Bukan Menyebar Kemiskinan, Bukan ? ; Kisah Transmigrasi

Edisi: 19/04 / Tanggal : 1974-07-13 / Halaman : 06 / Rubrik : NAS / Penulis :


ROMBONGAN penduduk desa yang serba lusuh, terhimpit di antara
barang di atas sepur atau di pojok stasiun. Sepasang
suami-isteri yang selalu tertawa-tawa memamerkan gigi emas,
sambil menenteng radio transistor 3 band. Atau, anak-anak
berperut busung di tengah orangtua mereka yang bertubuh kurus
sambil memanggul pacul di tengah tanah pertanian yang kering
tandus. Itulah semua bayangan yang timbul di kepala bila orang
berbicara tentang "transmigran". Tak selalu nyaman.

; Semua itu bermula ketika tahun-tahun permulaan 1950-an
pemerintah mulai menggalakkan usaha ini. Ada kekesalan penduduk
daerah penerima karena merasa bakal terdesak, ditambah lain-lain
prasangka. Waktu itu kerap terbetik kabar tentang pertentangan
diam-diam antara penduduk asli dengan transmigran. Bahkan pernah
disertai perkelahian. Ada pula kesulitan mengatur para pendatang
itu sendiri. Karena salah urus, transmigrasi bukan lagi berarti
meratakan kemakmuran, tapi hampir jadi semacam pemindahan
kemelaratan. Dan sepanjang Pelita I kejadian-kejadian serupa itu
tidak dengan sendirinya dapat terbenahi, walaupun muncul dalam
bentuk lain. Berbagai fasilitas yang disediakan secara cuma-cuma
bagi para keluarga transmigran -- tanah, rumah, alat-alat
pertanian, biaya hidup untuk bulan-bulan menjelang panen pertama
dan tentu saja ongkos pindah -- kadang menimbulkan rasa iri di
kalangan petani di daerah penerima. Apalagi karena penduduk asli
itu tidak begitu saja dapat disebut serba cukup. Walaupun
kejadian ini hingga sekarang tidak menimbulkan polah yang
macam-macam, tetapi seperti di beberapa kawasan Lampung, sempat
menimbulkan istilah petani "pribumi" dan petani "non pribumi".
Yang tergolong petani "pribumi" -- penduduk asli di daerah
penerima -- merasa terdesak oleh "non pribumi" (transmigran yang
dianggap begitu dianak-emaskan.

; Musim & Air

; Keadaan itu terjadi terutama di daerah-daerah yang penduduk
aslinya belum begitu maju, apalagi makmur. Susahnya lagi, para
petugas Dinas Pertanian setemat agak lebih cenderung menuntun
penduduk unit transmigrasi daripada para petani asal daerah itu
sendiri. Kelebihan penduduk asli memang tampak pada kemmpuan
mereka membuka tanah pertanian hampir secara tak terbatas. Tapi
seluk-beluk bercocok tanam yang tak mereka kuasai menyebabkan
ketimpangan hidup mereka. Soal pupuk misalnya. Petugas Dinas
Pertanian lebih senang menyanjung-nyanjung rasa pupuk-minded di
kalangan transmigran, sambil mencerca hasil-hasil pertanian di
areal lain -- tanpa menyadari bahwa selama ini kurang cukup
usaha menggalakkan pupuk di kalangan petani "pribumi".

; Sementara itu para transmigran, dengan fasilitas cukup, tidaklah
dengan sendiri merasakan hidup lebih nyaman. Kapten (purnarawan)
Herusukarto,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14

Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…

K
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14

Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…

O
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14

Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?