Gelandangan, Tak Ada Tempat Buat ...

Edisi: 18/06 / Tanggal : 1976-07-03 / Halaman : 40 / Rubrik : SD / Penulis :


BERAPA banyak sesungguhnya Jakarta menyelimuti orang- orang yang disebut 'tuna wisma/karya'? Susah dijabarkan dengan angka. Mereka yang lebih gampang disebut 'gelandangan' itu menggerayangi hampir seluruh tubuh ibukota dengan kebandelan yang tak mungkin dilawan dengan gertak sambal saja. Dengan mata yang nanar, tubuh yang lusuh, bagaikan gombal mereka bergulung di bawah jembatan, di emper toko, kaki lima bahkan di tempat-tempat yang lebih terang-terangan seperti taman-taman dan sepanjang jalan raya -- dengan keranjang dan japitan untuk memungut puntung.

Kota yang ramai ini bagai ibu yang terlalu ramah, dengan segala jenis kesempatan hidup tak mungkin dijumpai di pedalaman. Sementara orang boleh memaki bahwa segala keperluan hidup sekarang ini luar biasa tingginya, toh di lepitan-lepitan yang tidak sulit dijumpai tetap terbuka kehidupan yang sungguh murah. Di sana orang boleh kenyang satu hari dengan seratus perak -- sambil membuka ketawa menyaksikan lalu lintas yang gemuruh, kalau mau. Kemiskinan yang menggigit daerah-daerah di Jawa terutama, tetap momok terbesar yang menyepak mereka ke Jakarta. Dan di sini mereka hidup dengan "tata baru" hampir tanpa tanggung jawab, tanpa basa-basi, dan maunya tanpa merugikan orang lain. Tapi apa boleh buat. Ibukota yang mau disebut kota metropolitan. Berkata: "Tak ada tempat buat kamu

Untuk membebaskan Jakarta dari gelandangan, sampai keluar Instruksi Presiden yang mengharuskan bebas gelandangan seluas radius 3 km dari tugu Monas. Secara bertahap, sebagaimana dilakukan terhadap belantara becak di jalan raya, demikian pula dilepaskan gunting untuk mencukur kawasan ibukota sampai klimis. Tahun lalu tak kurang dari 200 kali operasi dilancarkan. Wakil Kepala Dinas Sosial DKI. Sofyan Yahya, mengaku ada kemerosotan pesat dalam jumlah gelandangan. Ini hanya menunjukkan angka 4 sampai 5.000 orang, sementara tahun 1968 mencapai 20 sampai 25 ribu. Angka ini sulit dipercaya, karena dari DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) yang melakukan pengumpulan gelandangan tidak dengan cara cidukan tetapi berdialog langsung disodorkan angka 100.000 (seratus ribu) untuk yang disebut kaum gelandangan --tanpa rumah dan pekerjaan yang ada di Jakarta. Tapi selisih ini normal, mengingat catatan formil punya katagori-katagori tertentu. Belum lagi dipertanyakan siapa yang sesungguhnya bisa disebut gelandangan. Apa ini lebih banyak menampilkan soal kondisi hidup atau sepak terjang, atau kedua-duanya, sehingga jelas hubungannya dengan yang dinamakan tuna karya, tuna wisma, tuna susila, gembel maupun yang disebut kere.

Agustinus Suharto, yang selama menjadi gelandangan bernama Wibowo Santoso, berkata: "Gelandangan itu ada tiga, pak. Gelandangan betulan, orang yang menyamar sebagai gelandangan, yang siangnya compang-camping tapi malamnya "jentel?', dan ketiga GTT atau Gelandangan Tingkat Tinggi yang memakai pakaian bersih dan meminta-minta sumbangan ke rumah orang dengan surat ini dan itu". Ia sendiri, yang mengaku berpengalaman sebagai gelandangan tingkat rendah di Semarang selama 8 tahun, kini sedang menunggu di Semper, Priok, untuk ditransmigrasikan ke Kalimantan. Ia menyanggah dengan keras cap yang menghitamkan gelandangan sebagai kaum yang sudah rusak mentalnya. Ia mengingatkan perkumpulan yang pernah disebut 'Gembel Berjuang' -- alamat Menteng Raya 31 -- pimpinan Erwin Kelana ( 1962- 1966) yang menghadap Pemerintah untuk diberikan tanah tempat mereka membangun hidup.

Sebaliknya seorang petugas di Panti Asuhan III Pondok Bambu berkata dari balik kaca matanya: "Gelandangan memang tidak mau dituduh sebagai gelandangan sekarang, karena mereka tahu itu dilarang. Saya yang berkecimpung dengan mereka sejak belum punya anak sampai ada 8 anak sekarang, melihat sendiri bahwa hidup sebagai gelandangan sudah menjadi pekerjaan. Mereka kebanyakan profesional". Ia melirik sejumlah gelandangan yang dikonsentrasikan menanti pengembalian ke…

Keywords: DKI JakartaGelandanganGembelTuna KaryaTuna WismaSofyan YahyaAgustinus SuhartoWibowo SantosoErwin KelanaS.S. LumiHMS MintarejaPanti Sosial III Pondok Bambu
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
DIA DI BELAKANG PENONTON
1983-02-05

Walaupun bisa nonton gratis, penghasilan rata-rata kecil, juga terancam bahaya radiasi.

D
DI TUBUHMU KULIHAT TATO
1983-02-12

Dengan adanya isu bahwa orang bertato akan diculik jumlah permintaan untuk ditato menjadi turun, bahkan…

D
DI TUBUHMU KULIHAT TATO
1983-02-12

Dengan adanya isu orang yang bertato akan dibunuh, jumlah permintaan untuk ditato menjadi turun bahkan…