Umar Menangis Di Pematang

Edisi: 09/08 / Tanggal : 1978-04-29 / Halaman : 19 / Rubrik : SD / Penulis :

UMAR menangis di pematang. Di depan matanya, padi yang tinggal
10 hari lagi dipanen, telah berubah warna. Bajingan-bajingan
wereng yang coklat dan ganas telah menghanguskan andalan
hidupnya itu. Musuh itu sudah mengenalkan dirinya tahun 1975,
dengan menyikat hampir separuh isi sawah. Tapi waktu itu ia
masih mengurut dada: matanya belum basah, karena ia masih
disisai untuk mengisi lumbungnya. Sekarang benar-benar bajingan.

; Umar, 40 tahun, asal Desa Pulo Iboh, Kemukiman Geuleumpang
Payung, hanya seorang petani penggarap di Kabupaten Pidie, Aceh.
Jadi sawah itu bukan sawahnya. Sejak mula ia hanya makan separuh
dari hasil tanah garapan itu, dan inilah yang dipakainya
menyuapi 5 orang anak--3 di antaranya perempuan. Dengan 1 Ha
tanah atau 4 naleh bibit itu pun, ia hanya bisa bertahan
setengah tahun. "Itu juga kalau hasil sawah bagus, seperti panen
yang lalu," katanya. Nah. Apa lagi kalau diganyang wereng
seperti sekarang.

; Kredit Bimas

; Biasanya, untuk mengisi mulut keluarga yang tak mungkin
disumbat rapat oleh hasil panen, Umar menanam palawija.
"Hasilnya lepas untuk pas-pasan makan," Hanya syukur
alhamdulillah, tak banyak keperluan sampingan yang harus dia
pikul. Paling sekali setahun, untuk menyambut lebaran dia harus
repot mencari ekstra penggantl baju dan sarung. Kalau sudah
buntu, mau tidak mau ya ngutang. Anaknya yang paling tua
seharusnya sudah cukup usia untuk ikut berjuang menegakkan
kehormatan keluarga. Tapi sayang, pahlawannya itu tergeletak,
sakit lumpuh. Terpaksa dititipkan pada neneknya untuk sekedar
meringankan kesulitan si bapak.

; Umar bukan lelaki yang tak bertanggung jawab. Dan bukan hanya
dalam urusan makan. Sebab anak-anak Umar tetap kebagian sekolah
- meskipun hanya sampai sekedar bisa baca tulis. Sekarang saja 2…

Keywords: -

---

Foto Terkait