Hujan Emas Di Negeri Orang

Edisi: 52/11 / Tanggal : 1982-02-27 / Halaman : 64 / Rubrik : SD / Penulis :


SUARA penyanyi Hetty Koes Endang terdengar dari rumah panggung di celah-celah perkebunan karet. Sejumlah rumah menghiasi ruang tarnunya dengan wayang kulit dari miniatur rumah Toraja.

Di halaman samping beberapa rumah terlihat kawatak, kain tenun khas Timor, tengah dijemur. Sepintas, suasana kompleks perkebunan karet Borneo Abaca Ltd (BAL) Estate di dekat Tawau, Sabah (Malaysia) itu mirip perkampungan buruh perkebunan di Sumatera Utara.

Bedanya, buruh asal Indonesia di perkebunan karet BAL itu terlihat lebih makmur. Rantai emas melilit leher hampir setiap gadis dan ibu rumah tangga. Tape recorder, radio dan relevisi berwarna mudah dijumpai di setiap rumah. Bahkan video tape, yang di Indonesia masih dimiliki kalangan terbatas, sudah memasuki beberapa rumah orang yang lebih mampu.

"Mana mungkin anak saya bisa menjadi orang kalau cuma menjadi buruh perkebunan di Indonesia," kata Tawi bin Talitia, 56 tahun, kepada TEMPO. Lelaki tua yang meninggalkan kampungnya, Mattirowal di Mare, Bone, Sul-Sel sejak 1956 itu, memang boleh menepuk dada.

Dari 6 orang anaknya, dua menjadi guru SD di Tawau, seorang bekerja pada perpustakaan Desa Semporna, sekitar 50 km dari Tawau--sementara 2 anaknya yang lain masih duduk di SD. Anaknya yang sulung hampir tamat Fakultas Komunikasi Geografi Universiti Kebangsaan Selangor. Dari tetesan keringatnya menderes (menakik) karet, Tawi juga bisa menyekolahkan adik iparnya sampai tamat IKIP di Ujungpandang.

Selepas sembahyang subuh, pukul 06.00 ia sudah siap di bawah pohon karet dengan pisau deres dan dua tong kaleng. Tugas menakik karet hanya dilakukan sampai pukul 12.00. Gajinya 9,2 ringgit (sekitar Rp 2.750) sehari atau 239 ringgit sebulan dengan 26 hari kerja. Tapi Tawi--juga kebanyakan buruh dari Indonesia yang memburu duit--sering lembur sampai pukul 14.00 atau lebih. Tarif lembur satu jam 1,34 ringgit. Dengan begitu sebulan paling tidak ia bisa mengantungi 300 ringgit. "Dengan hidup hemat, sebulan kami cukup mengeluarkan uang 150 ringgit untuk sekeluarga," katanya.

Tabungannya bertambah besar terutama karena untuk menyekolahkan anak-anaknya Tawi tak perlu mengeluarkan biaya. "Di Sabah tak perlu membayar uang sekolah. Bahkan anak-anak mendapat jatah susu, pakaian, buku dan lain-lain," tambahnya. Ia cuma menyediakan uang transpor dan uang jajan.

Niat mencari duit di negeri orang itu timbul karena Tawi sulit mencari nafkah di kampung halamannya. Apalagl musibah melanda keluarganya ketika gerombolan Kahar Muzakkar membakar rumah dan mengangkut harta benda Tawi. Dengan bekal pas-pasan, 1956 Tawi, bersama beberapa temannya, menyeberang ke Tarakan di Kalimantan Timur lewat Pare-pare dengan perahu kecil. Dari Tarakan mereka terus ke Nunukan, pulau kecil di perbatasan Kal-Tim dan 8abah. Dari sini mereka menyusup Tawau dengan perahu selama 4 jam. Sampai di Tawau segala macam pekerjaan diterimanya mencuci piring, menjaga keamanan dan kemudian memburuh di perkebunan karet.

Setelah diterima sebagai buruh perkebunan, ia mendapat perumahan sederhana. Seketika itu pula ia menjemput istri dan anak-anaknya. "Ini prestasi yang lumayan, 23 tahun bertahan sebagai penderes karet," kata Tawi. Jika telah bekerja 25 tahun, ia berhak menikmati pensiun berupa pesangon 1.200 ringgit. Untuk hari tuanya,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
DIA DI BELAKANG PENONTON
1983-02-05

Walaupun bisa nonton gratis, penghasilan rata-rata kecil, juga terancam bahaya radiasi.

D
DI TUBUHMU KULIHAT TATO
1983-02-12

Dengan adanya isu bahwa orang bertato akan diculik jumlah permintaan untuk ditato menjadi turun, bahkan…

D
DI TUBUHMU KULIHAT TATO
1983-02-12

Dengan adanya isu orang yang bertato akan dibunuh, jumlah permintaan untuk ditato menjadi turun bahkan…