Tebu Itu Pahit Bagi Rakyat

Edisi: 39/10 / Tanggal : 1980-11-22 / Halaman : 51 / Rubrik : DH / Penulis :


GULA bukan hanya tak disenangi para penderita penyakit kencing manis. Tapi juga sesuatu yang terkadang terasa sakit di telinga para petani tebu. Terutama bagi petani Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) --baik ia berpenyakit gula atau tidak.

Karena itu, harga gula di pasaran boleh terayun-ayun atau diatur setiap hari--seperti terjadi dalam beberapa minggu terakhir ini--tapi agaknya tak akan banyak berarti bagi para penanam bahan bakunya. Alasan: nilai keringat mereka masih dirasa tak memadai, bila dibanding dengan jumlah tetes tebu yang kemudian mereka dapat.

Tebu, sebagai bahan pokok pabrikpabrik gula, didapat melalui penanaman oleh pabrik di atas tanah yang disewa dari pemilik tanah. Ini disebut tebu sewa. Ada juga hasil penanaman oleh petani di atas tanahnya sendiri. Dan terakhir ada yang melalui TRI: penanaman oleh petani di atas tanahnya sendiri, dengan bimbingan Badan Pelaksana TRI.

Mulai musim tanam 1980/1981 sekarang, tebu sewa diganti dengan TRI. Sistem ini mengharuskan para pemilik tanah di daerah-daerah tertentu untuk hanya menanam tebu. Mereka kemudian harus menjual hasilnya dengan harga yang sudah ditentukan kepada pabrik.

Karena itu ketak-puasan justru banyak datang dari para petani TRI. Di beberapa tempat, terutama di daerah pertanian yang sudah memiliki irigasi, petani beranggapan, bahwa menanam padi atau palawija jauh lebih menguntungkan dibanding tebu. Dengan bahan baku gula itu, petani baru dapat menikmati hasilnya setelah 16 hingga 18 bulan kemudian. Padahal, dalam jangka waktu selama itu, petani akan memungut hasil 2 hingga 3 kali panen bila tanah ditanami padi atau palawija.

Adiwarto, petani TRI di daerah Klaten (Ja-Teng) yang berada di lingkungan Pabrik Gula (PG) Gondang Baru, misalnya membuat perhitungan. "Satu patok tebu untuk satu musim (18 bulan) hanya menghasilkan uang Rp 150.000," tuturnya, "sedang kalau ditanami padi dalam waktu 18 bulan dapat 3 kali panen dengan hasil 3 kali lipat dibanding hasil tebu."

Lebih tak sedap lagi pengalaman Yusak Pranoto, petani TRI di Desa Padomasan, Kecamatan Kencong, Jemoer yang biasa menjual tebunya ke PG Semboro. Dalam musim tanam tahun lalu, katanya, ia hanya mendapat uang Rp 200.000 dari tiap hektar tebunya. "Padahal kalau sawah itu saya sewakan kepada orang kaya di sini, tiap hektar dapat laku Rp 350.000 setahun--apalagi kalau saya garap sendiri," tambahnya.

Toh Adiwarto dan Yusak tetap menimami sawah mereka dengan tebu, karena "sudah begitu ditentukan atasan."

KETIKA mula-mula TRI harus dilaksanakan, tak sedikit petan yang kecewa. Malahan di Desa Pabuaran, Cirebon, puluhan petani mencoba memboikot Mereka tak mau menanam apa-apa--lebih-lebih karena pada musim panen I dan II hampir tak ada tebu yang dapat mereka pungut karena dilalap tikus. Tapi kemudian mereka melaksanakan TRI itu juga, "karena tak ada pilihan lain."

Ketentuan tentang pelaksanaan TRI dikeluarkan melalui Inpres no. 9/1975. Maksudnya tak lain untuk memperluas areal penanaman tebu. Karena sebelum itu PG-PG mengeluh kekurangan areal tanaman tebu, sehingga target produksi jauh dari memadai, dan PG pun megap megap.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

H
HORMAT BENDERA, DUA KALI SEHARI
1985-02-02

Semua siswa diwajibkan memberi hormat bendera merah putih sebelum dan sesudah pelajaran. selain memasang wayang…

A
ANCAMAN-ANCAMAN DARI PUNCAK
1985-01-26

Tanah di kawasan puncak menjadi labil dan kualitas serta kuantitas air menjadi merosot. presiden meminta…

A
ANTRE BEBAS BH DI JAWA TENGAH
1984-04-21

Beberapa kabupaten dan kotamadya di jawa tengah, di nyatakan bebas buta huruf.