Jepret, Jeprat, Jepret

Edisi: 21/12 / Tanggal : 1982-07-24 / Halaman : 69 / Rubrik : FT / Penulis :


JEPRET! Bunyi itu kini terdengar di mana-mana di Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk keramaian kota, di antara kesunyian rimba, di pucuk gunung tempat para remaja dan siapa saja berwisata.

Ia juga muncul di tengah kematian kengerian dan rasa haru mengabadikan saat-saat terakhir kapal Tampomas II dan mengalihkan wajah kuyu dan lapar bocah-bocah di Flores ke kertas film. Pendeknya, potret-memotret kini telah menjadi bagian dari gaya hidup, dan gaya sewot kita.

Sebab kamera kini ternyata bukan milik orang kaya tok. Juga bukan hanya pegangan orang tua. Dan hei lihat, lebih banyak remaja kini terlihat menenteng benda hitam itu. Bersama dengan itu, papan nama keren "Colour Photo Service" bisa dijumpai kini, nun jauh di udik Republik.

Misalnya: itu kios kecil berukuran 3 x 4 meter, di Desa Jatiraga, Kecamatan Jatisari, Karawang, Jawa Barat. Sebuah kamar gelap berukuran 1 x 1 meter menyita salah satu pojok. Di sampingnya dinding bambu dilapis kain biru. Langganan yang hendak difoto cukup duduk di kursi di depan kain itu. Dan Ny. Rohana, 23 tahun, selalu siap dengan kamera Yashica Electro-nya. Untuk gambar warna ukuran kartupos tarifnya hanya Rp 150. Selesai 3 sampai 4 hari. Pemrosesannya di Jakarta. Untuk tiap lembar pasfoto hitam-putih tarifnya Rp 50.

"Belakangan semakin banyak orang desa yang memiliki kamera," cerita Rohana. "Makin banyak tetangga saya yang menitipkan film berwarna mereka kepada saya. Kalau habis panen seperti sekarang, hampir tiap bulan ada saja yang beli kamera." Wanita itu sumber yang tahu. Pemilik kamera baru biasanya datang kepadanya minta diajari cara mempergunakan alat setengah ajaib ini.

Menurut Rohana, munculnya kamera-kamera dengan harga murah menggerakkan perkembangan ini. Untuk apa mereka beli kamera? "Yah, untuk iseng saja. Kalau ada pesta sunatan, mereka jepret sana, jepret sini. Bagi anak muda, kamera bisa dipakai menggaet awewe. Anak gadis kan senang dipotret," Rohana tertawa.

Alasan membeli kamera tentu saja bukan untuk sekedar memikat cewek atau cowok. "Saya membeli kamera supaya bisa punya kenang-kenangan kalau pergi jalanjalan," kata Asih, 17 tahun, dengan agak malu-malu. Pembantu rumahtangga yang berasal dari Jawa Tengah ini dijumpai pekan lalu tatkala sedang dijepret dengan memakai topi di muka kandang gajah di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta. Kamera merk Prima itu dibelinya Rp 17. 500, sedang lampu kilatnya Rp 5.000.

Apa pun juga alasan membeli kamera, akibatnya jelas: semacam lonjakan (boom) fotografi kini tengah terjadi di Indonesia. Dirintis oleh berbagai jenis kamera murah, sekitar 25 merk kamera kini membanjiri pasaran Indonesia (Lihat: Rimba Kamera Sampai Si Unyil).

Data Biro Pusat Statistik mencatat jumlah impor kamera dan film ke Indonesia (sejak 1975). Perlu diingat, jumlah ini tentu saja tidak termasuk kamera yang ditenteng atau diselundupkan dari luar negeri.

Angkanya menakjubkan (lihat grafik): Jumlah kamera yang diimpor selama 1980 lima kali lipat dibanding lima tahun sebelumnya. Lebih seperempat juta kamera diimpor Indonesia tiap tahunnya! Menurunnya jumlah…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

T
Tillema, Multatuli Fotografi
1994-05-14

Koleksi foto h.f. tillema berharga karena ia memotret segi-segi "buruk" di tanah hindia belanda. tapi…

M
Menggoda Kejujuran Fotografi
1994-02-05

Pameran teknologi merekayasa karya foto, di new york, membuka peluang manipulasi foto hampir tanpa batas.…

K
Kesaksian Sebastiao Salgado
1994-03-19

Fotografer yang doktor ekonomi ini mengabadikan wajah-wajah yang menyumbang pada keuntungan perusahaan, dan mereka hanya…