Orang Tua Tak Diperas Lagi? ; Karena Spp Dihapus

Edisi: 31/06 / Tanggal : 1976-10-02 / Halaman : 50 / Rubrik : PDK / Penulis :


SEBUAH oplet tua yang dihadang serombongan pelajar di Lapangan
Banteng, Jakarta, ditulisi kapur: SPP Gila. Beberapa di
antaranya berteriak: "SPP, Surat Pemerasan Pendidikan".
Sementara Prof. Bachtiar Rifai, waktu itu Dirjen Pendidikan
(sekarang ketua LIPI) memberikan alasan berlakunya SPP, karena
anggaran biaya pendidikan tidak memadai. "Orang tua terpaksa
menjadi sapi perahan", katanya. Itu terjadi di tahun 1971,
lahirnya SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan)

; Lima tahun kemudian, 16 Agustus 1976 di depan sidang DPR,
Presiden dalam pidato kenegaraannya antara lain memutuskan
menghapuskan SPP, untuk kelas 1 sampai dengan kelas 3 SD yang
akan berlaku mulai tahun depan."Ini langkah kecil, tapi punya
arti besar", ucap Presiden. Kecil, karena beban orang tua baru
sebagian kecil yang dapat diringankan. Besar karena keputusan
itu merupakan langkah menuju ke arah pelaksanaan UUD pasal 31:
setiap warganegara berhak mendapatkan pengajaran. Pasal itu,
demikian Presiden, telah memberi isyarat bahwa dalam jangka
panjang negaralah yang harus menyediakan pendidikan secara
cuma-cuma kepada warganegaranya. "Tapi itu belum mungkin
terwujud seluruhnya sekarang. Kita akan mengarah ke sana",
tambah Presiden lagi.

; Bagi banyak orang, keputusan Presiden yang datangnya seperti
mendadak itu memang cukup mengejutkan. Dan sekaligus
menggembirakan fihak orang tua tentunya. Sebab selama hampir 6
tahun dengan SPP, peraturan yang mewajibkan fihak orang tua
turut menyumbangkan uang untuk pendidikan anak-anaknya itu,
hampir selalu ricuh. Padahal, ketika Menteri Mashuri pertama
kali memperkenalkan peraturan itu jelas tak bermaksud buruk.
Katanya SPP yang disusun berdasarkan aas keadilan itu, selain
dimaksudkan untuk menggalang partisipasi yang harmonis antara
komponen penanggung jawab pendidikan, yaitu orang tua,
masyarakat dan pemerintah, juga dimaksudkan untuk melindungi
orang tua murid dari pelbagai macam pungutan yang sangat
memberatkan pada waktu penerimaan murid baru. Justru di saat
para orang tua murid berada dalam posisi yang amat lemah: perlu
bangku sekolah buat anak-anaknya.

; Betulkah lantas orang tua murid terhindar dari pemerasan?
Mengambil contoh Jakarta, nampaknya maksud baik pemerintah itu
hampir tak pernah mencapai sasarannya. Aas keadilan,
keseimbangan dan perataan, sering terasa tak adil. Sebab kadang
terdapat anak orang tua yang berpenghasilan rendah dengan anak
orang tua yang berpenghasilan tinggi, membayar SPP yang sama
jumlahnya. Juga timbul kericuhan, siapa dan bagaimana mengontrol
pendapatan orang tua murid? Kelemahan seperti itu tak jarang
hanya mengundang "oknum" guru untuk menambah penghasilannya.
Sementara orang tua ramai-ramai berusaha menghindarkan bayar
SPP.

; Hampir setiap tahun ajaran baru, soal SPP ini tetap tak pernah
selesai. Karena itu barangkali, dua tahun lalu, Menteri P & K
Sjarif Thajeb melakukan penyempurnaan SPP. Dengan optimis
menteri ini menyebutkan kelebihan dari SPP yang disempurnakannya
dibanding dengan SPP lama. SPP yang mulai berlaku pada tahun
pelajaran 1975 itu katanya diterapkan prinsip flate rate:
besarnya pungutan untuk semua wajib bayar pada satu atau semua
sekolah dalam satu daerah disamakan. Variasi tarif yang terbagi
dalam kategori yang ditetapkan potongan 50% sampai kepada yang
bebas SPP, dimaksudkan untuk memberi keringanan kepada wajib
bayar yang tidak atau kurang mampu. Tak lupa dicantumkan
larangan keras bagi sekolah untuk melakukan pungutan lain di
luar SPP. Kemudian bersamaan dengan keluarnya SPP baru,
pemerintah juga mengeluarkan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

W
Wajib Pajak atau Beasiswa?
1994-05-14

Mulai tahun ajaran ini, semua perguruan tinggi swasta wajib menyisihkan keuntungannya untuk beasiswa. agar uang…

S
Serba-Plus untuk Anak Super
1994-04-16

Tahun ini, sma plus akan dibuka di beberapa provinsi. semua mengacu pada model sma taruna…

T
Tak Mesti Prestasi Tinggi
1994-04-16

Anak cerdas tk menjamin hidupnya kelak sukses. banyak yang mengkritik, mereka tak diberikan perlakuan khusus.…