Dan Remaco Dituduh "serakah" ...; Awas: Perang Kaset!; Dan Remaco Dituduh "serakah"...

Edisi: 52/05 / Tanggal : 1976-02-28 / Halaman : 50 / Rubrik : MS / Penulis :


MUSIK kini tak hanya Do-Re-Mi. Angka-angka lagu dengan segera
bisa menjelma angka-angka jutaan rupiah. Para penyanyi seperti
Koes Plus dan Oma Irama (lihat: Tamu Kita) tinggal di rumah
mentereng seperti para bintang film kelas tinggi. Dan di atas
mereka para pengusaha kaset. Mereka ini, seperti halnya orang
Indonesia yang kaya, tak mau menyatakan berapa sebenarnya besar
uang masuk. Tapi lihatlah bagaimana barang produksi mereka
diiklankan. Hampir tiap jam, pemancar radio meneriakkan --
dengan banyak bumbu dan bombasme -- nama-nama seperti Remaco
(baca: Re-ma-ko) dan Yukawi. Di siaran TVRI, gelombang iklan itu
juga tak ketinggalan: Terkadang dengan terus-terang sebagai
iklan, terkadang -- terutama tahun-tahun lalu secara separuh
tersembunyi dalam siaran musik.

; Di harian-harian ibukota belakangan ini teriakan adpertensi
mereka menyambar-nyambar juga. Paling seru ialah iklan
bantah-membantah: P.T. Remaco membantah iklan pernyataan
penyanyi Oma Irama, lalu Oma Irama dengan P.T. Yukawi balik
membantah Remaco. Dengan ukuran sampai 18,5 x 20 senti (silakan
hitung sendiri biaya pemuatannya), iklan-iklan segajah yang
bertengkar itu bisa memuat kata-kata yang mungkin paling tajam
dalam sejarah di Indonesia. "H. OMA IRAMA telah mau menerima
uangnya tetapi tidak mau melaksanakan pekerjaannya", begitu
tonjokan iklan Remaco. Dan pihak Yukawi & Oma Irama pun
membalas, sementara sekaligus, tanpa canggung-canggung, di bawah
tandatangan pengacara mereka tercantum promosi lagu-lagu.

; Bagi para peminat musik umumnya, iklan begituan barangkali bisa
menambah gairah untuk membeli kaset demi kaset baru. Atau
mungkin juga terasa lebih bising ketimbang radio tetangga yang
lagi asyik orkes madun. Atau membingungkan saja. Tapi jelas:
perdagangan musik, lewat kaset, sedang bertempur. Di balik
pertempuran itu yang jadi soal tentulah bukan perkara, misalnya,
gaya dang-dut melawan gaya underground. Melainkan soal rejeki.

; Tak menakjubkan sangat. Lebih dari satu dasawarsa yang lalu,
setelah perusahaan multinasional Philips memasarkan pita kaset
yang mungil dan murah pasaran buat barang hiburan itu meluas
cepat. Apalagi di negeri ini, di mana alat pemutar piringan
hitam atau phonograf tak mudah terjangkau harganya oleh
kebanyakan orang. Remaco, sebagai contoh, meskipun sebuah
perusahaan piringan hitam, kini praktis hidup dari kaset. Kata
Ferry Iroth dari perusahaan ini: "Sekarang piringan hitam hanya
dicetak buat konsumsi radio non-RRI -- dan itupun kalau ada
pesanan lewat agen". Perbandingan produksi piringan dengan kaset
adalah 100: 10.000.

; Bahkan tak cuma piringan hitam: di desa-desa Jawa Tengah pun
para dalang kena saingan "perusahaan" penyewaan kaset yang
merekam pertunjukan wayang. Kaset-kaset ini bisa diputar buat
acara senang-senang, dan tentu saja jauh lebih murah dibanding
dengan menyewa dalang serta para pengiringnya. Di Jawa Barat,
kaset berhasil menyebar-luaskan peminat mamaos, lagu Cianjuran
yang mudah tapi dianggap bukan main-main itu -- meski pun
pempopuleran itu kadang dituduh merendahkan mutu. Entahlah
sejauh mana tuduhan itu bukan karena sikap sok "meninggi".
Sedikitnya, kaset sebagai usaha dagang (dan berbau uang) memang
sering merendahkan cita-cita luhur musik, beberapa derajat. Para
penyanyi atau pencipta gending yang tadinya berangkat
berseni-seni dengan sejenis semangat "suci", kini mulai peduli
dengan perkara pembagian uang -- demi hak cipta dan sebagainya.
Ibu Saodah, pencipta lagu Cianjuran yang disegani, pernah
menegur Trio Bimbo yang menyanyikan ciptaannya tanpa ijin dan
tanpa imbalan. Caranya gaya Cianjuran juga halus: dengan
mengirim surat ucapan terimakasih. Para Bimbo segera rumasa.
Tanpa tunggu lagi mengirim uang imbalan hingga terobati juga
hati orang tua itu.

; Bila alam musik tradisionil yang semula tenang pun kini mulai
gonjang-ganjing dibelit kaset, apalagi alam musik yang
dinyanyikan para muda berambut gondrong bergitar listrik dan
bercelana cutbrai itu. Meskipun mereka bisa dibayar sampai
angka-angka dengan enam nol dalam suatu pertunjukan, tapi
pembayar mereka terbesar adalah para pembeli kaset di seluruh
Indonesia. Konsumen di pasaran itulah akhirnya yarg memberi
tepuk-tangan. Juga mereka suporter para pedagang kaset.

; Di Jakarta…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Skandal Bapindo dalam Irama Jazz
1994-05-14

Harry roesli dan kelompoknya mengetengahkan empat komponis muda, dan kembali menggarap masalah sosial. dihadirkan juga…

N
Ngeng atau Sebuah Renungan Sosial
1994-05-21

Djaduk ferianto, yang banyak membuat ilustrasi musik untuk film, mementaskan karya terbarunya. sebuah perpaduan musik…

A
Aida di Podium yang Sumpek
1994-05-21

Inilah karya kolosal giuseppe verdi. tapi london opera concert company membawakannya hanya dengan enam penyanyi,…