Gending Tlutur Ke Terban Taman

Edisi: 29/09 / Tanggal : 1979-09-15 / Halaman : 30 / Rubrik : HB / Penulis :

PARA pendengar, harap bersabar. Radio Republik Indonesia,
berulangtahun ke-34 pekan ini. Ini bukan warta-berita, tapi
sepotong-sepotong cerita tentang sebuah kisah cinta yang
panjang--yang juga mengandung pengabdian: para penyiar, mike-nya
dan para pendengarnya.

; Lihatlah Robert Amin, satu contoh. Bapak berusia 51 tahun ini
telah botak dahinya -- walaupun rambutnya agak gondrong dan
kumisnya melintang. Ia jadi penyiar sejak tahun 1947. Itu
terjadi di Yogyakarta, di masa perang. Studio Voice of Free
Indonesia alias VOI alias Suara- Indonesia Merdeka berada di
Setiodiningratan, persis di depan benteng Vredenburg yang hendak
dipugar sekarang.

; Di situ suara Indonesia yang baru merdeka, tapi sedang dicoba
ditelan Belanda kembali, diteriakkan ke seluruh dunia. Mungkin
tak ada pendengarnya di luar negeri yang tahu bahwa studio yang
tidak kedap suara (soundproof) itu terletak persis di bawah
pohon sawo. Seringkali jantung penyiarnya terasa hampir copot:
setiap buah sawo jatuh disangka peluru nyasar tentara Belanda.

; Untuk pergi ke tempat siaran pun harus lari-lari. Belum ada
mobil untuk angkutan, malah sepeda pun sudah hebat. Tapi Robert
("Bob") senang. Ada rasa persaudaraan yang kental antara sesama
penyiar. "Makan bisa rame-rame. Ada yang menjual baju ada yan
jual sepatu. Kelaparan dan makan satu kali sehari waktu itu
sudah lumrah," kata Bob mengenang.

; Uang

; Kini ia melihat solidaritas seperti itu sudah berkurang.
Kedudukannya sendiri sudah cukup di atas, Kepala Seksi Siaran
Luar Negeri Asia Pasifik. Tapi ia sering…

Keywords: -

---

Foto Terkait