Suara-suara Cagar Alam Kenya

Edisi: 42/12 / Tanggal : 1982-12-18 / Halaman : 37 / Rubrik : SEL / Penulis :


DALAM celana jinnya yang compang-camping, dan kemejanya yang terbuat dari wol Skotlandia, Ernie Motteram tampak bagai koboi New Mexico tatkala ia tiba di Kenya. Itu tujuh tahun lalu, ketika usia Ernie 25. Kini, melihat ia menyelipkan tubuhnya yang semampai di mobil pikap Land-Rover itu, dan bercengkerama dengan sopir dalam bahasa Swahili, terasa betapa banyak perubahan terjadi.

Ia meletakkan popor senapan pandaknya di lutut, dan membiarkan senjata itu menjulur ke luar jendela mobil. Malam meniupkan napas yang sejuk. Di langit bintang-bintang seperti bersaingan dengan cahaya lampu Kota Nairobi yang tampak nyata di kaki langit.

Seraya kendaraan memintasi areal Hopcraft Ranch, Motteram memekikkan perintah-perintah kepada orang ketiga yang tegak di bagian belakang mobil. Sebagai jawabannya, lampu sorot disapukan menerangi panorama yang kerontang, dengan selingan semak berduri dan belukar di sana-sini Cahaya lampu itu seperti membiaskan kembali sinar mata aneka satwa yang bersembunyi di kegelapan padang: jingga, hijau, menyeramkan.

Motteram memandang sekitar dengan teliti. Matanya nanap menyelidiki bagian padang yang disorot lampu, sampai ia menemukan sasaran yang dicarinya, seekor wildebeest, dalam jarak tak lebih dari sekitar 30 meter.

Binatang itu mulai berlari, dan sang pemburu mengejar dengan keberingasan makhluk yang lapar. Kendaraan berguncang di padang yang kasar dan tidak rata. Sia-sia menghindar dari sorotan lampu, hewan yang malang itu berhenti mendadak. Motteram mengintai melalui teropong senapan. Dor! Peluru menembus kulit dan tempurung kepala binatang itu.

Dalam bentuk mimeograf, Motteram dengan cekatan mencatat jam penembakan, jarak tembakan, jumlah peluru yang dipergunakan, serta jenis, kelamin, dan perkiraan berat binatang buruan. Tak sampai sejam kemudian, bangkai binatang itu tiba di kilang prosesing kecil untuk diubah menjadi pelbagai hidangan.

"Dalam pandangan banyak orang, usaha internasional perlindungan binatang buas nyaris menjadi pekerjaan sia-sia," kata Clifford D. May dalam tulisannya di The New York Times Magazine September 1982. Suaka alam makin sempit dan terus-menerus dibajak, hutan pclahan-lahan diubah menjadi-samudra pasir. "Dan satu demi satu, binatang dan tumbuhan yang menghuni bumi ini sebelum manusia pertama datang, dibinasakan untuk selama-lamanya," kata Clifford yang sekaligus editor Times.

Tapi dalam pandangan sebagian besar lainnya, usaha konservasi tetap tinggal sebagai sediakala: semacam ikhtiar terakhir dalam meyakinkan penduduk negeri-negeri yang sedang berkembang untuk mencintai binatang buas. Usaha itu dibarengi dengan tindakan menghukum para pemburu haram, dan menyisakan lebih banyak hutan lindung.

Dalam tahun-tahun terakhir ini mkln banyak konservasionis yang berpaling kepada strategi baru yang radikal. Menurut pendapat mereka, usaha menyelamatkan kehidupan binatang buas di Afrika dan negeri dunia ketiga lainnya harus dilaksanakan dengan cara memanfaatkan lingkungan, dan menjadikannya sumber pendapatan baru.

Itu berarti, usaha memperkenalkan suaka alam model Barat di negeri seperti Afrika sudah kuno dan lan ,sung konyol sejak mula. Alasannya mudah dipahami: oleh rata-rata penduduk terpencil benua hitam itu, binatang buas sama sekali tidak dinilai sebagai pusaka alam yang bermutu. Ia lebih dipandang sebagai musuh dan hama yang membawa bahaya.

Coba saja. Gajah dan badak tak tentu pasal bisa-bisa menghancurkan ladang. Singa, macan tutul, cheetah, senantiasa mengancam ternak dan manusia sekaligus, apalagi anak-anak. "Pada zaman ayah saya sangat banyak binatang buas di sekitar sini," kata Joseph Mkomba, petani di Lembah Kerio, Kenya bagian barat. "Untung kami sudah membunuhinya."

Orang Eropa dan Amerika Utara, yang pergi ke Afrika untuk berkhotbah perihal menyayangi binatang buas, kadang mendapatkan diri mereka nyaris sontoloyo. "Mereka mungkin bisa diandaikan dengan orang Afrika yang mengajari penduduk New York untuk mengasihi merpati, tikus, dan kecoak," kata Clifford.

"Adalah sinting untuk mencoba mendidik orang Afrika memahami pandangan anda," kata Ian Parker, seorang kulit putih yang lahir di benua hitam itu dan untuk waktu lama menjadi pengamat gerakan konservasi. "Kecuali mereka hidup di tengah lingkungan dan persoalan yang sama dengan anda."

Tapi sebagian besar konservasionis, ekolog, pencari dan penyumbang dana yang bepergian ke Afrika sekitar 1960-1970 tak menyetujui logika itu. Mereka menganggap diri sendiri sukarelawan, dengan tugas besar menyelamatkan kehidupan binatang buas.

Mereka yakin, kesabaran dan ketekunan mendidik merupakan senjata satu-satunya. Dan Kenya dengan segera diakui sebagai garis depan ′pertempuran besar′ yang menentukan.

Elok dalam panorama, kaya dengan pelbagai binatang, negara yang muda ini juga dianggap relatif stabil, bebas, dan terbuka. Jika etika konservasi model Barat bisa diterapkan di Kenya ia pasti bisa diandalkan untuk negeri sedang berkembang lain. Dan bila gagasan itu gagal di Kenya, ′perang besar′ ini pun akan kalah untuk selama-lamanya.

Nairobi, yang secara umum diakui sebagai ibukota paling ramah dan paling kosmopolitan di Afrika Hitam, bila kembang menjadi hasil operasi konselvasi. Untuk pala peserta gerakan penyelamatan binatang buas, Nairobi tak ubahnya Paris untuk para seniman dan penulis di sekitar 1920-an.

Program Lingkungan PBB menempatkan markas besarnya di kota ini. Begitu pula Yayasan Kepemimpinan untuk Suaka Alam Afrkia. New York Zoological Society yang prestisius itu membuka satu-satunya cabang luar negerinya di Nairobi. Begitu pula East African Wildlife Society, dan World Wildlife Fund.

DI samping itu masih terdapat sejumlah tokoh swasta: penyelidik, konsultan, pembuat film, penulis, juru potret, serta penggemar dan pemerhati lain. Jutaan dollar mengalir ke negeri ini dari Amerika Serikat, Kanada, Eropa. Belum terhitung sumbangan Bank Dunia dan para donatur pelbagai negeri.

Masih bisa dipertanyakan, berapa besar dampak energi dan uang yang mengalir ke Kena bila dihubungkan dengan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…