Satu Milyar Wajah Di Belahan Utara

Edisi: 47/11 / Tanggal : 1982-01-23 / Halaman : 43 / Rubrik : SEL / Penulis :


SEJAK Deng Xiaoping menyingkapkan tirai bambu Cina, dan menawarkan senyum ramah ke mana-mana, berbondong-bondong orang menjenguk benua kuna itu. Ada rombongan turis biasa, turis politik, kelompok profesi dan hobi, dan, tentu saja, wartawan.

Di antara wartawan itu terdapat A.M. Rosenthal, editor eksekutif The New York Times. Dan ada yang istimewa pada Rosenthal. "Selama bertahun-tahun, saya selalu mengelak bila mendapat kesempatan berkunjung ke negeri itu," katanya.

Ia sendiri mengaku, "keengganan ini terasa aneh". Tak kurang enam tahun Rosenthal bertugas sebagai koresponden asing di India dan Jepang. "Timur" sudah menjadi perhatiannya sejak lama. "Pada masa mudaku sebagai reporter," katanya, "mengunjungi Cina merupakan suatu idam-idaman."

Tapi ketika awal 1970-an negeri itu membuka pintu bagi wartawan Amerika, Rosenthal ogah. Mengapa? "Karena aku muak setengah mati pada basa-basi Marxis-Leninis-liberasionis!"

Bisa dipaham, ketika tiba-tiba ia menyatakan siap ke sana, Mei tahun kemarin, ia sudah memasang kuda-kuda. "Aku sadar tidak akan berhadapan dengan sekelompok libertian Cina. Melainkan dengan para setiawan komunis--mungkin dari jenis yang tak lagi terlalu galak."

Hampir sebulan Rosenthal berada di negeri itu. "Sungguh menyesal aku bukan seorang penyair," katanya. Penyair, menurut wartawarl ini, adalah 'reporter terbaik'. Mereka "menceritakan segala-galanya hanya dalam beberapa kata."

Kesan pertama yang diperolehnya, datang dari air muka para penduduk yang dijumpainya di mana-mana. Kesan ini, katanya, begitu kuat--mendahului sekalian catatan dan rekaman yang dibuatnya selama di sana.

Ambillah misalnya air muka yang jernih dan penuh perasaan kemenangan, dari seorang pemimpin komune rakyat peternakan yang ditemui Rosenthal di Mongolia Dalam. Ketika itu Kelompok Empat yang dipimpin janda mendiang Mao sedang dicaci-maki habis-habisan. Semua malapetaka dipersalahkan pada mereka. Termasuk bencana banjir, kebakaran, di samping segala salah urus.

Nah. Di situ sang pemimpin komune berkenan memberikan sedikit ceramah kepada Rosenthal--terutama yang berkenaan dengan peternakan. Ia, katanya, mengeluh menghadapi gangguan serigala. Dataran tinggi memang menjadi rumah anjing buas ini --dan para gembala setempat sedang diorganisasikan dalam kelompok-kelompok berburu.

"Apakah selama kekuasaan Kelompok Empat lebih banyak serigala di Mongolia Dalam?" tanya Rosenthal sedikit menggoda. Sang pemimpin terdiam sejenak. Kemudian menjawab santun: "Ya, karena pada masa Kelompok Empat, perburuan serigala tidak diorganisasikan secara baik" . . .

Kesan lain bisadiperoleh dari air muka Walikota Shanghai yang lincah dan keras, tidak keresmi-resmian. Pejabat ini berterus terang tidak begitu menghargai kebebasan menyatakan pendapat Baginya lebih penting mencegah berulangnya pengalaman masa lampau yang penuh duka.

Rosenthal mengenangkan pula air muka gadis yang dijumpainya di Panti Rehabilitasi Anak Nakal. Wajah yang menyiratkan penderitaan batin, dan topeng 'resmi' yang tiba-tiba terlepas ketika sang gadis mengaku, "saya di sini karena kedapatan ada main dengan para cowok."

Ada pula wajah terkagum-kagum orang yang dijumpainya dekat sebuah pasar di Xian, yang memandangi sang wartawan lewat jendela mobil sedan Hongqi (Bendera Merah) yang ditumpanginya. Mobil itu buatan dalam negeri, khusus disediakan bagi pejabat dan tamu penting.

Tapi Cina tak hanya negeri penuh wajah. Ia juga penuh tangan, kaki, dan punggung. Di seluruh kawasan, pekerjaan tangan memegang peranan utama. Orang memikul dan berjalan kaki di mana-mana. "Inilah negeri yang mengandalkan otot dan yang bergerak dengan bahan bakar keringat," kata Rosenthal.

Selama berada di negeri itu, suasana resmi hampir selalu menyertainya. Ada "sambutan rcsmi", "pemandu resmi", "pertemuan resmi", "wawancara resmi". "Tapi saya tidak merasa terganggu, ditunggui atau dipaksapaksa," katanya. "Saya sadar sedang berada di tengah masyarakat terkontrol." Para pejabatnya memang berusaha seterbuka mungkin--dengan hasil yang tak begitu memadai.

Cina tampaknya sedang membutuhkan sahabat. Di mana-mana ada poster: "Kami mempunyai sahabat di seluruh dunia " Tapi para pejabatnya serba tak pasti akan nasib mereka di masa depan. Gambaran masa lalu yang pahit bisa saja tiba-tiba berada kembali di depan pintu.

Bagi Rosenthal sulit menjatuhkan pilihan, kota-kota mana akan dikunjungi dalam suatu peninjauan empat minggu. Tapi berbekal bacaan, Beijing tentu masuk hitungan. Kemudian, mungkin, kota tambang Datong yang penuh gua Budhis, hanya semalam perjalanan kereta api dari Ibukota.

Agaknya perlu juga ke Mongolia Dalam, yang bagai menjanjikan petualangan. Kemudian ke Xian, menghiruP suasana pedalaman dan melihat beberapa penggalian arkeologi. Chongqing (baca: Cunking) juga penting. Ini terletak di Provinsi Sichuan yang luas, dengan penduduk tak kurang dari 100 juta.

Menarik pula berlayar di Sungai Yangtze yang penuh riwayat, sambil melihat-lihat cadas. Kemudian ke Yichang menengok waduk, ke Wuhan menyaksikan bekas bencana banjir dan kemarau. Akhirnya, tentu saja, Shanhai dan Canton.

Setiap peninjau Cina tak boleh mengharapkan perjalanan pribadi. Ia harus merelakan dirinya menjadi bagian sebuah "unit". Jangan coba-coba membeli tiket sepur atau pesawat terbang seenaknya. Urus dulu izin bepergian dari kota ke kota, baru merencanakan angkutan dan akomodasi. Dan semua tetek-bengek ini diselenggarakan per "unit".

Tak semua "unit" mempunyai kemampuan seimbang. Konon lebih baik tergabung dengan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…