Ahmad Syafi'i Ma'arif: Muhammadiyah Itu Tenda Besar
Edisi: 20/34 / Tanggal : 2005-07-17 / Halaman : 44 / Rubrik : WAW / Penulis : AMIN, SYAIFUL ; NUGROHO, HERU C.
DI bawah kepemimpinan Ahmad Syafi'i Ma'arif, "warna" Muhammadiyah sebagai gerakan Islam puritan yang kaku mulai pudar. Organisasi Islam yang disebut punya 30 juta pengikut itu kini aktif dalam gerakan nasional memerangi penyakit sosial dan moral bersama Nahdlatul Ulama, kelompok ulama yang kerap berbeda paham dalam soal cara beribadah dengan Muhammadiyah. Pasangan Syafi'i Ma'arif bersama Hasyim Muzadi malah tampak kompak sekali dalam menggelorakan kampanye nasional antikorupsi. Ia juga keras membersihkan tubuh organisasi yang dipimpinnya dari penyakit moral itu. Pimpinan Muhammadiyah, kata dia, harus berkarakter kuat dan tidak mudah goyah oleh godaan ekonomi dan politik.
Godaan ekonomi memang menguat setelah Muhammadiyah berhasil mendirikan belasan ribu sekolah dari TK sampai SMU serta ratusan universitas dan ratusan rumah sakit, panti asuhan, dan tempat ibadah yang tersebar di penjuru Nusantara. Memang, dalam kondisi pengembangan aset luar biasa seperti itulah Ahmad Syafi'i Ma'arif memimpin organisasi Islam yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ini.
Mungkin karena kesibukan tersebut, Muhammadiyah lantas ditengarai kurang berbunyi dalam pengembangan khazanah pemikiran keislaman. Ditambah lagi, nuansa keberpihakan terhadap partai politik tertentu pada masa reformasi membuat Muhammadiyah dituding telah bergeser menjadi wahana kegiatan politik praktis.
Tudingan-tudingan itu dibantah Syafi'i Ma'arif. Ia merujuk pada fakta bahwa organisasi yang hampir berumur setengah abad itu tidak sepi pertentangan pemikiran. Terutama antara sejumlah aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Remaja Muhammadiyah, dan Pemuda Muhammadiyah yang dituduh mulai "berdamai" dengan paham Islam liberal, melawan kelompok Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Muhammadiyah, yang dikenal lebih berpihak pada paham Islam fundamentalis. Perdebatan antara kelompok liberal dalam JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) dan PSAP (Pusat Studi Agama dan Peradaban) dengan para penganut mazhab Tabligh yang kerap berkumpul di lantai 3 markas Muhammadiyah ini memang kerap seru.
Apakah pergulatan pemikiran ini akan terus berlangsung setelah Ahmad Syafi'i Ma'arif resmi menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada Din Syamsuddin dalam Muktamar ke-45 di Malang, Jawa Timur, pekan lalu? Intelektual muslim yang pernah diundang Presiden Amerika George Walker Bush berdialog itu berharap demikian. Setidaknya kesan itu yang muncul ketika Syaiful Amin dan Heru C. Nugroho dari Tempo mewawancarai Syafi'i Ma'arif di kediamannya di Yogyakarta, sebelum berangkat ke Malang menghadiri Muktamar Muhammadiyah, dua pekan lalu. Perbincangan yang kemudian dilanjutkan oleh Bibin Bintariadi, wartawan Tempo di Malang, di sela-sela acara muktamar.
Berikut petikannya:
Apa perbedaan muktamar ke-45 kali ini dengan sebelumnya?
Muktamar dulu tidak ada perubahan AD/ART, sekarang ada. Kali ini program disesuaikan dengan perubahan zaman. Intinya, Muhammadiyah ingin revitalisasi di semua sektor, termasuk soal pemikiran. Hal itu tidak mudah.
Selama ini Muhammadiyah agak sedikit inward looking. Jadi, (urusan) keluar itu kurang. Sejak Amien Rais memimpin Muhammadiyah, organisasi ini sudah masuk arus besar bangsa. Itu jasa Amien, kemudian saya teruskan. Amien ke…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…