Dari Imlek Yang Sepi Ke Mana Lagi ?; Masalah Non-pri

Edisi: 51/07 / Tanggal : 1978-02-18 / Halaman : 04 / Rubrik : NAS / Penulis :


KELENTENG-KELENTENG sejak Minggu malam 5 Pebruari sudah dibanjiri masyarakat yang beragama Kong Hu Cu dan Buddha. Sementara itu di depan meja abu leluhur di rumah masing-masing, setiap keluarga membakar hio (lidi dupa) sambil mengucapkan syukur atas rezeki yang telah dilimpahkan Thian, dewa langit pencipta bumi, selama tahun silam. Sekalian mohon hokki (rezeki) dan peng an (keselamatan) untuk tahun mendatang.

Di Jakarta, sepanjang jalan menuju rumah ibadah Wihara Dharma Bhakti milik tiga agama Tri Dharma (Kong Hu Cu, Taoisme, dan Buddhisme) di malam tahun baru itu pun penuh mobil, motor dan becak. Engko-engko dan enci-enci dengan pakaian yang masih berbau toko antri untuk masuk kelenteng di Petak Sembilan, Jakarta Kota. Setelah membeli sebungkal hio serta lilin merah mereka berdoa di muka patung Dewi Kwan Im (dewi welas asih), Jenderal Kwan Te Kun yang jujur, Dewa Hok Tek Tjeng Sin (dewa kesuburan) dan Dewa Hian Tan Kong (dewa pengobatan). Kebanyakan pengunjung kelenteng basah matanya. Asap dupa yang mengepul-ngepul memang memedihkan.

Beberapa bahan makanan yang biasanya digunakan dalam sembahyangan Shincia, juga tercatat naik harga di Jakarta. Para penjual blmga, buah-buahan dan kue juga panen. Setangkai sedap malam harganya naik 5 x lipat. Seaang kue keranjang--yang hanya muncul pada waktu Shincia--tahun ini harganya sampai Rp 650 sekilo.

Namun sementara itu, penduduk Jakarta yang hari Senin dan Selasa itu mau ke pasar justru jadi kapiran. Toko-toko yang biasanya berdagang tanpa mengenal hari libur awal minggu lalu tutup. Di Pusat perdagangan lodok dan Senen, Jakarta, suasana sepi seperti tanpa manusia.

Seperti halnya Jakarta, Medan, yang punya masyarakat keturunan Cina lebih dari 200 ribu (dri 1,2 juta penduduk) juga senyap. "Pribumi" yang buka toko boleh dihitung dengan jari. Ada beberapa bank milik "non-pribumi" yang buka, tapi kerjanya aplusan. Bahkan ikan asin pun nyaris tak ada yang menjualnya. Toh abang-abang becak tak begitu beruntung, sebab banyak yang berimlek ke Parapat di tepi Danau Toba, atau tempat-tempat peristirahatan lainnya.

PERAYAAN Imlek di Medan sendiri tak menyolok, sebab, barongsay dan liong tak lagi diarak keliling kota. Tapi ada satu panitia yang tak kalah akal. Dengan biaya Rp 8 juta, mereka mendatangkan penari barong dari Bali. Hanya dalam iklan mereka sebutkan "barong berikut barongsay." Sampai akhir minggu lalu, rombongan barong Bali itu sudah keliling beberapa tempat di Sumatera iJtara. Termasuk beberapa malam main di Medan.

Barongsay (singa Cina) dan liong (naga) itu memang sudah lama dilarang dipertunjukkan di Medan karena dianggap "tak berkepribadian Indonesia." Begitu pula di Cirebon. Sejak meletusnya G-30-S/PKI, hari raya Imlek alias Shincia yang menandai mulainya musim seni di Tiongkok maupun hari raya Cap Go Meh (15 hari sesudah Shincia) dilarang diramaikan dengan barongsy dan liong, maupun arak-arakan toa pekong (patung-patung di kelenteng).

Namun walaupun diizinkan, masyarakat keturunan Cina di sana memilih suasana sederhana saja. Kata seorang sesepuh Kong Hu Cu Cirebon, Suryanatadiredja: "Situasi tahun ini kurang menguntungkan bagi perayaan semacam itu. Sedapat mungkin menjelang sidang umum MPR, suasananya harus stabil."

Selain itu, dia berpendapat "situasi Cirebon berbeda dengan kota-kota lain." Menurut kepercayaan masyarakat Cirebon, sebagai pusat pengembangan agama Islam--setidak-tidaknya bagi Jawa Barat--kota Cirebon dianggap merupakan "puser"nya bumi. Jadi "kalau puser (pusat) ini merasa sakit, seluruh anggota tubuh akan sakit," ujar Surya. Sebagai ontoh disebutnya bentroka antara pemuda pribumi dengan keturunan Cina di Cirebon, 7 Maret 1963 "yang meluas hampir ke seluruh Indonesia."

Di Pontianak, suasana Imlek jauh lebih terasa. Sejak subuh 7 Pebruari, jantung kota Pontianak tiba-tiba berhenti berdenyut. Meskipun hari itu perana non-pribumi tiba-tiba diambil oper oleh pedagang pribumi, masyarakat agak dengan membeli dari "tauke" pribumi. Soalnya, mereka main genjot harga. Cabe yang sebelum Imlek cuma Rp 700, 5 hari sebelum Imlek sudah naik 2 x lipat. Makanya beberapa toko di tempat ia yang ikut buka di hari kedua dan ketiga hanya menguakkan pintunya selebar dua jari tangan. "Tak sampai hati mendengar langganan mengetok pintu terus-menerus," kata seorang di antaranya. Berarti formilnya, toko masih tetap tutup guna menghormati datangnya musim semi (di Tiongkok, tentunya).

Shincia di Semarang terasa paling sepi tahun ini. Pasar malam Imlek yang sudah tradisi di Gang Baru, hanya dibanjiri orang-orang tua yang membeli benda sesaji sembahyangan. Tak ada pertunjukan liang-liong. "Larangannya memang belum dicabut," kata I. Soeparjo Kepala Kantor P & K Semarang. Meskipun harus dicatat, bahwa Juli 1977 pernah berlangsung festival liang-liong se Jawa di depan kelenteng…

Keywords: Keturunan CinaKong Hu CuBuddhaOei Tjoe TatNakimOei Tek LimMulia TanAbdul KarimTjiam Djoe KiamSuryanatadirejaNyoo Han SiangI. SoeparjoDrs K. SindhunathaDrs Lo S.H. Ginting
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14

Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…

K
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14

Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…

O
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14

Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?