Cerita Pendek-pendek Saja Untuk ...

Edisi: 17/07 / Tanggal : 1977-06-25 / Halaman : 51 / Rubrik : LAPSUS / Penulis :


CERITA MAHMUD

; Jakarta, jam 05.30 pagi: Dan Mahmud, 32 tahun, melompat dari
tempat tidurnya. Daerah Rawasari mulai bangun. Ia buru-buru ke
kamar mandi. Namun didapatinya bak sudah kosong.

; Dengan setengah mengumpat ia terpaksa meraih gagang pompa kodok.
Mahmud mulai memompa air. Suaranya menderit-derit membangunkan
tetangga di sebelah menyebelah. "Diamput", seorang tetangga asal
Surabaya memaki di bantalnya yang bau. Mahmud sendiri agak
ogah-ogahan. Dan kini ia, 15 tahun yang Ialu datang dari Sulit
air, Sumatera Barat, berfikir tentang air ledeng. Tapi tidak. Ia
tak mau bermimpi. Baru saja, di minggu pertama bulan ini ia
membaca di koran, bahwa dari 5,5 juta penduduk akarta ini baru
25 hingga 30% saja di antaranya yang sudah menikmati air bersih
lewat pipa-pipa Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya. Tiap penduduk
Jakarta seharinya memerlukan 230 liter air bersih, atau 12.000
liter per detik. Padahal kemampuan PAM Jaya hingga hari ini baru
sekitar 5.400 liter setiap detik. Belum ada setengahnya. Itupun
belum tentu merata.

; Tapi di tengah kerenyit suara pompa kodok itu, di udara di atas
Mahmud terbentang lamat-lamat gagasan Pemerintah DKI untuk
membangun instalasi air di Pulogadung. Biayanya (pernah
disebutkan Ali Sadikin) sampai berjumlah Rp 40 milyar. Untuk
Mahmud? Kata Ir. Herl Prasojo, Dirut PAM Jaya: hingga tahun 2000
nanti "kebutuhan air minum di Jakarta belum juga terkejar".

; Apa boleh buat Mahmud menyerah. Air bersih PAM masih jauh, air
dari kincir-kincir angin yang dibangun DKI dalam rangka Proyek
Husni Thamrin juga belum terdengar untuk kawasan kampungnya.
Mahmud bersyukur pada pompa kodok yang sedang
digenjot-genjotnya. Dari pada air sumur atau air kali fikirnya.
Seperti tetangga di sebelahnya atau paman isterinya di Kampung
Melayu yang tiap hari harus mereguk air Kali Malang itu.

; Sukur juga bahwa tanah Jakarta "kaya air" - entah apapun rasa
atau warnanya. Tapi ketika Mahmud mulai bernafas berat oleh
genjotannya, pada saat itu juga sekian ratus ribu rumah tangga
di Jakarta tengah bekerja, menerowong tanah untuk sumur atau
pompa. Tidakkah suatu saat nanti tanah-tanah di bawah itu akan
krowok? Tidakkah suatu ketika Jakarta ini, rumah-rumah dan
bangunan yang molek itu, akan anjlok? Mungkin ini akan terjadi
sebelum tahun 2000, atau sesudahnya. Atau besok. "Lumayan kalau
peristiwa itu terjadi bersamaan waktu dengan yang bernama
kiamat", fikir Mahmud.

; CERITA SUMARTO

; Sementara bak mandi di rumah Mahmud hampir terisi penuh, di
Jalan Sutan Syahrir, di wilayah yang terhormat itu, Sumarto
Brotolegeno 67 tahun, mulai diganggu keringatnya. Pensiunan
residen ini, seperti dilakukannya setiap pagi, sedang
beraerobik. Jalan kaki cepat. Wajahnya selalu cerah, meskipun
tangannya mulai sibuk menyapu keringat di leher dengan handuk
good morning. Tapi seperti biasanya pula, setiap menjelang
perempatan Tjokroaminoto wajahnya mulai berkerut. Handuk tadipun
mulai bertugas sebagai penutup hidung. Di sini, para penyapu
jalan dari Dinas Kebersihan Kota, mulai bekerja. Debu
beterbangan, hinggap di mana-mana, juga di lobang hidung bayi
yang sedang tidur di kereta dorong depan bioskop Menteng itu.
Juga di bulu-bulu hidung Sumarto Brotolegeno sendiri.

; Tentu saja dalam hati, karena ia segera teringat bahwa dia
"(bekas) priyai". Lagi lagi debu, fikirnya. Siang berdebu, malam
dan pagi sesejuk ini juga berdebu. Belum lagi asap kendaraan
bermotor. Untung bahwa akhir-akhir ini Jakarta sudah tampak
hijau, meskipun masih jauh dari cukup untuk kota yang sekekar
ini. Pohon akasia, bunga bungur dan flamboyan dan oleander mulai
menyebar. Jalanjalan dan halaman rumah penduduk pun seakan mulai
berlomba menghutankan diri. Belum lagi di wilayah di mana
pohon-pohon lama masih ada, meskipun Sumarto tak lagi ingat di
mana ia terakhir kalinya bersua dengan pohon kenari dan pohon
asam, atau melihat sarang burung manyar yang bergantungan
menakjubkan.

; Di sini Pak Sumarto bersukur. Menurut menantunya, seorang ahli
biologi, taman kota berukuran 400 x 800 m akan mampu menurunkan
suhu untuk kawasannya beradius 2,5 km sampai 2,5ø C. Sumarto
membayangkan, jika tiap kelurahan di Jakarta mempunyai wilayah
hijau seluas itu, tak mustahil suhu yang 27ø C itu akan jadi di
bawah 25ø C. Cukup nyaman. Di pihak lain sebuah taman berukuran
300 x 400 m menurut para ahli, mampu mengurangi tumpukan debu
dari 7000 partikel/liter sehingga menjadi 4000 partikel/liter.
Tapi di Jakarta yang sudah sempit ini, di mana lagi akan
dibangun taman-taman serupa itu?

; Sebab di tahun 1972 saja dari luas tanah di Jakarta yang 35.550
ha itu di antaranya sudah 25.781 ha yang telah terpakai. Berarti
di atasnya telah tercogok bangunan-bangunan. Jika diperhitungkan
bahwa pemakaian tanah setiap tahun di lakarta ini rata-rata
3.486 ha maka sisa dari seluruh areal tadi jauhjauh hari di
tahun 1975…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

I
Ini Keringanan atau Deal yang Rasional?
1994-02-05

Setelah mou ditandatangani, penggubah lagu pop rinto harahap akan diakui kelihaiannya dalam bernegosiasi perkara utang-piutang.…

M
Modifikasi Sudah Tiga Kali
1994-02-05

Perundingan itu hanya antara bi dan pt star. george kapitan bahkan tidak memegang proposal rinto…

C
Cukup Sebulan buat Deposan
1994-02-05

Utang bank summa masih besar. tapi rinto harahap yakin itu bisa lunas dalam sebulan. dari…