... Dan Para Golkar Pun Menjawab
Edisi: 13/07 / Tanggal : 1977-05-28 / Halaman : 05 / Rubrik : NAS / Penulis :
SETELAH mengundang beberapa tokoh PPP dan PDI untuk diwawancarai di kantor TEMPO, serombongan wartawan TEMPO atas permintaan - telah berkunjung ke MB DPP Golkar, Jl. Majapahit, Jakarta. Mereka diterima oleh Cosmas Batubara, 38, sekretaris bidang organisasi David Napitupulu, 42, sekretaris bidang pemuda dan ketua umum KNPI dan Moerdopo, 41, bendahara. Selain ketiga anggota DPP itu, hadir pula empat anggota DPR dari Fraksi Karya: Sarwono Kusumaatmadja, 34 dulu ketua dewan mahasiswa ITB, Rachmat Witular, 36, Ida Ayu Utanzi Piddda, 33 dan Djoko Sudyatmiko, 33. Selain keempat eksponen Bandung itu, turut hadir calon anggota DPR dari Golkar, Akbar Tanjung, 33, tadinya ketua umum HMI. Di samping wawancara malam itu, yang berlangsung antara jam 8 sampai 11 malam, tokoh-tokoh Dewan Pembina Golkar pun diwawancarai, seperti Mayjen Mas Isman (ketua umum Kosgoro) dan Mayjen R.H. Sugandhy (ketua umum MKGR). Sayang, TEMPO tidak berhasil bertemu dengan anggota Dewan Pembina lainnya, Letjen Ali Murtopo dan ketua umum DPP Golkar Amir Murtono. Tapi dua orang cendekiawan yang dekat dengan Golkar sempat dihubungi: Harry Tjan Silalahi SH (staf Centre for Strategie and International Studies) dan D.H. Assegaff (penanggungjawab harian Suara Karya). Rahman Tolleng juga berhasil ditemui. Ia bekas sekretaris bidang Tani dan Nelayan serta anggota Fraksi Karya Pembangunan. Seorang menteri yang ikut kampanye untuk Golkar pun memberikan keterangannya: Menteri Perhubungan Emil Salim. Sementara itu ada beberapa pendapat tentang Golkar yang dalam laporan terdahulu belum sempat dimuat. Misalnya dari bekas tokoh PNI Ruslan Abdulgani dan dua tokoh PDI, rans Seda dan Manai Sophiaan. GOLKA menang lagi. Tapi dibanding hasil yang dicapai dalam Pemilu 1971 (62,8%), dalam pemilu 1977 ini (62,14%), Golkar mengalami sedikit penurunan sekitar 0,5%. Padahal jauh sebelumnya, ketua umum DPP Golkar Amir Murtono sudah mentargetkan suara yang minimal sama dengan hasil pemilu 1971.
Tapi tampaknya hal itu juga sudah disadari oleh Amir Murtono, yang menyebut bahwa mencapai hasil seperti tahun 1971 "sudah cukup berat". Sebab baginya, "meraih kemenangan lebih gampang dari mempertahankannya".
Di mata Chris Siner Key Timu, ketua umum PMKRI, kemenangan Golkar tahun 1977 ini dinilai sebagai kemenangan antara tandakutip. Dengan fasilitas macam-n1acam, dengan mengerahkan hampir semua materi dan pejabat daerah, prosentase suara Golkar malah kurang dibanding tahun 1971. "Mestinya Golkar bisa menang 100%", kata Chris.
TEMPO: Apakah kemenanan itu sudah maksimal dan seperti yang diharapkan? Apakah kasus Jakarta, di mana PPP unggul, merupakan petunjuk bahwa di daerah di mana demokrasi berkembang - dan ada kemampuan membanding yang kritis di kalangan pemilih -- maka Golkar kalah? Dan karenanya bisa pula disebut bahwa: Semakin iauh dari Jakarta, demokrasi semakin berkurang hingga Golkar menang?
Cosmas Batubara: Memang secara nasional faktanya suara Golkar berkurang. Tapi di beberapa daerah suara itu meningkat. Misalnya di Jawa Timur, karena ada pembinaan. Di banyak kabupaten suara Golkar bertambah. Pasangsurut jumlah suara itu juga ditentukan oleh berubahnya sikap pemilih. Adanya fasilitas tak dengan sendirinya dapat dihubungkan dengan banyak sedikitnya suara yang diperoleh.
Moerdopo: Suara Golkar banyak terkumpul di daerah di mana sarana pembangunan selama 5 tahun ini membaik. Di 11 kabupaten Jawa Timur, tahun 1971 suara Golkar minim. Tapi tahun 1977, karena adanya pembangunan, suara yang minim itu tinggal 5 kabupaten saja. Kasus Jakarta, belum cukup merupakan gambaran umum. Juga bila dibanding dengan kota besar lainnya. Di kotamadya Surabaya. suara Golkar lebih baik dari tahun 1971. Dan tidak benar bahwa semakin jauh dari Jakarta, demokrasi berkurang. Contohnya Aceh, yang paling jauh dari Jakarta. Kalau dikatakan di sana demokrasi kurang tentunya Golkar menang. Tapi nyatanya kok kalah.
Moerdopo juga mengemukakan penjelasan apa sebabnya kursi Golkar kini berkurang di Jawa. Ini menyangkut perubahan jumlah kursi untuk setiap propinsi di Jawa. Menurut Moerdopo, berbeda dengan pemilu tahun 1971, untuk memperoleh sebuah kursi di Jawa kini dibutuhkan jumlah suara yang lebih banyak. "Jadi harga kursi di Jawa sekarang lebih mahal", kata Moerdopo.
Sarwono Kusumaatmadja: Saya juga punya asumsi bahwa di daerah yang belum terbina, suara Golkar turun. Anehnya di Bandung, di mana mahasiswa aktif bergerak, suara Golkar mestinya turun. Tapi baik di TPS di kampus atau asrama ITB maupun di pinggiran Bandung, Golkar menang berimbang dengan kontestan lain.
TEMPO: Apa yang dimaksud dengan 'pembinaan' itu ? Dan caranya bagaimana?
Moerdopo: Pembinaan organisasi. Di daerah di mana belum ada komisaris Golkar, tentunya massa pemilih dibina oleh komisaris kontestan lain.
TEMPO: Tampaknya Golkar kuran memperhatikan angkatan muda. Mengapa? Dalam pemilu 1977 ini, angkatan muda dan mahasiswa lebih banyak bersimpah pada parpol.
Sarwono: Bahwa angkatan muda cenderung pada parpol, itu tak begitu menggembirakan bagi Colkar. Tapi secara nasional, menguntungkan. Dan dilihat dari sudut perombakan struktur politik, hal itu positif. Seperti halnya di Amerika,…
Keywords: Golkar, Wawancara, Cosmas Batubara, David Napitupulu, Moerdopo, Sarwono Kusumaatmadja, Rachmat Witular, Ida Ayu Utanzi Piddda, Djoko Sudyatmiko, Akbar Tanjung, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?