Menghadapi Ide Pembaharuan Islam
Edisi: 44/02 / Tanggal : 1973-01-13 / Halaman : 45 / Rubrik : AG / Penulis :
SEJAUH manakah Nurcholish Majid sudah meninggalkan Qur'an?
Pertanyaan ini bisa muncul pada siapa saja yang mengikuti
polemik sekitar fikiran-fikiran yang dikemukakan Nurcholish,
tokoh paling menonjol dari apa yang populer sebagai pembaharuan
pemahaman Islam. Prof.Dr HM Rasjidi misalnya, pemimpin Islam
terkenal yang menulis tanggapan sebanyak dua gelombang di Harian
Abadi (masing-masing bulan Agustus dan Nopember -- Desember
1972), menyatakan antara lain kata-kata Nurcholish "bukan
kata-kat. orang yang percaya kepada Qur'an" Ini terutama
ditujukannya kepada pernyataan Nurcholish mengenai perbedaan
dimensi negara yang "rasionil kolektif" dan dimensi agama yang
"spirituil pribadi" - yang menyebabkan sang profesor
berkesimpulan bahwa Nurcholish berusaha memisahkan agama dari
negara dan bahkan dari masyarakat. Endang Saifuddin Anshari,
tokoh muda Islam yang lain dan bekas sejawat Nurcholish
khususnya dalam pimpinan HMI, yang lebih dari satu kali dimuat
karangan dan wawancaranya di majalah Pantji Musyarahat, dalam
pada itu menulis: "Bagaimanapun para mujahidin menempuh ijtihad,
senantiasa mereka setia berorientasi kepada al-Qur'an dan as
Sunnah, tidak hanya sekedar mengandalkan kapasitas akal-budi".
Sebab "funksi ijtihad (usaha menggali hukum atau
rengertian-pengertian baru dari Agama) bukanlah untuk
menyingkirkan nash-nash (teks induk) yang nyata-nyata jelas dan
tegas ada tentang masalah-masalah yang menyangkut kegiatan
duniawi". Dengan begitu, menurut umat yang di wakili tokoh-tokoh
tersebut, sudah dapat atau hampir dapat dipastikan bahwa
Nurcholish telah mencanangkan fikirannya sendiri untuk
melaksanakan apa yang dianggapnya ijtihad itu, sembari
menyingkirkan atau bahkan tidak mempercayai nash-nash Qur'an,
dan meletakkan agama hanya pada kedudukan pribadi. Tapi
bagaimana sikap orang yang bersangkutan terhadap
serangan-serangan itu'?
; Buah fikiran Nurcholish, baik yang pertama kali di pidatokannya
pada pertemuan HMI-PII GPI-PERSAMI di Jakarta bulan Januari
1970, maupun yang diceramahkannya di Taman Ismail Marzuki
Oktober tahun kemarin, bukan merupakan uraian-uraian yang mudah
difaham secara persis tanpa kemungkinan slip. Pidato 1970 itu
misalnya telah mengakibatkan perdebatan yang nyaris menjurus ke
pertikaian istilah -- terutama teman pengertian-pengertian
sekularisasi dan sekularisme. Mereka menolakan mereka yang
menerima sekularisasi seperti dianjurkannya, boleh jadi
mempunyai penangkapan yang tidak sama terhadap maksud Nurcholish
di samping bisa jadi mereka sama dalam pengertian api memang
berbeda dalam sikap. Banyak orang yang mendengar ceramah
Nurcholish di TIM dan mengangguk-angguk. Ceramah itu enak, lagi
pula diucapkan dengan bahasa yang lancar dan merdu. Bila toh
terdapat peranyaan-pertanyaan yang bersifat menyerang dalam
forum itu, mereka paling-paling menganggap hal itu sudah biasa.
Tapi serentak mengikuti tanggapan Prof. Rasjidi misalnya, mereka
serta-merta berbalik: ternyata soalnya tidak segampang dan
selicin seperti mereka duga.
; Renungan Masa Transisi
; Sudah tentu "kekaburan" dalam buah fikiran Nurcholish -- lepas
dari soal istilah-istilah yang dipakainya -- pertama kali
disebabkan karena ia berusaha mengetengahkan masalah-masalah
fundamentil yang besar dan kompleks sekaligus. Mengetengahkan
masalah-masalah semacam itu, sebagai satu suara yang baru, sudah
tentu menuntut satu persiapan yang benar-benar selesai. Dan di
situlah bisa dilihat: fikiran-fikiran Nurcholish seperti
disebarkannya selama ini lebih bisa ditandai sebagai
"renungan-renungan masa transisi". Ibarat formasi kereta-api,
belum seluruh bagiannya siap untuk berangkat. Ibarat lukisan,
belum semua bidang kanvas selesai diberi warna sesuai dengan apa
yang sebenarnya di inginkannya sendiri. Tak mengherankan bila
setengah orang berkata bahwa fikiran-fikiran Nurcholish belum
seluruhnya bulat dan padu. Endang Saifuddin misalnya beberapa
kali menyatakan: banyak terdapat perbenturan antara bagian
pernyataan Nurcholish yang satu dengan bagian yang lain.
Apalagi, tentu nya, bila fikiran-fikiran Nurcholish di hadapi
secara terpotong-potong dan tidak secara total sebagai satu tema
dengan kalau perlu berlapang hati terhadap beberapa peralatannya
yang belum sempat diperiksa dengan baik. Tapi mengapa
fikiran-fikiran yang "sedang dalam perjalanan" itu diketengahkan
juga ke tengah khalayak?
; Prof. Rasjidi sangat menyesalkan hal itu. Dengan menahan
perasaan, bekas Menteri Agama pertama ini berkata: "Ide-ide
seperti itu seharusnya dibicara kan dulu di kalangan pemikir
Islam. Kasihan rakyat atau umat Islam yang tidak tahu apa-apa
menjadi bingung". Sebab "rakyat di mana-mana menjalan kan agama
dengan damai", dan tentulah maksud Rasjidi: ditakutkan mereka
menjadi ragu. Tapi justru sikap semacam itu yang tidak disetujui
Nurcholish dan kawan-kawan. Pada pendirian mereka: yang menjadi
bingung atau ragu sebenar nya bukan orang-orang yang disebut
awam itu. "Yang ribut itu sebenarnya orang-orang terpelajar yang
tidak sefaham dengan kami", begitu kata Johan Efendi,
salah-seorang dari "grup" Nurcholish. "Bagi orang umum", tambah
Utomo Dananjaya, "persoalannya mudah saja. Mereka boleh tidak
menyukai kami. Atau kalau mau, mereka boleh berfikir
bersama-sama kita". Dan pastilah sikap itu juga yang berdiri di
belakang ucapan Nurcholish ketika ia berkata: "Kalau saya tidak
salah, perbedaan Pak Rasjidi dengan saya ialah: "beliau terikat
committed…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Menyebarkan Model Kosim Nurzeha
1994-04-16Yayasan iqro menyiapkan juru dakwah, ada di antaranya anggota abri berpangkat mayor, yang mengembangkan syiar…
Sai Baba, atau Gado-Gado Agama
1994-02-05Inilah "gerakan" atau apa pun namanya yang mencampuradukkan agama-agama. pekan lalu, kelompok ini dicoret dari…
Siapa Orang Musyrik itu?
1994-02-05Mui surabaya keberatan sebuah masjid dijadikan tempat pertemuan tokoh dari berbagai agama, berdasarkan surat at…