Aceh: Membuka Wajah Dan Tubuh

Edisi: 33/02 / Tanggal : 1972-10-21 / Halaman : 44 / Rubrik : DH / Penulis :


TURIS-TURIS boleh datang ke Aceh. Tidak perlu pakai kain sarung
atau kopiah. Percayalah, penduduk Aceh tidak sejahat dibayangkan
orang untuk memeriksa bagian bawah tubuh para pendatang, apakah
mereka ada disunat atau tidak". Ucapan bergaya sembrono dari
Kepala Perwakilan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh di Medan
bernama Ibrahim Hadji, boleh mewakili keinginan rata-rata
pejabat Aceh dewasa ini. Semacam undangan ke pada "dunia luar"
memang sudah agak lama diteriakkan. Pekan Kebudayaan Aceh ke-II
misalnya, yang berlangsung selama dua minggu di Banda Aceh
sampai awal September kemarin, dibuka dan ditutup oleh Menteri
Budiardjo dan Nyonya Tien Soeharto serta dikunjungi banyak
tamu-tamu luar daerah, dari satu segi bisa pula dianggap usaha
memperkenalkan corak hidup sebenarnya rakyat disana.

; Perang & Generasi

; Lagi pula para pejabat bukan tak punya alasan untuk menggunakan
biaya Rp 50 juta. Pidato panjang tapi bijak dari Gubernur
Muzakkir Walad sehubungan dengan pesta tersebut boleh di tolerir
di sini untuk mendapat pemberitahuan apa yang menjadi motif.
"Proses akulturasi amat lambat berjalan di daerah Aceh", itulah
yang jelas. "Apa yang baik dari luar sukar merembes ke daerah
ini, sedang apa yang indah dari nilai budaya Aceh tiada dapat di
hayati dan diresapi orang luar". Padahal "suatu nilai budaya
yang kurang mendapat sentuhan dari luar dan kurang menampakkan
wajahnya, akan membeku dan makin lama makin sulit, takut, serta
menjadi tabu dijamah orang". Tapi benarkah masalahnya sekedar
masalah kebudayaan dalam arti tontonan-tontonan kesenian? Sebuah
seminar tentang "Faktor Budaya dalam Pembangunan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh", diselenggara kan di tengah Pekan Kebudayaan
sambil mengisi acara Dies Natalis ke-XI Universitas Syah Kuala,
seperti dinyatakan Prof. Dr. A.Madjid Ibrahim Rektor Unsyiah dan
Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Aceh (BPPA): harus di hargai
sebagai salah-satu cara penting meskipun cukup lumrah "untuk
mengira-ngira apakah target-target pembangunan yang hendak
dicapai sesuai dengan apa yang dihayati masyarakat sendiri.
Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang telah mempengaruhi alam
fikiran mereka, value system mana yang dapat memberi arti bagi
kehidupan dan kepuasan mereka".

; Memang sudah diketahui bahwa wajah Aceh, seperti diucapkan juga
dalam Seminar, adalah wajah Islam. Tapi wajah Islam bukanlah
satu bila diingat bahwa daerah-daerah lain semacam Sulawesi
Selatan atau Jawa Timur misalnya, yang juga dikenal, punya wajah
Islam, toh tidak sama dalam warna. Karena itu pengenalan
identitas diri sendiri sebagai sekelompok penduduk yang sedang
di usahakan membukanya, sepantasnya di lakukan dengan melihat
watak yang dipandang menentukan. Siapakah sebenarnya orang Aceh?
Benarkah mereka sekedar sekelompok 2 juta penduduk yang hanya
punya "kebudayaan sunat" dan "kebudayaan perang?" Dan salahsatu
kesimpulan. Seminar lantas bicara tentang de Achehers ini
sebagai kelompok rakyat yang berada dalam satu kebudayaan yang,
disamping sudah tentu bersifat agraris tradisionil dan dikatakan
berwatak ksatria, juga punya kecenderungan seragam, mencari
harmoni, bersikap terbuka, dan lamban alias tidak progresif.
Sifat lamban ini tentulah terbayang bisa satu-dua orang tokoh
misalnya mengeluh: "Percuma saja pemerintah berusaha membangun
irigasi yang baik, bila rakyat toh merasa cukup memetik panen
sekali setahun…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

H
HORMAT BENDERA, DUA KALI SEHARI
1985-02-02

Semua siswa diwajibkan memberi hormat bendera merah putih sebelum dan sesudah pelajaran. selain memasang wayang…

A
ANCAMAN-ANCAMAN DARI PUNCAK
1985-01-26

Tanah di kawasan puncak menjadi labil dan kualitas serta kuantitas air menjadi merosot. presiden meminta…

A
ANTRE BEBAS BH DI JAWA TENGAH
1984-04-21

Beberapa kabupaten dan kotamadya di jawa tengah, di nyatakan bebas buta huruf.