Penggeseran: Cerita Lama Yang ...; Gusur Terus ...; Penggusuran:cerita Lama Yang ...
Edisi: 41/06 / Tanggal : 1976-12-11 / Halaman : 51 / Rubrik : KT / Penulis :
DESEMBER ini nampaknya akan berakhir dengan ketenangan. Khususnya untuk satu masalah yang beberapa waktu yang lalu dihebohkan - termasuk oleh para anggota DPR yang mulai siap menghadapi pemilu yakni: perkara penggusuran di Jakarta. Menurut pelbagai sumber, setelah Desember, kegiatan menggusur penduduk dari tanah yang ditempatinya akan mereda, bahkan mungkin distop.
Tapi "stop" itu agaknya buat sementara - maklum, menghadapi pemilu. Apalagi menurut Gubernur Kepala Daerah DKI Ali Sadikin sendiri, masih ada sekitar 5% lagi 'penduduk' yang bakal terkena penggusuran berikutnya.
Yang tak akan luput, tentu saja, ialah mereka yang selama ini menghuni rumah tanpa izin bangunan (IMB), dan mereka yang mendirikan rumah di atas tanah yang bukan haknya secara sah. Bagi mereka ini pemerintah daerah tidak menjanjikan suatu apa. Mereka adalah yang selama ini menghuni 'perkampungan' sepanjang sisi rel kereta api, di pinggiran kali Ciliwung, banjir kanal dan jalur hijau. "Penggusuran itu, sesungguhnya, untuk menyelamatkan sebagian besar warga ibukota juga", kata Ali Sadikin. Sebab, jumlah yang 5% dari seluruh penghuni Jakarta yang 5 juta jiwa itu, jika tidak segera ditertibkan, nanti akan dapat "menghancurkan hukum".
Hukum yang dimaksud cukup jelas, yakni hukum yang mengatur hak milik. "Kelak tidak ketahuan lagi, mana perbuatan yang benar dengan yang salah", kata gubernur.
Memang, berbondong-bondong pencari nafkah di Jakarta ini telah nekad menghuni setiap jengkal tanah kosong di semua sudut kota. Tidak peduli tanah itu siapa punya. Bahkan tidak peduli bahwa tempat meneduhnya itu berupa trotoir atau pertamanan. Mulai dengan dinding dan atap papan, mereka kemudian membangun rumah darurat, semi permanen atau juga bertembok. Lebih dari itu, mereka juga mengontrakkan atau menjual-belikan rumah berikut tanah serobotannya kepada penghuni lain .
Kejadian semacam ini, "berarti mengundang lebih banyak orang lagi ke Jakarta", kata Ali Sadikin. Sebab, "gambaran orang luar tentang Jakarta menjadi: dapat mengambil tanah orang semaunya sendiri". Itulah antara lainucapan Gubernur Jakarta di muka peserta penataran pengacara muda beberapa waktu yang lalu.
Sementara itu Walikota Jakarta Pusat, Eddy Djadjang Djajaatmadja, sekarang sudah dapat menunjukkan sebuah peta kota yang dipotret dari udara. Jakarta memang hampir rapi: sepanjang banjir kanal dan sisi-sisi kali Ciliwung sudah dapat dipamerkan. Bersih. "Menyusul nanti perumahan di pinggiran rel KA. Sebelum tahun ini habis, harus sudah ditertibkan", kata Walikota itu kepada TEMPO pekan lalu.
Untuk membersihkan tempat-tempat tersebut, "kita tak perlu bicara soal ganti rugi, apalagi menyebutnya jualbeli", kata Djadjang. Alasannya tentu, "karena mereka menghuni rumah tanpa izin dan di atas tanah yang tidak semestinya".
Pesangon memang ada diberikan ala kadarnya kepada korban penggusuran. Yaitu Rp 35 ribu per kepala-keluarga, misalnya yang diterima oleh penghuni pinggiran Ciliwung. Penduduk sisi rel KA lebih beruntung. Sebab Departemen Perhubungan mampu memberikan pesangon Rp 37,5 ribu per kepala-keluarga. "Sebenarnya pesangon pun tak perlu di berikan Juga", ujar Djadjang mengemukakan kebijaksanaannya. "Tapi tahu keadaan warga memang menyedihkan, saya tak dapat membiarkan mereka begitu saja tergusur tanpa bantuan apa-apa walaupun mereka jelas telah melakukan kesalhan".
Untung kalau Walikota punya kebijaksanaan begitu. Tapi lihatlah warga lain yang tergusur dari tanah yang dalam planologi kota disebut jalur hijau Tebet. Mereka ini, sejak tahun lalu, sebagian telah tergusur tanpa pesangon. Di mana mereka tertampung?
Tony Santosa, pensiunan mayor yang diangkat jadi sesepuh warganya, berkata: "Tak ada penampungan buat kami". Yang ada, "kami memang dianjurkan membeli tanah di Klender, Duren Sawit, yang disediakan dengan harga paling murah Rp 180 ribu perkaveling". Yang menebus bagiannya tidak banyak, kira-kira hanya 10 kepala-keluarga. "Mana kami mampu menebusnya dengan penghasilan rata-rata di bawah standar hidup di Jakarta", ujar Tony mewakili orang-orangnya.
Lagi pula, yang jadi keberatan si tergusur, apa yang disebut penampungan itu menurut mereka tidak sehat. Memang bentuk perpetakannya sudah kapling. Tapi…
Keywords: DKI Jakarta, Ali Sadikin, Eddy Djadjang Djajaatmadja, Tony Santosa, Muchtari, Kapten Albert, Minang Warman, Syariful Alam, Adnan Buyung Nasution SH, PT Berdikri, Wieke Siti Kumawati SH, Ali Mahfud, 
Artikel Majalah Text Lainnya
LEDAKAN DI MALAM NATAL
1985-01-05Bom meledak di dua tempat di gedung seminari alkitab asia tenggara dan di gereja katolik…
SENAYAN MENUNGGU PAK DAR
1984-02-11Keppres no.4/1984, seluruh kompleks gelora senayan (tanah yang diperuntukkan asian games ′62), dinyatakan sebagai tanah…
YANG TERTIB DAN YANG MENGANGGUR
1983-04-09Berdasarkan perda no.3/1972, gubernur soeprapto, akan melakukan penertiban terhadap bangunan liar dan becak-becak. bangunan sepanjang…