Sebuah Dunia Di Mana Uni Soviet Tak Ada Lagi
Edisi: 45/21 / Tanggal : 1992-01-04 / Halaman : 24 / Rubrik : LAPSUS / Penulis : Mohamad, Goenawan
UNI Soviet men ghilang pekan lalu dari atlas. Tak ada suara longsor yang gemuruh, tapi mau tak mau ada lubang besar yang ditinggalkannya -- tanpa jelas siapa yang akan mengisi, dan apakah perlu diisi. Memang tak mudah mencernakan perubahan yang cepat itu, dan tak sela manya orang cepat menyadari, sebuah zaman baru sedang lahir. Selama kurang-lebih setengah abad, kesadaran manusia praktis dibentuk oleh pengertian bahwa ada dua kekuatan raksasa yang berlawanan di dunia, yang membelah planet ini menjadi dwiblok: Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Jutaan dolar bantuan asing dihamburkan, ratusan kali konperensi untuk membentuk dan memperkuat aliansi diadakan. Pakta seperti SEATO, NATO, dan Warsawa membangun pangkalan-pangkalan militer raksasa, memasang tentara berdivisi-divisi. Terkadang langkah itu sendiri menimbulkan gejolak politik di Asia Tenggara, Asia Timur, dan Eropa Tengah.
Tentu ada segi yang lain dalam Perang Dingin yang panjang itu: ia melahirkan sejumlah pemikir strategi dan analis yang ulung, seperti Henry Kissinger dan Raymond Aron, pusat-pusat studi yang termasyhur, juga ribuan karya ilmiah. Konsep dan istilah pun berloncatan dari sengketa dunia itu, dan menjadi bagian khazanah bahasa internasional, seperti kata "dunia bebas" dan "neokolonialisme". Semuanya tanda, bahwa mau tak mau, bayang-bayang muram konfrontasi AS dan US menyusup ke hampir tiap sudut kehidupan abad ke-20.
Kini tampaknya semua itu telah berakhir. Apa yang kemarin -- sebelum 1992 -- masih ada, dengan segera menjadi masa lalu. Manusia dihadapkan kepada beberapa gejala yang baru, bahkan sebelum tampak tanda-tanda pertama datangnya abad ke-21.
Gejala pertama: dunia, yang kemarin praktis terbagi dua kekuatan itu, kini hanya dihuni oleh satu negeri superkuat, Amerika Serikat. Teta pi bisakah dikatakan bahwa negeri itu akan menjadi pemain tunggal, atau malah sutradara, di pentas dunia?
AS memang tak punya lagi pesaing di bidang militer. Tapi Perang Teluk yang menggebuk Irak di tahun 1990 menunjukkan satu hal: negeri yang pernah terkenal kaya itu -- penyumbang tunggal "Rencana Marshall" yang menghidupkan kembali Eropa Barat dari puing Perang Dunia II -- sekarang sesak ekonominya. Dalam perang itu, ia harus meminta bantuan keuangan dari Jepang, Arab Saudi, dan Kuwait. Defisit anggaran belanjanya, semenjak pemerintahan Presiden Reagan, melonjak. Defisit perdagangannya, terutama dengan Jepang, menyebabkan ia repot menjembatani antara kepentingan dagang sendiri dan perannya sebagai kekuatan militer di Pasifik.
Ada yang berpendapat bahwa kelemahan ekonomi AS sekarang cuma bagaikan sakit yang sementara. Tapi, nampaknya dunia tak akan kembali ke pelukan Pax Americana seperti di tahun 1950-an.
Seorang guru besar dari John Hopkins University, David P. Calleo, penulis buku The Imperial Economy, sudah menunjukkan bahwa yang kini terjadi bukanlah merosotnya posisi AS, melainkan karena kebangkitan ekonomi dunia. AS telah membangkitkan kembali beberapa bagian dunia dari reruntuhan perang, termasuk Jerman dan Jepang, dan kemudian memberi bantuan besar ke Dunia Ketiga, tentu saja dalam usahanya membatasi pengaruh Uni Soviet. "Kepemimpinan Amerika," tulis Calleo, "telah menggalakkan perkembangan yang justru membawanya ke posisi yang relatif menurun."
Sementara itu, AS sendiri tak punya temperamen serta institusi untuk memaksakan suatu tata imperial yang permanen. Politik di Amerika, kata seorang senator terkemuka, adalah politik lokal. Keputusan Kongres atau presiden, termasuk mengenai perdagangan internasional, misalnya di bidang tekstil, sering dipengaruhi oleh suara kepentingan sebuah negara bagian. Setiap kali, khususnya ketika ekonomi sedang anjlok, seperti pada masa Presiden Bush sekarang, selalu ada desakan agar Gedung Putih lebih memusatkan perhatian ke soal dalam negeri.
Jika demikian, bagaimana percaturan dunia akan berlangsung? Gejala kedua kini muncul: pengertian "kekuatan" internasional tak lagi hanya berarti kekuatan militer, tapi bisa juga hanya kekuatan ekonomi, seperti Jepang dan Jerman. Berbarengan dengan itu, kemungkinan terjadinya perang yang melibatkan aliansi besar dengan senjata nuklir yang efeknya global semakin menjauh. Percaturan internasional dengan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Ini Keringanan atau Deal yang Rasional?
1994-02-05Setelah mou ditandatangani, penggubah lagu pop rinto harahap akan diakui kelihaiannya dalam bernegosiasi perkara utang-piutang.…
Modifikasi Sudah Tiga Kali
1994-02-05Perundingan itu hanya antara bi dan pt star. george kapitan bahkan tidak memegang proposal rinto…
Cukup Sebulan buat Deposan
1994-02-05Utang bank summa masih besar. tapi rinto harahap yakin itu bisa lunas dalam sebulan. dari…