Antara Impor Dan Swasembada

Edisi: 38/11 / Tanggal : 1981-11-21 / Halaman : 70 / Rubrik : EB / Penulis :


MENGHADAPI musim paceklik tahun ini tersiar berita yang bisa membelalakkan mata. Lebih 1.500 penduduk Kabupaten Gunung Kidul digambarkan menderita Kemungkinan Kurang Makan (KKM) dan akan lebih buruk lagi kalau bantuan terlambat datang.

Jumlah yang dikatakan menderita gejala pra-HO itu barangkali memang tidak besar. Tapi munculnya istilah KKM itu terasa kurang sedap di tengah mengalirnya laporan produksi pangan yang melimpah.

Tak kurang dari Presiden Soeharto yang menaruh perhatian. Sabtu lalu Presiden memanggil Kepala Bulog Bustanil Arifin dan memerintahkan agar menyiapkan beras 15.000 ton. "Begitu ada perintah supaya didrop kami sudah siap," ujar Bustanil.

Bagi Bustanil mengalirkan beras sebanyak itu tampaknya hanya soal kecil. Sampai akhir November lalu cadangan beras yang ada di gudang-gudang Bulog mencapai 2,8 juta ton -- rekor dalam sejarah pembentukan stock pangan nasional. Dua juta ton di antaranya hasil pengadaan dalam negeri. Karena itu kalaupun ada laporan kekurangan pangan di suau daerah akan dengan mudah dapat diatasi.

Produksi beras dalam negeri memang meledak-ledak tiga tahun terakhir ini. "Produksi beras kita sampai hari ini ternyata mencapai 22,16 juta ton," ujar Menteri Pertanian Soedarsono Hadisapoetro pada TEMPO Senin lalu. "Padahal produksi tahun 1981 ini menurut ramalan hanya 20 juta ton," tambahnya.

Ini berarti mengalami kenaikan sebanyak 9,5%. Lebih kecil memang bila dibandingkan dengan kenaikan tahun sebelumnya yang mencapai 13,2%, tapi sangat menggembirakan karena tercapai sudah apa yang disebut swasembada pangan. Setidaknya swasembada di atas kertas berdasarkan perhitungan konsumsi beras nasional sekitar 20 juta ton.

Bulog yang dibentuk antara lain untuk berfungsi sebagai "hansip"-nya harga beras di pasaran jadi repot dibuatnya. Instansi yang bertanggungjawab langsung pada Presiden itu terpaksa menyewa gudang-gudang swasta untuk menampung beras yang dijual petani, mengingat gudang Bulog sendiri hanya mampu menyimpan beras 1,9 juta ton. Dan Bulog tidak mungkin menolak penjualan gabah oleh petani sesuai dengan tugas yang dibebankan pemerintah padanya.

Di Jember, Jawa Timur, misalnya Bulog menyewa dua buah gudang tembakau milik PT Gunung Makmur. Di Balong Bendo, Sidoarjo, bekas gudang tekstil PT Ratatex sekarang penuh juga dengan gabah Bulog. Demikian juga gudang-gudang kecil milik KUD di beberapa tempat.

Sewa gudang itu ternyata cukup mahal pula: Rp 10/hari/ton. Secara gampang, itu berarti Bulog harus membayar Rp 9 juta setiap hari untuk menyimpan 900 ribu ton beras. Itulah sebabnya Bulog sudah berketetapan hati untuk membangun gudang baru yang mampu menampung stock sampai 5 juta ton suatu jumlah yang dianggap aman untuk cadangan nasional. Sebuah sumber menyebutkan bahwa pemerintah sudah menyediakan dana Rp 800 milyar untuk membangun gudang baru berikut tempat pengeringannya. "Tinggal mencari lokasi yang tampaknya tidak mudah," ujar sumber tadi.

Dengan datangnya musim hujan yang tepat pada waktunya saat ini ramalan bahwa ledakan produksi…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
SIDANG EDDY TANSIL: PENGAKUAN PARA SAKSI ; Peran Pengadilan
1994-05-14

Eddy tansil pembobol rp 1,7 triliun uang bapindo diadili di pengadilan jakarta pusat. materi pra-peradilan,…

S
Seumur Hidup buat Eddy Tansil?
1994-05-14

Eddy tansil, tersangka utama korupsi di bapindo, diadili di pengadilan negeri pusat. ia bakal dituntut…

S
Sumarlin, Imposibilitas
1994-05-14

Sumarlin, ketua bpk, bakal tak dihadirkan dalam persidangan eddy tansil. tapi, ia diminta menjadi saksi…