan dibagi. Sangat menarik ialah, laporan dari berbagai daerah menunjukkan adanya peningkatan dalam jumlah -- yang mudah-mudahan menunjukkan peningkatan kemakmuran, atau paling tidak kesadaran akibat peneranan, khususnya dari aparat pemerintah (liht Box).
Yang menjadi soal, zakat memang dipahami lebih banyak bukan sebagai ibadat pribadi, melainkan ajaran solidaritas sosial. Dan ini bisa menunjuk pada tata sosial yang lebih luas, yakni segi yang pada gilirannya, bisa diangan-angankan sebagai tata ekonomi Islam. Padahal, seperti dikatakan Menteri Agama di Bandung itu, di masa Nabi, zakat memang bisa memenuhi fungsinya untuk bukan saja membantu fakir miskin, melainkan juga membiayai apa yang sekarang ini kita kenal sebagai pemerintahan.
Namun di masa kini ia, betapa pun besar jumlahnya, hanyalah bagian kecil dari pemasukan negara, misalnya. Ada "saingan" yang jauh lebih kuat: pajak. Dan perbandingan kedua alat itu memang bisa memancing pemikiran -- di samping itu aturan-aturan zakat sendiri, yang diturunkan di tengah sebuah komunitas yang sederhana, memancing pula pemikiran-pemikiran yang lain tentang pengembangan.
Tentang bank, adalah kenyataan bahwa dunia sekarang ini hidup dengan rente juga negeri-negeri muslim sendiri. Banyak orang menyangsikan betulkah dunia bisa maju tanpa bank -- kecuali mungkin ditata secara totaliter. Sedang bank, yang di masa ini disetujui sebagai bukan lagi lembaga penindasan yang mengisap seperti lembaga rente di abad-abad lampau, melainkan sudah lebih merupakan satu lembaga ekonomi sosial, bukanlah bank bila tidak memakai sistem bunga.
Kenyataan itu memang layak menimbulkan pertanyaan sekitar larangan riba dalam Islam. Maka, tanpa pembicaraan tuntas tentang zakat dan bank, "sia-sia saja kita memperbincangkan sistem ekonomi Islam," kata Menteri Munawir.
Seminar itu sendiri memang bernama Seminar Penelitian Sistem Ekonomi Islam. Dengan begitu ia merupakan pengujian -- bila bukan usaha pembuktian -- sekitar adanya 'Ekonomi Islam', dan karena itu diteliti sistemnya. Lebih penting lagi, acara seperti ini bukan yang pertama kali. Menjelang tahun baru 1983, misalnya, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya Pusat Studi Interdisipliner tentang Islam sudah pula menyelenggarakan Seminar Nasional Pembangunan Ekonomi dalam Pandangan Islam -- yang hasil-hasilnya dibacakan di hari pertama seminar di Bandung itu.
Kegiatan terakhir: di tengah ibadat Ramadhan 3 Juli kemarin, di Bandung diselenggarakan pula satu diskusi panel dengan topik 'Islam Mengatasi Resesi Ekonomi Dunia', di Masjid Salman ITB. Di tengah peserta sekitar 22 orang itu berbicara Suharsono Sagir, dosen ilmu ekonomi di Universitas Padjadjaran, yang khusus membahas ekonomi dari pandangan konvensional dan beberapa pengertian sekitar resesi. Ir. Aminuddin Dahlan kemudian menerangkan resesi sebagai hanya bagian dari ekses sistem ekonomi dunia sekarang, yang penanggulangannya hanya bisa dilakukan dengan perubahan mendasar -- dengan menyodorkan 'sistem ekonomi Islam' sebagai paradigma alternatif.
Gairah membicarakan topik tersebut memang ada. Seperti dikatakan Dawam Rahardjo, direktur LP3ES, yang juga mengambil bagian dalam seminar tentang sistem Islam itu, "lepas dari perdebatan ada tidaknya 'ekonomi Islam', usaha mewujudkannya memang ada."
Di Indonesia sendiri pembicaraan tentang ini sudah pula agak lama. Terkenal, misalnya, buku Sistem Ekonomi Menurut Islam Kaharuddin Yunus -- yang menganggap ekonomi Islam itu menuruti asas yang dinamakannya 'bersamaisme': bukan kapitalisme, bukan marxisme. Terakhir Dr. Azhar Ahmad Basyir, dosen Fakultas Filsafat dan lulusan Universitas Kairo, menerbitkan Garis Besar Ekonomi Islam, lewat BP Fakultas Ekonomi UGM -- 1981.
Kenyataan bahwa baik seminar yang di Bandung maupun yang di Surabaya bersifat nasional, tidak pula mengherankan -- sebagai pembiasan dari apa yang dilakukan di negeri-negeri Islam. Konperensi internasional yang pertama tentang itu agaknya yang diadakan di Jeddah -- 1976. Menyusul, di…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Menyebarkan Model Kosim Nurzeha
1994-04-16Yayasan iqro menyiapkan juru dakwah, ada di antaranya anggota abri berpangkat mayor, yang mengembangkan syiar…
Sai Baba, atau Gado-Gado Agama
1994-02-05Inilah "gerakan" atau apa pun namanya yang mencampuradukkan agama-agama. pekan lalu, kelompok ini dicoret dari…
Siapa Orang Musyrik itu?
1994-02-05Mui surabaya keberatan sebuah masjid dijadikan tempat pertemuan tokoh dari berbagai agama, berdasarkan surat at…