Ada Sitiung, Ada Yang Terkatung-katung
Edisi: 28/08 / Tanggal : 1978-09-09 / Halaman : 30 / Rubrik : DS / Penulis :
PAGl-PAGI orang sudah berjubel di tepi jalan, antara pelabuhan Telukbayur dan desa Sitiung, Sumatera Barat. Tak lama kemudian beberapa bus berkonvoi lewat Solok dan Padang, didahului bunyi-bunyian Telepong dan Reog Ponorogo. Bus berisi 100 KK (448 jiwa transmigran asal Wonogiri, Jawa Tengah, itu menuju Sitiung -- 200 Km lagi. Di depan sekali sudah menderu-deru motor vorrijders polisi dan jip dengan kap terbuka berisi para petugas LLAJR. Sirene pun meraung-raung.
Ini cerita lama, awal Desember 1976. Ketika itu rombongan pertama transmigran 'bedol desa' itu tiba di sana. Menjelang maghrib mereka tiba. Sambutan 'urang awak' pun tak kurang ramah-tamahnya. Lengkap dengan upacara adat dan sekapur sirih dari ketua adat Datuk Mendaro Kuning. Sebelum memasuki rumah masing-masing, juga ada pidato dan kalungan bunga buat ketua rombongan.
Minggu-minggu berikutnya, pemandangan seperti itu berulang. Seminggu sekali datang 100 KK, sampai akhirnya mencapai jumlah 2.000 KK (66.000 jiwa). Berasal dari 6 kecamatan (41 desa), mereka ditempatkan di kabupaten Sawahlunto-Sijunjung. Rombongan yang datang belakangan biasanya tak lupa peluk-memeluk dengan yang tiba duluan. Bersyukur tiba dengan selamat di 'tanah seberang'.
Adapun tanah asal mereka di Wonogiri terkena proyek pembangunan waduk "Gajah Mungkur" yang kelak akan berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik, juga untuk mengairi sawah dan sekaligus menanggulangi banjir rutin Bengawan Sala. Sebelumnya -- di pelosok mana pun di Indonesia -- sambutan istimewa seperti itu belum pernah terjadi.
Transmigrasi "Pola Sitiung" memang agak lain. Pelaksanaannya tidak hanya ditangani oleh satu Departemen, melainkan bekerja sama dengan beberapa Departemen lain secara fungsionil. Dan diharapkan pola itu akan dijadikan contoh untuk selanjutnya diterapkan di daerah lain. Ketika itu pelaksanaannya memang cepat. Sarananya pun memadai. Perumahan dan jalan misalnya, dibangun duluan sebelum transmigran tiba.
Tak heran kalau para petugas Transmigrasi di lain daerah, Sulawesi Selatan misalnya, pernah ngiler dibuatnya. Di sana, pernah rombongan transmigrasi terpaksa diangkut dengan truk, gerobak sapi, bahkan traktor. Ada pula yang jalan kaki. Para petugas Transmigrasi itu juga terheran-heran mendengar biaya pembangunan rumah sederhana ukuran 34,5 M2 yang Rp 200.000. Dengan kondisi lebih baik, menurut mereka, di Sulteng bisa dibangun hanya dengan biaya Rp 150.000. Ongkos membabat hutan pun, di Sulteng cuma Rp 50.000 per Ha, sementara di Sitiung Rp 200.000.
"Dengan biaya melimpah seperti itu, bisa saja kita mengatur yang lebih baik dari Sitiung," ujar A. Amiroennas, Ka Kanwil Direktorat Transmigrasi Sulsel beberapa waktu lalu. Ia juga pernah menengok Sitiung. Pola seperti Sitiung, konon juga sudah lama diterapkan di Sulsel -- ada kerjasama dengan beberapa Dinas. Cuma bedanya biaya tak melimpah dari Pusat.
Meski begitu, Sulsel kepingin juga meniru proyek Sitiung. Apalagi toh ada rencana membuka jalan raya Lintas SuIawesi -- yang menghubungkan Sulut-Sulteng-Sulsel -- yang mulai dikerjakan April 1977. Tak berapa lama, Jambi me-nyusul mengetrapkan pola Sitiung.
Tapi bersamaan dengan itu timbul pula keluh-kesah.…
Keywords: Transmigrasi, Datuk Mendaro Kuning, A. Amiroennas, Rimbo Bujang, Martono, Soetidjah Soekadis, Prof. Dr. Subroto, Sudharmono, Didi Soediono, Kyai Mundhir, Sudomo, Ki Ageng Muhammad Basyari, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Eropa Bersatu
1994-06-18Eropa bersatu menghadapi masalah berat, euro-skeptis. arus ini akibat situasi ekonomi dan politik yang memprihatinkan.…
Dari Iran ke Contra
1994-06-18Oliver north, 50, calon kuat terpilih sebagai senator negara bagian virginia, dari partai republik. ia…
UU Pro Homo
1994-06-18Provinsi ontario, kanada, mengesahkan uu homoseks. kaum homo diperbolehkan melakukan pernikahan, mendapat tunjangan, dan diijinkan…