Kuli Jalanan Apa Perlu Masa Depan ?

Edisi: 27/07 / Tanggal : 1977-09-03 / Halaman : 45 / Rubrik : SD / Penulis :


JAKARTA memberi hidup tetapi tidak menjanjikan masa depan. Tidak menurunkan harapan untuk mereka yang telah tersedot dari pedalaman. Banyak sekali pekerjaan yang bisa mengoper sesuap nasi ke perut. Tapi tidak selamanya diikuti kondisi sosial yang wajar. Hidup sebagai gelandangan misalnya, menggantungkan nasib pada puntung rokok, juga 'pekerjaan'. Atau dengan sebuah sekop sebagai kuli borongan.

Seribu macam pembangunan menjamah ibukota dan sekitarnya. Buruh kasar dengan bayaran rendah amat diperlukan. Setiap pagi truk-truk melesat di jalan-jalan tertentu menyerobot tenaga-tenaga manusia untuk ditumpahkan dalam pekerjaan mahal dan deras itu. Kesibukan yang tidak memerlukan keahlian: cukup sebuah sekop, otot dan keikhlasan untuk tidak membicarakan masa depan.

Mencuri Sekop

Slamet, berusia 22 tahun dari Solo, telah meninggalkan kandangnya untuk memasuki kubangan baru. Ia berbekal pendidikan kelas II sekolah teknik. Ia sudah jadi kerbau, karena dengan mudah dipikat mulut manis rekannya. Di umpan, bahwa ia ditunggu oleh sebuah: pekerjaan lumayan dari sebuah pabrik yang bonafid, ia pun berangkat. Dengan bekal Rp 20 ribu yang ditentukan sebagai syarat, ia angkat tabik pada ibu tirinya.

Sekarang ia sudah hampir 4 tahun makan garam ibukota. Bakat teknik, pabrik yang bonafid, lamunan untuk memperbaiki hidup, harus dilupakan saja. Di tangannya sekarang hanya ada sekop. Ia berdiri di sana, di samping buruh-buruh lain di sepanjang Jalan Halim. Menunggu sebuah truk untuk membawanya ke proyek di mana ia boleh mempergunakan sekopnya untuk pasir atau batu koral. Kalau supir mengacungkan jarisatu, maka sejumlah orang harus kecewa - sampai datang truk lain menawarkan pekerjaan. Tidak ada jaminan untuk nafkah tetap. Siapa yang lebih dahulu, siapa yang gesit, siapa yang sabar, dan siapa yang bernasib baik, boleh dapat rejeki.

Pada suatu hari, Slamet dengan topi hijau, baju coklat dan celana yang sudah belar berkata kepada Widi Yarmanto dari TEMPO: "Sudah sejak pagi saya belum makan." Ucapan ini agak bertentangan dengan tubuhnya yang kekar dan keling. Apalagi lagunya memelas. Duit bekalnya mula-mula dulu, sudah lama ludes. Anak tunggal yang lari ini pernah ditampik oleh setiap proyek yang disampernya. Ia hampir menangis pada masa-masa itu. Lututnya gemetar karena capek dan lapar. "Selama 2 bulan betul-betul saya jadi gelandangan. Tapi saya tidak sampai cari puntung…

Keywords: Tenaga KerjaSlametHalimAntaKepokGelandanganKuli
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
DIA DI BELAKANG PENONTON
1983-02-05

Walaupun bisa nonton gratis, penghasilan rata-rata kecil, juga terancam bahaya radiasi.

D
DI TUBUHMU KULIHAT TATO
1983-02-12

Dengan adanya isu bahwa orang bertato akan diculik jumlah permintaan untuk ditato menjadi turun, bahkan…

D
DI TUBUHMU KULIHAT TATO
1983-02-12

Dengan adanya isu orang yang bertato akan dibunuh, jumlah permintaan untuk ditato menjadi turun bahkan…