Setelah Doa Yang Memadamkan

Edisi: 28/11 / Tanggal : 1981-09-12 / Halaman : 12 / Rubrik : NAS / Penulis :


PEKIK Allahu Akbar bergema di Kaliurang, tengah malam yang dingin, 1 September lalu. Luapan kegembiraan terasa ketika Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) berakhir lebih cepat dari rencana.

Munas di daerah peristirahatan di utara Yogyakarta itu, seperti dikatakan K.H. Yusuf Hasyim, salah seorang Ketua PB NU, semula diperkirakan akan "panas". Terutama di sekitar siapa calon Rais Aam (Ketua Umum) Syuriah PB NU, suatu jabatan pokok karena dalam pelbagai keputusan penting punya semacam hak veto. Jabatan itu kosong sejak K.H. isri Syansuri meninggal dunia 24 April tahun lalu.

Ada tiga pendapat yang muncul dalam komisi masaail khaashshah (masalah-masalah khusus). Jawa barat misalnya menghendaki agar otomatis saja wakil Rais Aam yang sekarang, K.H. Anwar Nusaddad, dikukuhkan jadi Rais Aam. Bekas rektor IAIN Sunan Gunung Jati itu sendiri sudah sanggup. Apalagi, seperti dia katakan, prosedur seperti itu sudah jadi tradisi dalam NU.

Tapi pihak yang menghendaki jangan sampai Musaddad jadi Rais Aam ternyata lebih banyak. Musaddad, biarpun pernah mukim di Saudi Arabia selama 11 tahun, masih dianggap "kurang kiai". Alasan: ia tidak punya pondok. Padahal, pondok pesantren merupakan akar kokoh, dan sumber tenaa, dari NU. Semangat pondok menguasai kehidupan pemimpin dan massa dalam organisasi yang sangat khas Indonesia ini. Seperti dikatakan Ketua Umum PB NU KH. Idham Chalid, "NU itu ibarat sebuah pondok besar".

Dan dalam pondok besar itu posis: Musaddad kurang beruntung. Ia semakin terpojok ketika K.H. Syaifuddi Juhri, juga salah satu Ketua PB NU membantah bahwa prosedur wakil otomatis--jadi ketua itu sudah jadi tradisi NU. Misalnya naiknya K.H. Abdul wahab Chabullah jadi Rais Aam sepeninggal Rais Akbar K.H. Hasyim Asy'al, di tahun 1947 bukan lantaran Kiai Wihab menduduki wakil Rais Aam sebelumnya. Jabatan itu ternyata di tangan K.H. A. Fakih sebuah nama yang tampaknya kurang dikenal.

Musaddad kalah di sini. Dia dianggap kurang paham betul sejarah NU. Dan lagi isyarat bahwa ia sanggup duduk sebagai Rais Aam terasa disampaikan "terlalu pagi". Ini ternyata melahirkan penilaian bahwa Musaddad menghendaki jabatan itu--suatu hal yang dianggap semacam cela. Meskipun, mungkin soalnya Musaddad hanya lebih berterus terang.

Tapi di luar itu, memang sudah ada yang menghendaki Rais Aam itu dijabat K.H. As'ad dari Pefsantren Nurul Jadid Situbondo (Ja-Tim). Ulama ini pun pengaruh besar. Sidang-sidang syurjah NU tidak jarang dilakukan di Nurul Jadid. Sikapnya yang dinilai "cepat panas" lebih mendapat dukungan dari kelompok "keras" yang ditokohi Yusuf Hasyim.

Tapi Kiai As'ad tidak hadir dalam Munas. Ini adalah isyarat bahwa ia tidak mau dicalonkan. Konon ia keberatan kalau harus sering meninggalkan Situbondo itu akan berarti mengurangi perhatian pada pondok.

Idham Chalid Ketua Umum PB NU sejak tahun 1954, tidak memihak salah satu. Dia, seperti dikatakan dalam berbagai kesempatan, menghendaki keadaan lowong itu dibiarkan saja sampai Mubes akan datang.

Ada yang menilai dengan status quo macam itu Idham akan lebih leluasa membuat langkah yang dikehendakinya, tanpa kontrol dari tokoh yang lebih berwibawa di tingkat Syuriah. Dugaan ini akhirnya dibantah. Idham menghendaki status…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14

Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…

K
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14

Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…

O
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14

Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?