Hidayat Nur Wahid: Yang Tidak Suka Syariat Berlindung Di Balik Pancasila
Edisi: 17/35 / Tanggal : 2006-06-25 / Halaman : 40 / Rubrik : WAW / Penulis : Zulkifli, Arif ; Wijanarko, Tulus ; Parera, Philipus
"ANDA ingin menguji tingkat kepancasilaan saya?" Pertanyaan itu dilontarkan oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hidayat Nur Wahid, setengah bergurau. Hari belum lagi sore ketika lelaki 46 tahun itu menerima Tempo di rumah dinasnya di kawasan Widya Candra, Jakarta. Hidayat, yang mengenakan kemeja batik lengan pendek, tersenyum kecil--sedikit kecut.
Kepada bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, kini banyak wajah menoleh. Isu revitalisasi Pancasila, sebagai jawaban atas maraknya peraturan daerah bernuansa syariat Islam, membuatnya berdiri pada posisi sulit. Ia mengaku tidak anti-Pancasila, tapi kiprah partainya sebagai partai Islam membuat orang curiga. Akankah PKS diam-diam merencanakan Indonesia menjadi negara Islam? Akankah PKS menegakkan syariat Islam--sesuatu yang dianggap bisa membunuh demokrasi melalui jalan demokratis? Hidayat menggeleng. "PKS di DPR hanya 45 dari 550 kursi. Bagaimana mungkin kami disebut-sebut akan memaksakan kehendak?" katanya.
PKS tumbuh dari gerakan pengajian mahasiswa di kampus-kampus. Gerakan ini dianggap banyak kemiripan dengan Ikhwanul Muslimin, organisasi massa yang kemudian jadi partai politik di Mesir. Tokoh-tokoh PKS banyak yang bersekolah di Arab Saudi. Pandangan politik dan keagamaan mereka kerap kali dianggap "konservatif" dan "keras". Terhadap Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi, PKS jelas mendukung.
Besar dalam tradisi pesantren, Hidayat juga mengecap pendidikan tinggi di Madinah, Arab Saudi. Di sana ia aktif dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), organisasi mahasiswa perantauan. Saat maraknya mahasiswa dan aktivis menolak Pancasila sebagai asas tunggal, ia ikut serta. Mungkin karena itu muncul desas-desus bahwa di Arab Saudi, Hidayat pernah menggelar aksi anti-Pancasila. "Itu semua fitnah," katanya pendek.
Ditemani teh hangat, Hidayat menerima Arif Zulkifli, Tulus Wijanarko, dan Philipus Parera dari Tempo untuk sebuah wawancara khusus.
Isu Pancasila kembali muncul salah satunya karena ada kecemasan terhadap penerapan syariat Islam. Pendapat Anda?
Saya ingin melihat dari sisi lain. Sejak awal Pancasila ditegaskan sebagai landasan ideologi bangsa. Itu disebutkan dalam Pembukaan UUD 45. Dalam proses amendemen pun disepakati tidak ada perubahan dalam pembukaan itu. Tetapi, dalam perjalanannya, Pancasila pernah ditafsirkan secara tunggal oleh negara. Jadi akan dibawa ke mana Pancasila ini? Ini adalah pembahasan yang belum selesai. Tapi, sisi positifnya, orang diingatkan untuk mempergunakan pendekatan yang proporsional, moderat, dan tidak mengada-ada. Siapa pun yang memperjuangkan Pancasila mestinya yang pertama-tama melaksanakannya.
Maksud Anda?
Ketika seseorang berteriak membela Pancasila, dia pasti tahu sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dia juga tahu sila berikutnya adalah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Artinya, tidak boleh kemudian perilakunya menjadi tidak manusiawi dan tidak adil. Tidak boleh dengan klaim mendukung Pancasila orang lalu menebar fitnah, teror, dan membuat opini yang bisa memecah-belah bangsa. Kalau Pancasila dilaksanakan, permasalahan akan selesai. Tetapi sekarang Pancasila sering cuma dijadikan tameng untuk melindungi kepentingan pribadi atau kelompok.
Menjadi tameng?…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…